Konten dari Pengguna

Agresivitas dan PMKH: Pentingnya Peran Psikolog bagi Terdakwa dalam Persidangan

Rama Hendra Triadmaja
Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
24 Agustus 2024 10:22 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rama Hendra Triadmaja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ruang Sidang (sumber: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ruang Sidang (sumber: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Apa yang ada di benak kita ketika mendengar kata "terdakwa"? Seseorang yang jahat? Mereka yang sedang diadili? Atau mereka yang bengal terhadap hukum?
ADVERTISEMENT
Pastinya setiap orang memiliki penafsiran yang berbeda-beda mengenai arti kata terdakwa. Namun satu hal yang pasti ialah makna "terdakwa" selalu berkonotasi negatif di mata masyarakat tanpa memperhatikan siapa yang melakukannya dan alasan apa yang melatarbelakangi perbuatannya itu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia atau yang kita kenal dengan KBBI mengartikan kata terdakwa sebagai orang yang didakwa (dituntut, dituduh) telah melakukan tindak pidana dan adanya cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan di muka persidangan.
Ditinjau dari sudut pandang yuridis, kita mengenal asas geen straf zonder schuld yang berarti tiada sanksi pidana bila tidak ada perbuatan pidana yang dilanggar. Selain itu, dalam kepustakaan hukum hak asasi manusia dikenal pula asas presumption of innocence yaitu seseorang tidak boleh disangka bersalah atas perbuatan tertentu sampai adanya putusan in kracht. Penjelasan Umum butir 3c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa:
ADVERTISEMENT
Kedua asas tersebut memiliki koherensi yang kuat antara bagian satu dengan bagian lainnya. Mereka saling mengisi bagian-bagian yang rumpang sehingga didapati suatu konstruksi hukum yang solid bagi terciptanya penegakan hukum yang berkeadilan.
Ilustrasi sidang di Pengadilan. Foto: Nugroho Sejati/kumparan

Terdakwa, Keadilan, dan Labeling

Tidak dapat dielakkan bahwa penegakan hukum erat hubungannya dengan personifikasi hakim sebagai "wakil Tuhan." Mengutip dari buku bertajuk Etika dan Kode Etik Profesi Hukum karya Suparman Marzuki, hakim diartikan sebagai the spokesman of the fundamental values of community. Hal ini tak lepas dari peranan hakim dalam memutus dan mengadili suatu perkara di mana putusan tersebut kelak akan berdampak kepada nasib pihak yang berperkara.
ADVERTISEMENT
Putusan hakim tidak dapat dianggap sebagai lembaran-lembaran kertas kosong semata. Akan tetapi, mengandung makna yang holistik secara lahiriah dan batiniah sebagaimana termaktub dalam frasa "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Sebagai akibatnya suatu putusan hakim tidak boleh ditafsirkan salah melainkan demi hukum dianggap benar sampai ada putusan hakim baru yang mengoreksi putusan sebelumnya. Asas ini disebut dengan asas res judicata veritate habetur.
Kendati demikian, tidak sedikit kita temui banyak terdakwa merasa tidak puas atas putusan yang telah dijatuhkan. Ungkapan yang sering kita dengar adalah "hakim memutus dengan tidak adil, tak sesuai antara perbuatan dan hukumannya."
Terdapat adagium masyhur yang sering dilontarkan oleh kaum Positivis untuk mengkritik keadilan. Summum ius summa injuria; summa lex summa crux yang berarti hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan dapat menolongnya. Sikap skeptis kaum Positivis tercermin dari sikap mereka yang menegaskan bahwa keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi. Bagi mereka keadilan merupakan suatu konsep yang abstrak dan sulit untuk digapai sehingga berakibat pada ketidakpastian hukum bagi banyak orang.
ADVERTISEMENT
Kekecewaan atas ketidakpuasan putusan pengadilan tersebut mendorong terdakwa untuk bertindak spontan berdasarkan emosionalnya dengan mengenyampingkan akal budi sehatnya. Sedikit banyak kita temui bahwa seseorang tidak bisa mengontrol kemarahannya sehingga melakukan perbuatan-perbuatan yang membahayakan orang lain bahkan dalam konteks proses peradilan cenderung merendahkan marwah pengadilan atau hakim.
Selain itu, adanya "cap" yang disematkan oleh masyarakat kepada terdakwa turut membebani psikologis terdakwa. Masyarakat menilai bahwa mereka adalah sekelompok orang yang hina atas perbuatan yang telah mereka lakukan sehingga berhak untuk menerima celaan, cercaan, bahkan pengasingan sosial.
Puti Priyani dan Andika Dwi Yuliardi dalam bukunya yang bertajuk Kriminologi: Sebab-Sebab Terjadinya Kejahatan menyatakan bahwa seseorang yang telah memperoleh cap atau label sulit untuk melepaskan dirinya dari stigma negatif yang telah melekat. Pada akhirnya, orang yang bersangkutan akan mengidentifikasikan dirinya sebagai kriminal atas label atau cap yang telah diberikan oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Teori di atas sangatlah relevan dengan keadaan masyarakat Indonesia yang bersifat komunal. Kita bisa memperhatikan pola interaksi sosial yang terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang tersandung kasus pidana, maka tidak sedikit kita temui tanggapan masyarakat berupa gunjingan atau olokan kepada pelaku. Masyarakat Jawa menggunakan istilah rasan-rasan atau ngrasani, yakni sebuah kebiasaan untuk membicarakan keburukan atau kekurangan seseorang karena suatu hal yang bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat.
Cap yang diberikan oleh masyarakat kepada terdakwa ini lain halnya dengan asas praduga tak bersalah. Artinya, meskipun belum ada putusan in kracht dari pengadilan seseorang dapat disematkan cap atau label oleh masyarakat atas pelanggaran atau penyimpangan nilai atau norma yang telah ia lakukan.
Ilustrasi penangkapan tersangka kasus kriminal. Foto: Irsan Mulyadi/ANTARA

Peranan Psikolog dalam Mencegah PMKH

Sebelum kita membahas relevansi psikolog dan terdakwa dalam pencegahan PMKH. Alangkah baiknya saya ingin bertanya apakah kawan-kawan sekalian pernah mendengar istilah PMKH? Agaknya istilah ini cukup asing di telinga masyarakat awam.
ADVERTISEMENT
Istilah PMKH atau Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Hakim dapat kita temukan pada Pasal 1 angka 2 Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim mengartikan PMKH. PMKH diartikan sebagai sebagai perbuatan orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang mengganggu proses pengadilan, atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara, mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan, menghina hakim dan pengadilan.
Bentuk-bentuk PMKH berdasarkan Peraturan Komisi Yudisial Nomor. 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim
PMKH meruapakn suaut perbuatan melawan hukum yang membahayakan ketertiban jalannya persidangan, kedamaian masyarakat, dan integritas hakim. Tidak sedikit PMKH ini memengaruhi keselamatan dan keaman hakim. Kendati demikian, siapa pun mungkin untuk terjerumus dalam PMKH tak terkecuali terdakwa.
Sebagai contoh, pada tahun 2021 silam telah terjadi penyerangan oleh terdakwa berinisial MYW kepada ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi. Apa penyebabnya? Dikutip dari Kompas.tv, MYW tidak terima atas vonis tiga tahun penjara bila dibandingkan dengan perbuatan penyebaran informasi hoaks COVID-19 yang telah ia lakukan.
ADVERTISEMENT
Kegoncangan jiwa dan luapan emosional secara spontan yang diakibatkan oleh ketidakmampuan dalam menerima putusan hakim memicu terjadinya perilaku agresi yang mengarah pada bentuk-bentuk PMKH. Al Baqi dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kemarahan dan tindakan kekerasan terjadi karena seseorang tidak dapat mendefinisikan marah dengan baik bahkan sejumlah emosi yang ia rasakan.
Sementara itu, Taylor, Peplau, dan Sears dalam bukunya Psikologi Sosial mengartikan agresivitas atau perilaku agresif sebagai suatu tindakan yang dilakukan dengan tujuan menyakiti atau melukai seseorang sebagai akibat dari luapan emosi terhadap reaksi kegagalan individu yang ditandai dengan pengrusakan pada diri manusia atau benda secara sengaja baik dilakukan secara perkataan maupun perbuatan.
Apabila kita telaah lebih lanjut, maka akumulasi beban psikologis terdakwa yang disebabkan oleh ketidakpuasan pada putusan hakim dan cap yang disematkan masyarakat mengakibatkan terjadinya ketidakmampuan terdakwa dalam mengontrol emosinya. Kegagalan dalam mengendalikan kemarahan ini berujung pada perilaku agresi atau agresivitas baik berbentuk verbal maupun nonverbal di mana hal tersebut berpotensi untuk menimbulkan PMKH.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, diperlukan adanya pendampingan oleh psikolog bagi terdakwa terutama dalam hal konseling. Psikolog memiliki andil bagian penting dalam memberikan bantuan kepada terdakwa terutama dukungan emosional dan relasional. Sebagai contoh, bagaimana menerapkan anger management yang tepat, dan mengembalikan kepercayaan diri si terdakwa.
Selain itu, psikolog memiliki peranan lain berkaitan dengan menjaga dan merawat kesehatan mental si terdakwa untuk tetap stabil terutama akibat dari depresi ataupun kecemasan berlebihan (anxiety).
Pada akhirnya, terdakwa tetap memerlukan dukungan psikologis bukan semata-mata untuk menghindari PMKH saja akan tetapi kewajiban negara dalam memberikan rasa aman dan sejahtera baik jasmani maupun rohani. Ingat, terdakwa bukanlah bangkai hidup melainkan manusia sama halnya dengan aparat penegak hukum dan masyarakat secara luas. Dirinya berhak untuk mendapatkan hak-haknya, kasih sayang, dan diperlakukan sesuai dengan harkat serta martabatnya layaknya manusia lainnya.
ADVERTISEMENT