Konten dari Pengguna

Menyoal Upah Pekerja Paruh Waktu: Apakah Berkeadilan?

Ramanda Bima Prayuda
Saya merupakan mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Politik di Universitas Negeri Semarang.
16 Maret 2025 2:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ramanda Bima Prayuda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Karya penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Karya penulis
ADVERTISEMENT
Di balik gemerlap kehidupan mahasiswa, ada realitas yang jarang disorot, yaitu perjuangan mereka mencari tambahan penghasilan lewat pekerjaan paruh waktu. Di Sekaran, kawasan kampus Universitas Negeri Semarang (UNNES), mahasiswa bukan hanya sibuk dengan tugas dan perkuliahan, tetapi juga dengan pekerjaan sampingan demi mencukupi kebutuhan. Ironisnya, alih-alih mendapat kompensasi yang layak, banyak dari mereka justru terjebak dalam sistem kerja dengan upah minim dan pembayaran yang tidak menentu.
ADVERTISEMENT
Secara teori, upah pekerja paruh waktu adalah kompensasi yang diberikan kepada pekerja yang bekerja dengan durasi lebih singkat dibandingkan pekerja penuh waktu, biasanya dengan sistem penggajian berbasis jam atau shift. Besaran upah ini bervariasi tergantung pada jenis pekerjaan, lokasi, serta kebijakan dari masing-masing pemberi kerja. Akan tetapi, dalam praktiknya, upah pekerja paruh waktu sering kali lebih rendah dibandingkan pekerja tetap, meskipun beban kerja yang mereka emban tidak selalu lebih ringan. Ketimpangan upah pekerja paruh waktu di Sekaran memicu kegaduhan setelah keluhan mereka viral di platform X. Bayaran rendah yang hanya Rp40.000 untuk enam jam kerja, tak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan, terutama untuk pekerjaan fisik berat. Lebih parah lagi, pembayaran sering kali tidak menentu. Tanpa pengawasan yang jelas, sistem ini rawan eksploitasi. Para pekerja tak butuh janji manis, mereka menuntut keadilan yang nyata.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan cuitan yang beredar, beberapa pekerja part-time mengaku menerima bayaran yang terlalu rendah dibandingkan dengan tugas yang mereka emban. Hal ini memicu perbincangan luas di kalangan pekerja, pemilik usaha, hingga masyarakat umum. Untuk menelusuri lebih jauh, penulis melakukan observasi langsung pada Rabu-Kamis, 5-6 Maret 2025, di beberapa tempat kerja di Sekaran. Anomali ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari pekerja part-time yang terdampak, pemilik usaha sebagai pemberi upah, hingga pemerintah yang bertanggung jawab dalam pengawasan ketenagakerjaan. Fenomena ini pun menimbulkan pertanyaan besar: “apakah sistem penggajian sudah berjalan adil, atau ada ketidakseimbangan yang perlu dikoreksi?”
“Mahasiswa Sekaran mempunyai minat di pekerjaan paruh waktu, akan tetapi upah dinilai kurang adil. Mahasiswa di Sekaran memilih pekerjaan paruh waktu dikarenakan fleksibilitas jadwal waktu yang memungkinkan dengan waktu perkuliahan,” ujar salah satu pekerja paruh waktu dalam keterangannya, Rabu (5/3/2025). Pekerja paruh waktu juga menyebutkan bahwa pekerjaan yang umum dan yang sering dilakukan yaitu menjaga stand atau gerai dengan sistem berbasis shift. Penulis juga memperoleh data bahwa upah pekerja dihitung per jam, dengan kisaran Rp40.000 untuk enam jam kerja paruh waktu. Di Indonesia, aturan pengupahan diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang menyebutkan bahwa pekerja berhak atas upah berbasis satuan waktu atau hasil. Meskipun demikian, regulasi spesifik untuk pekerja paruh waktu masih minim. Di Kota Semarang, UMK 2025 ditetapkan Rp3.454.827 per bulan, yang jika dihitung, setara dengan Rp19.969 per jam untuk pekerja tetap. Dengan standar tersebut, pekerja paruh waktu yang bekerja 6 jam sehari seharusnya menerima sekitar Rp119.814 per hari, jauh di atas realitas upah Rp40.000 untuk 6 jam kerja yang saat ini mereka terima. Sistem pembayaran pekerja paruh waktu bervariasi, bisa dilakukan mingguan saat usaha ramai atau setelah 30 hari kerja jika usaha sedang sepi. Beberapa pekerjaan, seperti memasak atau tugas fisik berat, dianggap tidak sebanding dengan upah yang mereka terima. Hingga berita ini ditulis, belum ada tanggapan dari pihak pemerintah maupun pemilik usaha terkait keluhan ini. Pekerja paruh waktu berharap adanya perbaikan agar lebih adil ke depannya.
ADVERTISEMENT

Harapan yang Kian Samar

Upah rendah, beban kerja berat, dan ketidakpastian pembayaran, itulah realitas pahit yang dihadapi pekerja paruh waktu di Sekaran. Bagi pekerja paruh waktu, setiap jam kerja bukan hanya soal mencari tambahan penghasilan, tapi juga perjuangan agar tenaga dan waktu mereka dihargai dengan layak. Tanpa adanya regulasi yang jelas, sistem ini berisiko mengeksploitasi pekerja. Jika dibiarkan, bukan tak mungkin eksploitasi tenaga kerja menjadi hal yang lumrah. Lebih-lebih dampak yang ditimbulkan yaitu harapan akan kesejahteraan hanya akan menjadi ilusi. Harapan mereka sederhana: upah yang adil, kepastian yang nyata. Perubahan bukan lagi pilihan, tetapi suatu keharusan.
Tim Penulis
Mahasiswa S1 Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang