news-card-video
20 Ramadhan 1446 HKamis, 20 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Investasi Aman atau Judi Berisiko? Risiko dan Pengembalian di Pasar Indonesia

Muhammad Ramadhani Kesuma
Dosen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman
17 Maret 2025 12:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ramadhani Kesuma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber : Diolah Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Diolah Penulis
Apakah Anda benar-benar berinvestasi atau sekadar bertaruh dengan tabungan Anda di pasar saham Indonesia? Pertanyaan ini mungkin terasa menusuk, tapi lihatlah kenyataannya. Dari 2020 hingga 2025, partisipasi investor ritel di pasar modal Indonesia melonjak tajam, didorong oleh kemajuan platform keuangan digital seperti Bibit dan Ajaib yang menyasar anak muda dan kelas menengah yang sedang tumbuh (Fitriyah & Rahmawati, 2022). Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat lebih dari 12 juta investor pada akhir 2024—angka yang mencengangkan dibandingkan dekade sebelumnya. Tapi, di balik euforia ini, ada masalah serius: literasi finansial kita masih pincang. Banyak yang membeli saham karena “katanya lagi naik” atau ikut-ikutan teman, tanpa tahu apa yang mereka hadapi. Janji cuan besar memang menggoda, tapi ada rahasia yang jarang dibicarakan: risiko dan pengembalian. Dua hal ini bisa jadi pembeda antara dompet penuh atau tangan kosong.
ADVERTISEMENT
Pasar modal Indonesia bukan arena ramah untuk pemula yang asal nyemplung. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sedang bergoyang, dipicu ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan kebijakan moneter Bank Indonesia yang kian ketat untuk menahan inflasi (Rini, 2024). Bayangkan pasar ini seperti laut berombak: kadang tenang, tapi tiba-tiba badai menerjang. Investor ritel, yang kini didominasi generasi muda, sering tergiur saham teknologi seperti GoTo atau sektor konsumsi seperti Indofood. Saham-saham ini menawarkan potensi keuntungan besar, tapi juga volatilitas yang bikin jantungan. Belum lagi tren investasi berbasis hype—saham gorengan atau “rekomendasi” dari grup WhatsApp—yang makin marak. Di sini, memahami risiko dan pengembalian bukan cuma teori kaku di kelas ekonomi—ini soal bertahan di tengah pasar yang penuh jebakan. Tanpa bekal pengetahuan, Anda bukan investor, melainkan penumpang gelap di kapal tanpa nahkoda.
ADVERTISEMENT
Apa itu risiko dan pengembalian? Sederhananya, ini dua sisi mata uang dalam investasi. Pengembalian adalah untung yang Anda raup—misalnya, saham Rp100.000 naik jadi Rp120.000, berarti Anda dapat 20%. Tapi risiko adalah bayang-bayangnya: harga itu bisa jatuh ke Rp80.000 kapan saja. Dalam pasar Indonesia dari 2020, saham teknologi seperti GoTo punya beta tinggi—artinya lebih liar dibanding pasar—sementara saham blue-chip seperti Unilever Indonesia menawarkan stabilitas dengan beta rendah, cocok untuk yang takut risiko (Lubis, 2021). Hukumnya jelas: potensi untung besar datang dengan peluang rugi yang tak kalah besar. Ini seperti bermain dadu, tapi Anda bisa membaca polanya. Coba cek saham Anda: kalau beta-nya di atas 1, siap-siap untuk roller coaster emosi setiap IHSG goyah. Sudahkah Anda paham ini sebelum tekan tombol “beli” di aplikasi Anda?
ADVERTISEMENT
Sayurannya lebih pahit lagi: banyak investor Indonesia—terutama yang baru terjun—memperlakukan pasar saham seperti kasino. Mereka membeli berdasarkan rumor di Twitter, ikut FOMO, atau percaya “analis” tanpa dasar di YouTube. Studi menunjukkan bahwa rendahnya literasi finansial memperparah kesalahan keputusan, membuat investor ritel rentan rugi besar (Wijaya & Utami, 2023). OJK bilang literasi keuangan kita masih di bawah 50%, jauh tertinggal dari Singapura atau Malaysia. Akibatnya? Ketika saham teknologi anjlok—seperti yang sering terjadi pasca-IPO—banyak yang panik jual rugi atau menyalahkan “bandar” tanpa introspeksi. Ini bukan investasi, ini taruhan buta. Bedanya dengan judi sungguhan? Di pasar saham, Anda punya data, laporan keuangan, dan grafik—tapi kebanyakan malas membukanya. Tanpa memahami risiko, Anda bukan investor sejati—Anda penjudi dengan gadget canggih.
ADVERTISEMENT
Tapi tenang, ada jalan cerdas untuk menang tanpa jadi penjudi. Pertama, peluk konsep diversifikasi: jangan taruh semua telur dalam satu keranjang. Kalau cuma pegang saham GoTo dan sektor teknologi ambruk, tabungan Anda ikut lenyap. Studi pasca-2020 menunjukkan diversifikasi ke saham, obligasi, dan reksa dana bisa kurangi risiko—asalkan Anda paham korelasi aset (Hendarto et al., 2021). Sebarkan investasi Anda: sedikit saham teknologi, sedikit saham stabil seperti Telkom, plus obligasi pemerintah yang aman. Kedua, rajin riset. Bukan cuma lihat harga naik-turun, tapi cek beta-nya, lihat histori pengembalian, dan cocokkan dengan nyali Anda. Kalau takut rugi besar, hindari saham beta tinggi. Ketiga, sabar. Investasi bukan lotre—ini maraton. Portofolio sederhana seperti 50% saham Telkom, 30% obligasi negara, dan 20% reksa dana saham bisa jadi awal yang aman sekaligus punya potensi tumbuh.
ADVERTISEMENT
Sekarang, saatnya kita bercermin. Investasi bukan soal keberuntungan, tapi keberanian berpikir jernih di tengah badai ketidakpastian. Pasar Indonesia di 2025 adalah ladang emas sekaligus jurang maut—dari ekonomi digital yang melejit hingga sektor konsumsi yang bangkit pasca-pandemi. Studi membuktikan bahwa literasi finansial tinggi mendorong investasi cerdas, memperkuat stabilitas individu, dan menggerakkan roda ekonomi (Fitriyah & Rahmawati, 2022). Tapi tanpa pengetahuan, Anda cuma pion di permainan orang lain. Jangan biarkan aplikasi di ponsel Anda jadi meja judi—jadikan itu senjata untuk masa depan. Pilihannya ada di tangan Anda: bermain aman dengan untung kecil, atau ambil risiko untuk meraup laba. Tapi ingat, di pasar ini, yang tak belajar akan tersingkir.
References :
Fitriyah, A. and Rahmawati, N. (2022). Digital platform, financial literacy and motivation on generation z's decision to invest in islamic stocks: a structural equation modelling analysis. Muqtasid Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah, 13(2), 112-126. https://doi.org/10.18326/muqtasid.v13i2.112-126
ADVERTISEMENT
Hendarto, K., Anastasia, N., & Basana, S. (2021). The effect of financial literacy, financial risk tolerance, and financial socialization agents on stock investment decision in the millennial generation. Petra International Journal of Business Studies, 4(1), 11-22. https://doi.org/10.9744/ijbs.4.1.11-22
Lubis, I. (2021). Kurtosis and skewness on lagged market risk premium in indonesian market during covid 19 pandemic. Jurnal Mandiri Ilmu Pengetahuan Seni Dan Teknologi, 5(1). https://doi.org/10.33753/mandiri.v5i1.168
Rini, A. (2024). Determinants of financial literacy, digital literacy, internet penetration and consumer confidence level mediated by fintech growth on retail industry growth in indonesia. International Journal of Educational Research & Social Sciences, 5(6), 943-952. https://doi.org/10.51601/ijersc.v5i6.928
Wijaya, C. and Utami, N. (2023). Financial literacy and demographics of investment decisions: a study of the young generation in jabodetabek., 57-61. https://doi.org/10.2991/978-94-6463-244-6_11
ADVERTISEMENT