Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mata Angin sebagai Penunjuk Arah di Jogja
20 November 2023 8:00 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Ramadhan Sutan Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada November 2023, saya mengunjungi Daerah Istimewa Yogyakarta (Jogja) untuk mengikuti Diklat kedinasan. Di Tengah-tengah Diklat saya berkesempatan berkenalan dengan dua orang teman bernama Ardian dan Nawal yang merupakan mahasiswa Indonesia di Mesir, asli Jogja. Mereka kebetulan sedang berada di Jogja, dan dengan baik hati mengantar saya untuk berkeliling.
ADVERTISEMENT
Sepanjang perjalanan mereka berdua dengan antusias bercerita tentang perkembangan terakhir di Jogja seperti contohnya kemunculan bakpia red velvet, dan bahkan bakpia isi sambal dan sayur. Hal ini tentu membuat saya kaget sebagai seorang pecinta bakpia yang sudah lama tidak ke Jogja.
Namun demikian terdapat hal yang tidak berubah dari Jogja, yaitu kebiasan masyarakatnya menunjuk arah dengan menggunakan mata angin. Berbeda dengan orang di Jakarta (tempat saya tinggal), orang Jogja terbiasa menunjuk arah dengan menggunakan mata angin. Bukannya menggunakan istilah “belok kiri”, “belok kanan”, dan “lurus”, orang Jogja terbiasa menggunakan istilah “ke utara”, “ke barat”, “ke timur”, dan “ke selatan”.
Menariknya hal ini juga masih terjaga di kalangan generasi muda. Seperti Mas Ardian dan Mas Nawal yang lahir di tahun 2000an, mereka masih dapat menggunakan mata angin untuk menunjukkan jalan dengan baik.
ADVERTISEMENT
Tanda alam menjadi patokan
Yang membuat saya bertanya-tanya yaitu bagaimana cara mengetahui arah mata angin tersebut di lapangan?. Apa yang membuat anda tahu bahwa jalan ini mengarah ke utara, atau barat, dan seterusnya?. Ternyata ada beberapa patokan yang digunakan oleh Masyarakat Jogja secara turun temurun.
Mas Ardian sampaikan ke saya patokan utama adalah utara itu Gunung Merapi. “kalau kita menghadap Gunung Merapi, itu tandanya kita menghadap ke utara”. Tanda lain yang digunakan adalah matahari, mengingat matahari terbit dari timur dan terbenam di barat. Selain itu, jalan-jalan besar di Jogja juga relatif lurus mengarah dari selatan-utara, atau barat-timur sehingga memudahkan warga untuk menjadikan jalan sebagai patokan.
Namun hal ini memungkinkan karena letak Jogja yang memang sudah dirancang oleh Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hmengkubuwono I) yang memilih Jogja sebagai ibukota kerajaannya, karena letak Jogja yang dikelilingi oleh tanda-tanda alam yang simetris, diantaranya enam sungai diantaranya Sungai Code, dan Winanga di ring pertama, Sungai Gajahwong dan Sungai Bedog di ring kedua, serta Sungai Opak dan Sungai Progo di ring ketiga. Ditambah tata kota yang dimulai dengan pembentukan garis lurus antara Gunung Merapi, Tugu Jogja, Keraton, dan Laut Selatan sehingga membuat penggunaan mata angin sebagai referensi arah lebih mudah untuk dipraktekkan di Jogja.
ADVERTISEMENT
Adapun penentuan tata letak kota Jogja ini ternyata mengandung makna filosofis. Menurut keterangan yang saya peroleh dari penulusuran saya, Pangeran Mangkubumi memilih lokasi Jogja dengan pertimbangan simbolis-filosofis di mana dengan menggunakan sumbu imajiner Gunung Merapi-Tugu-Keraton-Laut Selatan. Gunung merupakan tempat suci, sedangkan kota (termasuk Keraton di dalamnya) melambangan bumi - tempat aktifitas kehidupan manusia, dan laut sebagai tempat pembuangan akhir dari segala sisa yang ada di bumi.
Sumbu imajiner ini melambangkan keselarasan and kesinambungan hubungan manusia dengan tuhannya (Hablun Min Allah), manusia dengan manusia (Hablun Min Annas), maupun manusia dengan alam, termasuk lima anasir pembentuknya yaitu Api – dari Gunung Merapi; Tanah – dari Bumi Yogyakarta; Air – dari Laut Selatan, Angin dan Ether.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya Mas Raka Kumara pernah menulis hal ini lebih lengkap yang dapat dilihat di tautan berikut:
Kemungkinan nilai filosofis inilah yang membuat Jogja terletak di tempat yang secara geografis simetris, sehingga membuat masyarakatnya mudah untuk menggunakan mata angin dalam menunjukkan arah, seperti Mas Ardian dan Mas Nawal yang dengan entengnya berdebat diantara mereka pada saat mencari jalan “harusnya kita ke utara”…. “lha bukan, kita harusnya ke barat” di mana saya yang bukan orang Jogja hanya bisa tersenyum sambil berkata di dalam hati “Oh Jogja, dirimu memang istimewa”.