Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Asal Saya Dapat Bagian: Mentalitas Usang yang Menghambat Indonesia Maju
14 Maret 2025 10:45 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ramazani Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
"Rayap" dalam Sistem yang Menggerogoti Keadilan
Bayangkan sebuah rumah megah yang tampak kokoh di luar, tetapi di dalamnya, rayap-rayap kecil terus menggerogoti kayu penyangganya. Lambat laun, rumah itu akan ambruk meski tak ada angin atau gempa. Analogi ini sangat relevan untuk menggambarkan bagaimana korupsi bekerja di Indonesia. Seperti rayap yang merusak secara perlahan tetapi pasti, korupsi menghancurkan fondasi sistem hukum, ekonomi, dan moral masyarakat.
ADVERTISEMENT
Laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam 5 tahun terakhir, terhitung sejak tahun 2019-2023 tercatat angka yang sangat fantastis. Yakni, dengan total 2.618 kasus, 5.699 tersangka, Rp127,5 triliun kerugian negara dan baru-baru ini pada mega korupsi kasus timah yang kerugian negara mencapai Rp300 triliun menggemparkan Indonesia. Namun, angka ini hanyalah puncak gunung es. Lebih mengkhawatirkan dari sekadar jumlah kerugian material adalah pola pikir yang menganggap korupsi sebagai "rezeki tambahan" atau "hak yang seharusnya didapatkan." Mentalitas ini terangkum dalam satu kalimat "Asal saya dapat bagian." Sikap ini telah mengakar di berbagai lapisan masyarakat, dari pungli kecil di instansi pelayanan publik hingga skandal korupsi triliunan rupiah yang melibatkan elite politik dan pengusaha besar.
ADVERTISEMENT
Mentalitas "asal saya dapat bagian" bukan sekadar tindakan individu, melainkan telah menjadi sistem nilai yang diwariskan turun-temurun. Ketika seorang pegawai negeri menerima suap untuk mempercepat pembuatan KTP atau seorang kepala desa menggelapkan dana bantuan sosial, tindakan tersebut sering kali dianggap bukan sebagai kejahatan, melainkan sebagai "bagian dari sistem." Hal inilah yang menjadikan korupsi begitu sulit diberantas di Indonesia.
Apa Itu Mentalitas "Asal Saya Dapat Bagian"?
Mentalitas ini merupakan perwujudan dari individualisme oportunis, di mana keuntungan pribadi atau golongan diutamakan sementara etika dan kepentingan publik dikesampingkan. Sikap ini menempatkan kepentingan individu di atas segalanya, tanpa memedulikan apakah tindakan tersebut merugikan orang lain atau merusak sistem secara keseluruhan. Fenomena ini dapat kita lihat dalam berbagai bentuk, mulai dari pungutan liar di jalanan hingga praktik nepotisme di instansi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif teori Social Learning Theory yang dikemukakan oleh Albert Bandura, perilaku korup dapat berkembang karena proses pembelajaran sosial. Individu yang melihat bahwa tindakan suap atau nepotisme memberikan keuntungan tanpa konsekuensi hukum cenderung menirunya. Ini menjelaskan mengapa mentalitas "asal saya dapat bagian" terus bertahan dan berkembang.
Contoh konkret dari mentalitas ini bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang memberikan "uang rokok" kepada petugas layanan publik demi mempercepat proses administratif, ia mungkin berpikir bahwa ini hanya sekadar bentuk apresiasi. Namun, tanpa disadari, tindakan ini justru memperkuat budaya suap dan melanggengkan sistem yang tidak adil. Begitu pula ketika proyek desa fiktif muncul dan dananya dibagi di antara "orang dalam," banyak yang melihatnya sebagai hal yang wajar karena menganggap bahwa pejabat di tingkat lebih tinggi juga melakukan hal yang sama. Bahkan dalam proses seleksi kerja di berbagai sektor, transparansi dan meritokrasi masih menjadi tantangan. Terkadang, faktor kedekatan personal atau relasi tertentu dapat memengaruhi peluang seseorang dibandingkan dengan kandidat lain yang memiliki kompetensi yang setara atau lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Menurut survei yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2023, sebanyak 58% masyarakat menganggap bahwa memberi uang "pelicin" bukanlah bentuk korupsi, melainkan sekadar "uang terima kasih." Ini menunjukkan bahwa normalisasi suap telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Jika mayoritas masyarakat tidak lagi melihat korupsi sebagai tindakan kriminal, maka upaya pemberantasan korupsi akan menghadapi tantangan yang jauh lebih besar.
Dari Kebiasaan Kecil ke Korupsi Sistematis: Bagaimana Ini Terjadi?
Korupsi tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia berkembang melalui proses bertahap yang dapat diibaratkan seperti efek bola salju. Pada awalnya, tindakan korupsi mungkin dimulai dari sesuatu yang dianggap remeh, seperti memberi "uang kopi" kepada petugas parkir agar mendapatkan tempat strategis. Namun, jika dibiarkan, kebiasaan ini akan berkembang ke tingkat yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif teori Strain Theory atau teori ketegangan oleh Robert K. Merton, korupsi dapat terjadi karena adanya ketimpangan antara tujuan sosial (kesuksesan finansial) dan cara-cara yang sah untuk mencapainya. Jika masyarakat merasa bahwa jalur yang jujur tidak akan membawa mereka kepada kesuksesan, mereka akan cenderung memilih jalan pintas, termasuk dengan korupsi.
Sebagai contoh, ketika seorang pejabat desa melihat bawahannya melakukan pungutan liar dalam jumlah kecil tanpa konsekuensi, ia mulai berpikir bahwa ia pun berhak mendapatkan bagian. Seiring waktu, skala korupsi meningkat, dari pungutan kecil menjadi penggelapan dana proyek. Jika tidak ada mekanisme pengawasan yang efektif, praktik ini akhirnya menjadi bagian dari sistem birokrasi itu sendiri. Bahkan, dalam banyak kasus, korupsi sudah terstruktur sedemikian rupa sehingga melibatkan banyak pihak, dari pegawai rendahan hingga pejabat tinggi.
ADVERTISEMENT
Data dari KPK menunjukkan bahwa 70% kasus korupsi yang terjadi di Indonesia melibatkan lebih dari lima pelaku. Ini menunjukkan bahwa korupsi bukan lagi sekadar tindakan individu, melainkan telah menjadi jaringan yang luas dan terorganisir. Dalam kondisi seperti ini, marilah berkontemplasi bersama terhadap pemberantasan korupsi yang tidak cukup hanya dengan menangkap pelaku individu, tetapi juga harus membongkar sistem yang memungkinkan korupsi itu berkembang.
Belajar dari Negara Lain: Korea Selatan dan Perang Total pada Korupsi
Jika melihat sejarah Korea Selatan pada tahun 1990-an, negara tersebut juga mengalami permasalahan korupsi yang hampir serupa dengan Indonesia. Namun, perubahan terjadi ketika pemerintah mengambil langkah radikal. Yakni penegakan hukum tanpa pandang bulu, transparansi total, dan penghargaan bagi pelapor korupsi.
ADVERTISEMENT
Dalam pendekatan Institutional Theory, keberhasilan Korea Selatan bisa dijelaskan melalui reformasi kelembagaan yang mengubah norma sosial dan birokrasi secara sistematis. Mereka tidak hanya menindak koruptor, tetapi juga membangun sistem yang mencegah terjadinya korupsi sejak awal.
Langkah-langkah ini membuahkan hasil nyata. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2023-2024, Korea Selatan kini menempati peringkat 31 dunia, sementara Indonesia masih terpuruk di peringkat 115 dari 180 negara.
Indonesia Bisa, Asal
Pemberantasan korupsi bukanlah utopia. Sejarah telah membuktikan bahwa negara-negara dengan tingkat korupsi yang dulu mengakar pun mampu bangkit melalui reformasi sistemik yang tegas dan menyeluruh. Korea Selatan, misalnya, dalam kurun waktu satu dekade berhasil mereformasi institusi publiknya dengan kebijakan yang transparan, supremasi hukum yang ditegakkan tanpa kompromi, serta keberanian politik untuk membongkar jejaring korupsi di berbagai lini.
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki potensi besar untuk menempuh jalur serupa, namun hal itu hanya dapat terwujud jika ada kemauan politik yang kuat dan konsistensi dalam penegakan hukum. Tanpa itu, pemberantasan korupsi akan tetap menjadi sekadar jargon tanpa implementasi nyata. Tidak cukup hanya dengan regulasi yang diperketat atau pengawasan yang diperluas, yang lebih mendasar adalah perubahan budaya birokrasi dan mentalitas masyarakat. Kita harus berani keluar dari lingkaran setan pragmatisme yang berorientasi pada kepentingan pribadi atau kelompok, serta meninggalkan pola pikir transaksional yang selama ini menjadi akar masalah korupsi.
Budaya "asal saya dapat bagian" harus dilawan dengan membangun sistem yang lebih berkeadilan dan transparan. Pendidikan antikorupsi harus ditanamkan sejak dini, bukan sekadar sebagai wacana, tetapi sebagai prinsip hidup yang diinternalisasi oleh setiap warga negara. Sanksi terhadap pelaku korupsi harus ditegakkan dengan tegas, tanpa pandang bulu, guna menciptakan efek jera yang nyata. Di sisi lain, sistem penghargaan terhadap individu dan lembaga yang berintegritas perlu diperkuat, sehingga masyarakat melihat bahwa kejujuran dan profesionalisme lebih bernilai dibanding jalan pintas melalui praktik koruptif.
ADVERTISEMENT
Perjuangan melawan korupsi bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga hukum semata, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh elemen bangsa. Kesadaran kolektif bahwa korupsi adalah musuh bersama harus menjadi landasan dalam setiap aspek kehidupan bernegara. Keberanian untuk berubah dan komitmen bertindak adalah kunci mewujudkan Indonesia emas yang berintegritas, bermartabat, dan sejahtera secara menyeluruh.
Opini Ramazani Akbar - Mahasiswa Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh