Konten dari Pengguna

Relativitas Cinta dan Angkara

Rama Swahuda
Sarjana Kriminologi
23 Desember 2019 9:00 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rama Swahuda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi simbol cinta. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi simbol cinta. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
“Kamu jahat!” ia menyeka air matanya, kemudian menutup wajahnya. Air mata berlinang di kedua pipinya. “Kamu jahat, mas!”
ADVERTISEMENT
Di depannya, seorang laki-laki tertegun, menatap nanar pujaan hatinya, sahabatnya sendiri, menangis di depannya. Sebelumnya, ia datang membawa segelas cokelat di malam hari yang dingin. Hujan rintik tak ia hiraukan demi membuat perempuan itu tersenyum kembali.
“Kalau gini terus, mana bisa aku move on dari kamu! Aku sudah punya suami, mas!” jelas perempuan itu.
Skak mat. Layaknya tersambar geledek, tubuhnya kaku, jantungnya seakan berhenti, seperti ada sengatan listrik yang menyambar kuat tubuhnya. Laki-laki itu kehabisan kata. Tak bersambut gayung, itikad “baiknya” pupus begitu saja. “Aku jahat? Siapa yang jahat?” ia bergumam di dalam hatinya yang remuk itu.
***
ADVERTISEMENT
Kompleks. Kisah cinta kadang bisa serumit itu. Konflik tak berujung berawal dari romansa tak tahu malu. Kadang yang disalahkan adalah kamu--maksudnya nafsu. Memangnya benar begitu?
Terlepas dari kompleksitas kisah cinta, drama playing victim dan adu rasionalisasi ini adalah suatu masalah yang tak akan ada habisnya. Pertanyaannya sederhana, siapa yang jahat?
Kedua orang dalam potongan kisah di atas sama-sama menyebutkan kata ‘jahat’. Akan selalu ada pro dan kontra dalam menilai situasi ini.
Tak usah jauh berkelana, belum lama ini kembali mencuat soal pro-kontra Tim Tom dan Tim Summer dalam film roman yang terkenal pada masanya. Film ‘500 Days of Summer’ itu menciptakan dua fraksi yang tak lain isinya adalah: Tom adalah korban, Summer yang salah, atau sebaliknya, Summer tak bersalah dan Tom adalah lelaki yang tak tahu diri. Polemik tersebut memicu sebuah debat kusir tiada akhir bak sidang pengadilan yang berupaya mencari siapa yang salah dan siapa yang benar.
ADVERTISEMENT
Berbicara soal jahat, soal siapa yang jahat dan siapa yang benar, pendefinisian jahat itu sendiri telah dibahas sejak lama. Menariknya, sejak dulu hingga sekarang, jahat pun memiliki banyak wajah. Dahulu, kejahatan dianggap bersumber dari roh jahat yang memasuki tubuh seseorang. Pada pandangan klasik ini kita menjumpai kisah seorang perempuan yang mati dibakar lantaran dituduh sebagai seorang penyihir.
Kemudian tak jauh dari era tersebut, kejahatan berubah menjadi suatu hal yang ditentukan dari bentuk tubuhnya. Ihwal pendefinisian jahat ini mengingatkan kita pada karya ilmiah Lombrosso yang menjadi cikal bakal yang merumuskan bahwa lelaki berbadan besar, berjanggut lebat, dan bertato lekat dengan perawakan seorang perampok.
Hingga kini, kita menemukan bahwa apa yang jahat hanyalah soal siapa yang lebih banyak setuju. Dalam kasus ini dapat dilihat bahwa definisi jahat sendiri mengalami perubahan pada tiap-tiap perkembangan zaman.
ADVERTISEMENT
Cinta dan angkara, agaknya tak jauh beda. Mulai dari definisinya yang selalu berubah, hingga kolaborasi kedua elemen ini yang menjadi bumbu dalam sebuah cerita. Misal, pembunuhan akibat perselingkuhan. Diawali dari kisah romantis pasangan yang tak semestinya bersama--seperti kisah di atas--yang kemudian berakhir dengan pembunuhan yang dilakukan oleh pihak tertentu. Namun, coba kita ‘ulik’ skenarionya menjadi seperti ini: Kisah pembunuhan yang dilakukan oleh seorang suami yang membela istrinya yang diperkosa oleh orang lain. Suami masuk penjara. Kolaborasi yang sungguh menyita jiwa dan raga.
Perkara kemudian dihadirkan di atas meja bundar. Drama itu memulai penentuan siapa yang salah dan benar. Mengacu pada sebuah Kitab Hukum, aktor protagonis dan antagonis pun ditentukan. Tak jarang keputusan dalang--baca: Hakim--tak disenangi oleh khalayak. Ambil contoh kisah di atas soal suami yang dipenjara karena melindungi istrinya. Debatable bukan?
ADVERTISEMENT

Konstruksi dan Peyorasi Makna

Bukan rahasia umum lagi bahwa kita hidup di zaman pembangunan--konstruksi--makna. Yang dimaksud dengan konstruksi adalah khalayak umum berperan dalam membentuk pemahamannya sendiri terhadap suatu fenomena. Mereka secara bebas dapat bermain di tengah perang diskursus yang meramaikan jagat maya. Singkat cerita, masyarakat berperan dalam mengonstruksi dan men-dekonstruksi makna.
Makna dapat beragam, tergantung siapa yang mencetuskannya. Layaknya anekdotcokot”--cokot dalam bahasa Jawa berarti gigit, sedangkan dalam bahasa Sunda artinya ambil--dalam masyarakat Jawa dan Sunda, cinta dan kejahatan pula bisa beragam maknanya. Lucunya, kebenaran ditentukan oleh mana yang paling banyak menuai suara.
Setidaknya, selain post-truth yang santer dibahas akhir-akhir ini, Schwartz dan Hatty dalam bukunya Controversy in The Critical Criminology pula menjelaskan fenomena ini dalam tiga poin:
ADVERTISEMENT
Singkatnya, Schwartz dan Hatty mencoba mengatakan bahwa kebenaran akan bersifat relatif. Bahasa akan memengaruhi konstruksinya makna, ditambah dengan kebenaran parsial dari informasi yang parsial pula. Perbedaan latar belakang pemahaman, intelektual, serta pengalaman turut andil dalam proses pembentukan makna.
Disambung oleh piramida Hagan yang menjelaskan perihal konstruksi kejahatan merupakan: Pertama, suatu kejahatan dikatakan sebagai sebuah kejahatan atas kesepakatan masyarakat. Kedua, seriusitas (dampak kepada masyarakat) kejahatan akan memengaruhi kesadaran masyarakat akan keberadaan kejahatan. Ketiga, kesadaran akan keberadaan kejahatan dilihat dari dampak yang sudah terjadi pada suatu masyarakat.
Cinta pun begitu. Cinta butuh dinilai, cinta perlu diakui, makna cinta pula dibentuk oleh masyarakat. Buktinya? Bon Jovi memekikkan kalimat “You Give Love a Bad Name”. Lagu yang dipopulerkan Bon Jovi tersebut setidaknya punya dua makna. Satu, ia memang ingin mengatakan bahwa love is a bad name. Dua, love ditempeli stigma buruk akibat sejumlah oknum. Premis itu terdengar seperti dibuat oleh logika cocoklogi. Namun, cukup untuk menggambarkan bahwa terdapat peyorasi makna, bahwa ada sebuah relativitas dalam makna cinta dan kejahatan.
ADVERTISEMENT
Relativitas dengan demikian berkaitan dengan kekuatan masyarakat dalam mengonstruksi suatu makna. Kebenaran parsial dicetuskan oleh pemahaman parsial pula, yang kemudian menciptakan kebenaran yang bersifat relatif. Apakah itu sebuah anomali? Sebuah aberasi? Jawabannya adalah relatif.

Relativitas Cinta dan Angkara

Menyandingkan cinta dan kejahatan kelihatannya bukan suatu hal yang lazim. Terlebih, jika kita memaknai kejahatan melalui KUHP. Namun, yang lucu dari kolaborasi dua elemen ini ialah fenomena siapa yang jahat dan siapa yang benar dalam kisah cinta yang akhir-akhir kian membahana.
Kembali pada cerita di awal artikel, kerap kali kita temui kisah-kisah cinta yang berakhir ambyar, atau dalam bahasa modernnya, sendu. Kisah itu membawa kesaksian ihwal siapa yang jadi korban dan siapa yang jadi pelaku. Mirip dengan cerita kejahatan, kan? Kalimat “aku tersakiti” atau “dia yang jahat”, bahkan “aku rela begini asal kau bahagia” terdengar sangat ironis dan dramatis. Drama itu memunculkan sebuah renungan mengenai begitu kejamnya hubungan percintaan lantaran selalu memakan korban.
ADVERTISEMENT
Hubungan korban-pelaku yang mewarnai kisah cinta yang ambyar lagi pupus, menyatukan kedua elemen ini. Aktor antagonis dalam sebuah kisah cinta tak lain adalah soal berapa banyak kawan yang setuju soal angkara yang yang diperbuat si aktor. Ironis dan dilematis. Mengapa? Kisah cinta kerap disebut ‘roman picisan’, tapi, bagaimana dengan kejahatan? Adakah kejahatan picisan?
Adapun jika disebut seperti itu, hal itu terdengar seperti menyepelekan kejahatan. Kolaborasi kedua elemen ini sungguh terbolak-balik sehingga menumbuhkan ironi yang kian dalam. Maksudnya, konflik asmara kadang lebih penting dari kisah kejahatan yang aktual. Sekali lagi, kebenaran itu relatif.