Konten dari Pengguna

Pilkada 2024: Pentingnya Perkuat Literasi Digital

Ramaldy Krisna
Mahasiswa Paramadina Graduate School of Diplomacy
27 September 2024 15:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ramaldy Krisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Literasi Digital. Sumber: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Literasi Digital. Sumber: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahun 2024 akan menjadi tahun yang dikenang oleh berbagai kalangan masyarakat Indonesia termasuk generasi muda karena adanya dua penyelenggaraan pemilu atau pemilihan umum. Pemilu merupakan suatu proses dengan sifat demokratis yang menyebabkan masyarakat memiliki hak untuk memilih. Indonesia pada 14 Februari 2024 silam telah menyelenggarakan pemilu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, serta DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Namun, Indonesia akan kembali mengadakan pemilu pada 27 November 2024 untuk menentukan pemimpin di suatu daerah selama 5 tahun ke depan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Penyelenggaraan pemilu mendatang menunjukkan sehatnya sistem demokrasi di Indonesia. Sejatinya sehatnya demokrasi di Indonesia harus membutuhkan partisipasi aktif dari warga negara. Dilansir Democracy Matrix, Indonesia menempati urutan 77 dengan skor 0,587 pada tahun 2020. Namun, perolehan skor Indonesia ini masih lebih rendah dari Timor Leste dengan skor 0,612.
Sebagai negara demokratis, partisipasi politik menjadi indikator penting bagi Indonesia dalam gelaran kekuasaan tertinggi negara yang sah oleh masyarakat melalui pemilu. Penelitian Naifah & Fitriani (2024) mendukung hal ini dengan memperlihatkan bahwa semakin meningkat partisipasi politik menunjukkan pengetahuan, pemahaman, serta rasa ingin berkontribusi dari masyarakat dalam dunia politik. Sebaliknya, rendahnya partisipasi politik menunjukkan kurangnya masyarakat dalam menghargai dan tertarik dengan isu atau kebijakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaporkan tingkat partisipasi pemilih mencapai sekitar 81 persen dari sebanyak 204,8 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilu 2024 silam. Namun, partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 mengalami penurunan dibandingkan Pemilu 2019. Dalam konteks ini, misalnya, Jakarta mencatatkan partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 lebih dari 77 persen. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan Pemilu 2019, khususnya pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) untuk DPRD Jakarta dan DPD RI. Ketua KPU Jakarta Wahyu Dinata menerangkan tingkat partisipasi Pilpres 2024 di Jakarta mencapai 78,78 persen dan untuk Pileg DPRD Provinsi mencapai 77,46 persen. Sementara Pileg DPD RI, terlapor sebesar 77,65 persen.
Berdasarkan data hasil Pemilu 2019 yang dirilis KPU Jakarta, tingkat partisipasi pemilih untuk Pilpres sekitar 79,28 persen. Sedangkan, tingkat partisipasi pemilih untuk Pileg DPRD Provinsi Jakarta tercatat 78,36 persen. Kemudian, tingkat partisipasi pemilihnya untuk Pileg DPD RI 2019 mencapai 78,49 persen.
ADVERTISEMENT
Rendahnya partisipasi politik dapat terjadi karena eksistensi dari buzzer politik yang menyebabkan masyarakat menjadi tidak tertarik pada isu atau kebijakan pemerintah. Buzzer politik seharusnya bertugas mengenalkan visi, misi, dan program dari kontestan pemilu di sosial media. Namun, eksistensi buzzer ini dapat menciptakan kondisi disharmonisasi dalam masyarakat yang terjadi karena adanya penyebarluasan berita bohong atau hoaks dan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Kehadiran hoaks dan isu tersebut di media sosial seperti Facebook, Tiktok, dan X dapat menimbulkan emosi negatif yang memicu perpecahan di masyarakat.
Seorang pengunjuk rasa Mesir memegang bendera nasionalnya sambil meneriakkan slogan-slogan menentang Presiden Hosni Mubarak di Lapangan Tahrir, Kairo pada tahun 2011. Sumber: Pedro Ugarte 2011 Getty Images

Belajar dari Negara Lain

Sejumlah negara seperti Tunisia dan Mesir dapat dijadikan contoh dari dampak eksistensi media sosial yang dapat memicu emosi negatif yang dikenal dengan Arab Spring. Peristiwa ini berawal dari Tunisia yang dipelopori aksi bakar diri penjual sayuran untuk memprotes pelecehan yang dilakukan polisi. Kemudian, Mohamed Bouazizi meninggal pada 4 Januari 2024 dan aksi tersebut tersebar di media sosial yang memicu amarah masyarakat atas ketidakadilan kondisi ekonomi masyarakat. Amarah tersebut mengakibatkan demonstrasi yang menginginkan Ben Ali melepaskan kekuasaan otoriternya dan mengadakan revolusi politik yang lebih demokratis. Ben Ali setelah 23 tahun memimpin menjadi pemimpin pertama negara Arab yang dilengserkan oleh demonstrasi. Protes tersebut memicu demonstrasi ke seluruh Arab, misalnya, Mesir yang menuntut runtuhnya pemerintahan Presiden Hosni Mubarak.
ADVERTISEMENT
Peristiwa Arab Spring di seluruh Arab menunjukkan pentingnya perkuat literasi digital bagi masyarakat Indonesia, terutama para pemilih pemula. Dimana pemilih pemula mengacu pada pelajar Sekolah Menengah Atas dan mahasiswa yang berusia 17-21 tahun. Hal ini karena pemilih pemula yang paling cepat menerima pengaruh negatif di media sosial. Oleh karena itu, pemilih pemula harus memiliki pengetahuan terkait Pemilu dalam menentukan pemimpin yang akan memimpin daerah mereka selama 5 tahun mendatang.

Mengapa penting perkuat literasi digital bagi pemilih pemula?

Pertama, berita bohong atau hoax dan asli sulit untuk dibedakan. Banyak sekali berita yang tersebar di masyarakat mengakibatkan sulit membedakan antara berita hoax dan berita asli. Melalui penguatan literasi digital, pemilih pemula dapat melakukan kajian ulang terhadap berita yang diperoleh. Sehingga, menjelang Pilkada 2024 pemilih pemula bisa memperoleh berita terkait Pilkada 2024 secara faktual dan terpercaya.
ADVERTISEMENT
Kedua, mudah terprovokasi. Secara umum, pemilih pemula memiliki kemampuan emosional yang tidak stabil. Emosional yang labil ini menyebabkan pemilih pemula mudah terprovokasi dan malas berpikir kritis sehingga dapat mudah dibutakan oleh fanatisme. Oleh karena itu, penguatan literasi digital menjadi penting karena dapat menjaga stabilitas emosional pada pemilih pemula.
Ketiga, mudah untuk membenci. Dimana hal ini tidak lepas dari interaksi sosial di tengah masyarakat. Tentu saja ada beragam interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat yang dapat menimbulkan kebencian terhadap seseorang atau lembaga. Apalagi jika emosional pemilih pemula tidak stabil, maka penguatan literasi digital menjadi penting.
Pada akhirnya, memiliki literasi digital yang baik akan membantu pemilih pemula untuk menentukan pilihannya. Pengetahuan ini tidak hanya bermanfaat dalam Pilkada 2024, Dengan demikian, akan terciptanya kondisi damai dan juga dapat meningkatkan partisipasi pemilih pada Pilkada 2024.
ADVERTISEMENT