Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Solo Traveling: Niat Menenangkan Diri, Malah Hampir Menjumpai Tsunami (Bagian 1)
23 Juni 2022 13:33 WIB
Tulisan dari Ryas Ramzi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Banyak cara untuk melakukan perjalanan; sendirian (solo), berduaan (duet), dan beramai-ramai. Di antara ketiga cara tersebut, saya hendak memberanikan diri untuk melakukan solo traveling dari Kota Depok ke Pantai Sawarna, Banten pada 22-23 Desember 2018. Sudah tidak terhitung jari pengalaman saya ke sana dengan beragam cara, tapi belum afdhol rasanya kalau belum melakukan perjalanan sendirian. Namun, bukan ketenangan dari kesendirian yang didapat, tapi tsunami di Selat Sunda.
ADVERTISEMENT
Jumat malam tanggal 21 Desember 2018 beberapa jam sebelum berangkat, saya berdebat dengan kawan setelah meminjam tenda dome. Kawan saya ini, Rayhan kerap disapa Joko—entah bagaimana asal muasal ia memiliki panggilan Joko sebab orang tuanya sendiri belum pernah memberikan penjelasan—pada hari yang sama telah membuat janji dengan saya untuk mengikuti Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki. Namun, saya urungkan niat itu karena tiba-tiba panggilan jiwa saya menuntun untuk solo traveling.
Dengan segala cara ia membujuk saya untuk mengikuti Kenduri Cinta ketimbang ke Sawarna seorang diri.
“Yaelah, udah mending nangis di tempatnya Cak Nun aja (Kenduri Cinta). Nanti ke Sawarna mah bisa bareng bocah-bocah. Gua juga pengen banget ke sono”.
Joko membujuk dengan logat bicara khas masyarakat Betawi. Sedangkan, “menangis” adalah metafora yang saya ciptakan kepada kawan-kawan untuk sesuatu yang berarti menyendiri dan berkontemplasi. Akan tetapi, keinginan untuk melakukan solo traveling sembari menangis di bibir pantai, di bawah gemerlap bintang, di hamparan pasir yang lembut, di hadapan api unggun dan gemuruh ombak Laut Selatan telah menggugurkan janji sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Saya meninggalkan tempat Joko bersandar seraya bergumam dalam hati bahwa tekad ini sudah bulat. Lantas, bergegas pulang untuk packing barang-barang. Tenda, hammock, nesting, kompor portable, hi-cock, gelas plastik, tumbler, pakaian ganti, kopi sachet, binder dan buku karangan G.V Plekhanov saya masukan ke dalam daypack berukuran 25L. Saya ikat tenda di behel jok belakang dengan tali rapia. Dengan peralatan seadanya, saya tidak berpikir untuk mendapatkan apa yang saya cari di sana karena memang perjalanan ini tanpa rencana.
Waktu menunjukan pukul 02.00 WIB, sudah terdengar suara ayam berkokok. Jalanan pun rasa-rasanya sudah lengang. Kemudian, setelah berkemas dan berharap kepada langit agar diberi kemudahan dalam perjalanan, saya langsung berangkat menggunakan sepeda motor.
Di perjalanan, saya berkendara dengan mendengarkan beragam lagu dari berbagai genre. Mungkin, kalau hanya mendengarkan lagu dari satu band. Pasti, sudah khatam seluruh albumnya diputar dalam satu kali trip. Saya sesekali menghadapkan spion kiri ke wajah untuk monolog dan sesekali menciptakan imajinasi berbicara dengan seseorang yang spesial di belakang saya. Meskipun terlihat gila, hal-hal seperti itu harus sering dilakukan dalam solo traveling agar rasa kantuk dan kesepian menghilang.
ADVERTISEMENT
Setelah 2 jam dalam perjalanan, saya sampai di SPBU Simpang Cikidang. Istirahat sejenak untuk mengembalikan tenaga, fokus, dan mendinginkan kendaraan. Ini adalah SPBU terakhir sebelum Pelabuhan Ratu, sebelum akhirnya sekitar tahun 2020 Pertamina mendirikan SPBU di dalam Cikidang. Sebetulnya ada 2 jalur untuk menuju Pantai Sawarna dari arah Ciawi bagi yang berkendara sepeda motor, yaitu jalur Cikidang dan jalur Cibadak.
Saya memilih jalur Cikidang karena beberapa alasan. Cikidang merupakan akses jalur alternatif tercepat untuk sampai di Pelabuhan Ratu-Sawarna. Sepanjang jalur ini dapat ditemui rindang pohon yang memanjakan mata; Kelapa Sawit, Kebun Teh, Kelapa, megahnya Gunung Halimun Salak dan masih banyak lagi sehingga siapa pun yang hendak melewatinya dapat melawan kantuk.
ADVERTISEMENT
Meskipun banyak mitos yang beredar bahwa jalur ini terkenal angker, rawan kecelakaan dan tindak kejahatan. Saya tidak peduli, selama bisa berkendara dengan gaya cornering bak Valentino Rossi menunggangi MotoGP. Apalagi jalur ini memiliki geometrik yang beragam; tanjakan yang curam, puluhan kelokan yang tajam, serta tebing-tebing yang menjulang tinggi. Sejak saya putuskan untuk solo traveling berarti risiko-risiko itu sudah dipikirkan. Rasanya terlalu berdosa kalau tunduk pada mitos sedangkan nikmat di depan mata.
Setelah melewati keindahan jalur Cikidang, tibalah saya di pintu masuk Pelabuhan Ratu. Di sini saya mulai heran, tidak seperti biasanya ketika melewati pintu masuk ada petugas yang hendak meminta biaya masuk sebesar Rp 8.000 untuk sepeda roda dua. Entah kebaikan apa yang sudah saya lakukan, petugas itu hanya berdiri dan tersenyum dan memberikan kode untuk terus jalan. Saya mengangguk dan meneruskan perjalanan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, saya tiba di pintu masuk Jl. Raya Sawarna Bayah. Kurang lebih berjarak 12 Km menuju Pantai Sawarna. Di sini saya dibuat heran, lagi dan lagi petugas yang biasa meminta uang seikhlasnya hanya tersenyum. Padahal, saya berhenti dan hendak mengeluarkan dompet. Motor saya pun plat Kota Depok. Saya lanjutkan perjalanan yang hanya tinggal kurang lebih 25 menit.
Tiba juga saya di pintu masuk. Pantai Sawarna memiliki 2 akses pintu masuk untuk wisatawan. Pertama, jembatan gantung berlokasi persis Indomaret dengan kontruksi bambu dan kayu yang membuat siapa pun melintas bergoyang-goyang. Kedua, jembatan gantung dengan kontruksi beton dan kokoh dengan lebar kurang lebih 1,5 meter dan panjang 40 meter. Saya melewati jembatan yang kedua. Akan tetapi, jatah hoki saya belum habis-habis. Saya cuma diam dan termangu ketika petugas loket masuk membiarkan saya lewat tanpa sepeser pun uang.
ADVERTISEMENT