Konten dari Pengguna

Epistemologi Akademik dan Rasionalitas Kapital: Dilema Struktural Universitas

Ramazani Akbar
Mahasiswa Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
2 Februari 2025 10:20 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ramazani Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Wilayah Operasional Bisnis Tambang (Sumber: Pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Wilayah Operasional Bisnis Tambang (Sumber: Pexels.com)
ADVERTISEMENT
Diskursus mengenai pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi, sebagaimana diusulkan dalam Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) yang diinisiasi oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, bukan sekadar perdebatan teknokratis dalam ranah hukum dan kebijakan. Lebih dari itu, isu ini menyentuh fondasi epistemologis dan eksistensial universitas sebagai institusi akademik yang bertumpu pada pencarian kebenaran ilmiah. Bagaimana implikasi keterlibatan perguruan tinggi dalam industri ekstraktif terhadap kebebasan akademik, etika intelektual, dan tanggung jawab sosial? Sejauh mana universitas dapat menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan amanat moralnya sebagai pusat ilmu pengetahuan?
ADVERTISEMENT
Kapitalisasi Ilmu Pengetahuan dan Paradoks Akademik
Dinamika global menunjukkan bahwa kapitalisasi ilmu pengetahuan dalam lanskap neoliberal telah mendorong universitas untuk tidak lagi sekadar menjadi pusat pendidikan dan riset, tetapi juga aktor ekonomi yang turut berpartisipasi dalam ekosistem industri. Di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jerman, perguruan tinggi telah lama membangun kemitraan strategis dengan korporasi dalam pengembangan teknologi dan inovasi. Namun, model keterlibatan ini sebagian besar berbentuk paten, penelitian terapan, serta inkubasi bisnis berbasis teknologi, bukan eksploitasi sumber daya alam secara langsung.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, tantangan utamanya adalah minimnya pendanaan riset yang bersumber dari negara. Data menunjukkan bahwa anggaran riset Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara maju. Oleh karena itu, gagasan pemberian izin usaha pertambangan kepada universitas dipandang sebagai terobosan dalam menciptakan sumber pendanaan alternatif yang dapat menopang keberlanjutan akademik. Namun, dilema fundamental muncul: apakah keterlibatan universitas dalam industri ekstraktif merupakan langkah progresif atau justru bentuk kooptasi ilmu pengetahuan oleh logika kapitalisme?
Perguruan Tinggi sebagai Aktor Ekonomi: Antara Otonomi dan Konflik Kepentingan (Conflict of Interest)
Dalam teori ekonomi-politik pendidikan tinggi, perdebatan klasik antara otonomi akademik dan intervensi pasar selalu menjadi titik kritis. Jika universitas diberikan kewenangan untuk mengelola tambang, implikasi etis dan strukturalnya tidak dapat diabaikan. Di satu sisi, kebijakan ini dapat mendorong universitas menjadi lebih mandiri secara finansial, mengurangi ketergantungan pada dana pemerintah dan biaya pendidikan dari mahasiswa. Namun, di sisi lain, potensi konflik kepentingan menjadi tidak terelakkan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana universitas dapat mempertahankan independensi akademiknya ketika mereka menjadi pelaku dalam industri yang sering kali menjadi objek kajian kritis? Apakah riset mengenai dampak lingkungan dan sosial dari pertambangan tetap dapat dilakukan secara objektif jika institusi akademik memiliki kepentingan ekonomi dalam industri tersebut? Kritik terhadap kapitalisme ekstraktif dan eksploitasi sumber daya alam dapat mengalami delegitimasi ketika universitas tidak lagi sekadar sebagai pengamat, tetapi turut menjadi aktor dalam skema akumulasi kapital.
Dimensi Epistemologis: Perguruan Tinggi dan Posisi Ilmu Pengetahuan
Sejarah pemikiran akademik menempatkan universitas sebagai lokus utama dalam pencarian kebenaran yang bebas dari intervensi eksternal. Wilhelm von Humboldt menggagas model universitas modern yang berorientasi pada kebebasan akademik dan eksplorasi ilmu tanpa tekanan politik maupun ekonomi. Sementara itu, dalam perspektif Jürgen Habermas, universitas memiliki peran sebagai arena diskursus publik yang memungkinkan lahirnya kritik terhadap struktur kekuasaan, termasuk kapitalisme global.
ADVERTISEMENT
Jika universitas mulai beroperasi dalam logika industri, maka akan muncul pertanyaan serius: apakah universitas masih dapat mempertahankan otoritas epistemiknya? Apakah kritik akademik terhadap dampak sosial dan lingkungan dari industri ekstraktif tidak akan mengalami bias karena adanya insentif ekonomi? Dalam konteks ini, pendekatan Pierre Bourdieu mengenai medan sosial akademik menjadi relevan: universitas selalu berada dalam tegangan antara kepentingan simbolik (ilmu pengetahuan murni) dan modal ekonomi (kapital industri). Tantangannya adalah bagaimana menjaga agar keterlibatan dalam ekonomi tidak mereduksi fungsi utama universitas sebagai produsen ilmu pengetahuan yang independen dan kritis.
Etika dan Keberlanjutan: Tanggung Jawab Akademik dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Dimensi lain yang tak kalah penting adalah tanggung jawab ekologi. Eksploitasi sumber daya alam, khususnya pertambangan, memiliki konsekuensi lingkungan yang sangat serius. Dewasa ini jika universitas menjadi entitas bisnis dalam industri ini, bagaimana mereka dapat menegakkan prinsip keberlanjutan dan etika lingkungan? Apakah universitas akan menjadi pelopor dalam praktik pertambangan berkelanjutan, atau justru terjebak dalam pragmatisme ekonomi yang mengabaikan dampak ekologis?
ADVERTISEMENT
Filsafat lingkungan yang dikembangkan oleh Arne Naess menekankan bahwa eksploitasi sumber daya alam harus berada dalam kerangka etika ekologis yang mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan manusia dan keberlanjutan ekosistem. Dalam skenario ideal, keterlibatan universitas dalam industri pertambangan seharusnya menjadi peluang untuk memperkenalkan teknologi hijau, praktik pertambangan yang lebih ramah lingkungan, serta kebijakan yang berbasis pada prinsip keberlanjutan. Namun, dalam realitas politik-ekonomi yang sering kali lebih didominasi oleh kepentingan jangka pendek, sejauh mana idealisme ini dapat diwujudkan?
Menuju Model Akademik yang Berkeadilan dan Berkelanjutan
Pada akhirnya, pemberian izin usaha pertambangan bagi perguruan tinggi tidak bisa hanya dilihat sebagai kebijakan ekonomi, tetapi harus dipahami sebagai transformasi fundamental dalam paradigma akademik. Jika kebijakan ini diterapkan, maka harus ada mekanisme yang jelas untuk memastikan bahwa perguruan tinggi tetap berfungsi sebagai institusi akademik yang bebas dan bertanggung jawab. Beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan meliputi:
ADVERTISEMENT
1. Transparansi Tata Kelola: Perguruan tinggi harus memiliki mekanisme akuntabilitas yang ketat dalam mengelola sumber daya dan pendapatannya dari industri pertambangan.
2. Pemisahan Kepentingan Akademik dan Bisnis: Harus ada garis batas yang jelas antara riset akademik dan kepentingan ekonomi universitas agar tidak terjadi bias dalam kajian ilmiah.
3. Regulasi Berbasis Keberlanjutan: Kebijakan ini harus diiringi dengan regulasi ketat yang memastikan bahwa eksploitasi sumber daya alam tidak merusak lingkungan dan tetap berorientasi pada keberlanjutan.
4. Penguatan Peran Kritik Akademik: Universitas harus tetap berfungsi sebagai ruang diskursus kritis yang dapat mengevaluasi kebijakan ekonomi dan dampaknya terhadap masyarakat serta lingkungan.
Dalam menghadapi dilema ini, universitas perlu menentukan posisinya, kedasarannya adalah apakah mereka akan tetap menjadi mercusuar ilmu pengetahuan yang independen dari kepentingan bermuara profit, ataukah mereka akan berevolusi menjadi aktor dalam ekonomi berbasis pengetahuan tanpa kehilangan integritas akademiknya? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan wajah pendidikan tinggi dalam lanskap sosial dan ekonomi yang semakin kompleks di masa depan.
ADVERTISEMENT
Ramazani Akbar - Mahasiswa Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh