Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Belajar Kemanusiaan dari Pengungsi Perang di Sudan
12 November 2023 9:47 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Ramadhan Sutan Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada April 2023 lalu terjadi perang Saudara di Sudan. Pada saat itu saya bertugas di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kairo, Mesir. Saya dan tim mendapat tugas untuk mengevakuasi WNI yang terjebak di dalam Sudan yang ingin pulang ke Tanah Air dengan memilih jalur darat melalui Mesir.
ADVERTISEMENT
Terdapat sekitar 1000 orang WNI di Sudan. Pemerintah Indonesia menetapkan jalur evakuasi WNI dari seluruh penjuru Sudan ke kota Port Sudan di timur, untuk selanjutnya naik kapal feri menuju Jeddah, Arab Saudi, lalu melanjutkan perjalanan ke Jakarta dengan pesawat. Meski demikian, terdapat sebagian kecil WNI yang memutuskan untuk evakuasi melalui jalan darat menuju Mesir di utara.
Pada saat itu perjalanan dari Khartoum (Ibu Kota Sudan), tempat tinggal mayoritas WNI di Sudan, menuju perbatasan Mesir sangat berbahaya dan memakan waktu sekitar 15 jam. Untuk kami yang berangkat dari Kairo, juga memerlukan waktu serupa untuk menuju ke perbatasan.
Belum lagi terdapat dua pos perbatasan yang jaraknya berjauhan satu dengan lainnya yaitu pos Argeen dan Goustol. Dari satu pos ke pos lainnya kira-kira membutuhkan waktu 6 jam perjalanan, dengan harus menyeberangi kapal feri yang menyeberangi Sungai Nil.
Adapun penampakan di perbatasan hanyalah pasir dan batu. Tidak ada restoran, apalagi hotel. Untuk itu, saya menjadikan Abu Simbel sebagai base-camp operasi evakuasi kami, mengingat kota ini adalah kota besar terakhir Mesir sebelum perbatasan Sudan, yang terletak sekitar 1,5 jam dari Goustol, dan 4 jam dari Argeen, dan masyhur akan peninggalan Firaun berupa Kuil Abu Simbel.
Dari sekitar 30 WNI yang akan masuk ke Mesir, Sebagian dari mereka bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART), dan ikut ke perbatasan Mesir bersama pemberi kerja mereka (majikan), Warga Negara Sudan. Tantangan yang saya hadapi di lapangan ialah tidak seluruh WNI masuk melewati satu pintu perbatasan saja. Jalur masuk mereka terpencar yaitu ada yang melalui Argeen dan Goustol.
Pemerintah Mesir mensyaratkan kehadiran personil Kedutaan dari Warga Negara Asing yang ingin dievakuasi untuk menerima warga negaranya di perbatasan bagian Mesir.
ADVERTISEMENT
Apabila tidak ada perwakilan dari Kedutaan, maka Warga Negara tersebut tidak bisa menyeberang masuk ke Mesir. Ini makin membuat upaya evakuasi makin menantang, karena harus ulang-alik dari satu perbatasan ke perbatasan lainnya.
Agak miris hati saya sewaktu melihat banyak ART dari berbagai kewarganegaraan yang ditinggal begitu saja di perbatasan oleh para majikannya, karena mereka tidak dapat keluar dari wilayah perbatasan tanpa perwakilan dari Kedutaan negara ART tersebut di Kairo. Dalam hal ini majikan mereka sudah lebih dulu masuk ke Mesir, dan bahkan ada yang sudah mencapai negeri ketiga seperti Kanada, dan Persatuan Emirat Arab.
Belajar Nilai-nilai Kemanusiaan dari Pak Abu Bakar
Terdapat suatu kejadian menarik, di mana pada suatu pagi dini hari pukul 01.00, saya dan tim baru saja selesai seharian penuh mengevakuasi 7 orang WNI di perbatasan Goustol, dan sudah berada di Abu Simbel. Pada saat sedang beristirahat saya menerima panggilan telepon dari nomor yang tidak dikenal. Pada saat saya menjawab telepon tersebut, saya mendengar suara laki-laki dewasa dengan Bahasa Arab logat Sudan, dengan nada setengah menangis.
ADVERTISEMENT
Beliau adalah Pak Abu Bakar, ia bersama seluruh anggota keluarganya telah berada di perbatasan Argeen. Ia sampaikan bahwa dirinya sekeluarga sudah siap masuk ke Mesir, namun tertahan karena satu orang ART yang bekerja dengan keluarganya Bernama Bu Lilis tidak dapat keluar karena ia adalah seorang WNI. Dalam hal ini beliau memohon pertolongan dari KBRI di Mesir untuk ke Argeen, karena apabila tidak, maka pihak imigrasi akan mengembalikan Bu Lilis ke Sudan.
Pak Abu Bakar sampaikan bahwa ia dan keluarga telah menganggap Bu Lilis sebagai anggota keluarganya, mengingat ia sudah belasan tahun bersama. Untuk itu, Pak Abu Bakar tidak tinggal diam, dan berusaha sekuat tenaga melobi dan mengiba kepada otoritas di perbatasan Argeen untuk mengizinkan Bu Lilis masuk Mesir. Bahkan Pak Abu Bakar sempat “mengancam” ke otoritas Perbatasan: “apabila Bu Lilis tidak dapat masuk, maka saya sekeluarga akan kembali ke Sudan”.
ADVERTISEMENT
Hati saya tersentuh ketika mendengar penjelasan Pak Abu Bakar. Ia rela sekeluarga berkorban untuk kembali ke daerah konflik demi memperjuangkan Bu Lilis, seseorang yang tidak memiliki hubungan darah dengan mereka. Pak Abu Bakar bisa saja meninggalkan Bu Lilis seperti kebanyakan majikan lainnya, namun ia tetap teguh dengan prinsip kemanusiaannya.
Solusi di Saat Genting
Pada saat itu, kondisi tidak memungkinkan untuk kami segera ke Argeen, mengingat pada saat itu sudah dini hari, jalanan berbahaya karena minim penerangan, dan memakan waktu perjalanan 4 jam, belum lagi seluruh anggota tim perlu istirahat setelah berupaya seharian penuh mengevakuasi 7 orang WNI dari Goustol.
Akhirnya saya menjawab kepada Pak Abu Bakar untuk tenang dan sampaikan kepada otoritas Bandara bahwa tim evakuasi Indonesia akan datang untuk menjemput Bu Lilis di pagi hari. Untuk itu, mohon waktunya agar Bu Lilis tidak dikembalikan ke Sudan.
ADVERTISEMENT
Sebagai jaminan, saya segera membuka laptop dan mengetik surat sebagai jaminan yang tertuju kepada Otoritas Perbatasan. Kopi surat tersebut saya berikan ke Pak Abu Bakar melalui Whatsapp. Setelah mendapat surat tersebut, Pak Abu Bakar mengungkapkan rasa syukurnya sambil menahan rasa haru. Ia percaya bahwa dengan dibekali surat tersebut, Bu Lilis akan dapat menunggu di perbatasan, atau setidaknya tidak akan dikembalikan ke Sudan.
Sekitar pukul 05.00 pagi hari, saya mendapat pesan menggembirakan dari Pak Abu Bakar. Beliau sampaikan bahwa setelah melakukan ke pendekatan ke Otoritas Perbatasan, mereka sekeluarga, dengan Bu Lilis, akhirnya boleh masuk ke Wilayah Mesir, bahkan tanpa adanya kehadiran Kedutaan.
Mereka sampaikan bahwa sudah di jalan menuju ke Kota Aswan yang terletak sekitar 3 jam ke arah Utara Abu Simbel, dan akan menginap di kota tersebut untuk beberapa hari ke depan.
ADVERTISEMENT
Perjumpaan Pertama untuk Selamanya
Setelah kami selesai dalam misi evakuasi, kami akhirnya kembali ke Kairo dan menyempatkan diri singgah di Aswan untuk bertemu dengan Pak Abu Bakar dan Bu Lilis. Kami akhirnya berjumpa di hotel tempat mereka sekeluarga menginap. Kami menunggu di lobby sekitar 10 menit, lalu tiba-tiba satu sosok Pria tinggi besar dengan wajah yang berseri-seri menghampiri saya dan menanyakan “Apakah Anda Pak Ramadhan?”
Saya jawab “Iya itu saya”, orang tersebut langsung terenyum dan memeluk saya dengan erat. Ternyata beliau lah Pak Abu Bakar. Kami langsung tertawa lepas dan rasa lega terpancar dari wajah kita semua, seakan menghapus kelelahan kami yang menumpuk setelah berhari-hari menangani evakuasi. Pada saat tersebut, saya merasa Pak Abu Bakar bagaikan saudara jauh yang sudah lama tidak berjumpa, meski saya baru bertemu beliau di saat itu.
ADVERTISEMENT
Pak Abu Bakar bercerita bagaimana ia meyakinkan Otoritas Perbatasan untuk membolahkan Bu Lilis masuk Mesir. Ia bercerita bahwa mereka sekeluarga dan Bu Lilis saling merangkul sambil menangis, dan pemandangan ini mengetuk hati seorang perwira di Mesir yang iba dengan Pak Abu Bakar sekeluarga.
Akhirnya beliau memberikan pengecualian, dan menjadikan surat jaminan yang kami sudah siapkan sebagai dasar untuk mengizinkan Bu Lilis meneruskan perjalanannya masuk ke Mesir. Mereka akhirnya masuk Mesir sekitar pukul 05.00 pagi.
Pada kesempatan tersebut kami juga bertemu dengan Bu Lilis, dan seluruh anggota keluarga Pak Abu Bakar. Bu Lilis tampak bersahaja dan terlihat sangat dekat hubungannya dengan keluarga Pak Abu Bakar. Bu Lilis mengakui sudah belasan tahun bekerja dengan keluarga Pak Abu Bakar, dan selama itu, Bu Lilis merasa seperti bagian dari keluarga Abu Bakar. Mereka makan bersama semeja, dan bahkan sering berlibur bersama.
ADVERTISEMENT
Kami berbincang-bincang mengenai konflik di Sudan, dan bagaimana mereka melarikan diri dari Sudan. Pak Abu Bakar bercerita bahwa dirinya merupakan seorang pengusaha. Beliau memiliki kebun kurma, dan perusahaan bus antarkota. Bisnis kurmanya habis akibat perang, sedangkan bisnis busnya masih beroperasi secara terbatas.
Dengan membawa harta terbatas beliau berencana untuk tinggal di Kairo untuk membangun kehidupan baru. Meski demikian, Pak Abu Bakar terlihat optimis untuk membangun hidup barunya, dan kami berdua sepakat untuk terus menjaga silaturahmi.
Tak terasa kami telah berbincang selama 2 jam, akhirnya kami harus berpisah. Pak Abu Bakar berjanji akan mengunjungi saya apbila sudah berhasil mencapai Kairo. Pertemuan singkat tersebut mengajarkan saya akan pentingnya kemanusiaan dan persaudaraan terlepas dari adanya perbedaan.
ADVERTISEMENT
Kisah keluarga Pak Abu Bakar dan Bu Lilis menjadi salah satu bukti bahwa meski di waktu sulit sekalipun, kemanusiaan harus tetap menjadi prinsip utama yang harus kita pegang teguh. Selain itu meskipun sudah kehilangan hartanya, Pak Abu Bakar masih tetap optimis dan positif akan masa depan. Akhirnya saya dan tim kembali menuju Kairo, dan senantiasa mendoakan yang terbaik untuk Pak Abu Bakar dan Bu Lilis.
3 bulan setelah pertemuan di Aswan, saya mendapatkan telepon dari Pak Abu Bakar. Beliau sampaikan bahwa sudah tiba dan menetap di Kairo. Ia sampaikan bahwa dirinya sudah di depan Kedutaan Indonesia di Kairo untuk bertemu dengan saya. Mendengar itu, saya segera bergegas ke ruang tamu untuk bertemu beliau. Akhirnya kita bertemu kembali dengan penuh rasa bahagia.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, hubungan kami terus terjaga dengan baik, dan keadaan keluarga beliau, termasuk Bu Lilis juga baik. Kalau bukan karena perang, mungkin kami tidak akan saling mengenal satu sama lain. Semoga Pak Abu Bakar beserta keluarga, dan Bu Lilis selalu dalam keadaan sehat.