Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Solo Traveling: Niat Menenangkan Diri, Malah Hampir Menjumpai Tsunami (Bagian 2)
23 Juni 2022 13:37 WIB
Tulisan dari Ryas Ramzi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sawarna adalah sebuah desa wisata di Kecamatan Bayah, Lebak, Banten. Sawarna memiliki 5 pantai, yaitu Pantai Legon Pari, Pantai Tanjung Layar, Pantai Ciantir, Pantai Karang Bokor, Pantai Pulo Manuk. Bukan hanya pantai, terdapat 2 gua yang dapat dieksplorasi. Gua Lalay dan Gua Langir. Pantai Sawarna membentang sepajang kurang lebih 65 km dari Pulo Manuk hingga Legon Pari serta menghadap langsung dengan luasnya Samudra Hindia.
Kali ini, saya memilih Pantai Ciantir untuk menangis. Tidak banyak orang yang ada pada saat itu. Di hadapan saya berdiri pohon pandan pantai dan ketapang yang menjulang tinggi hingga membuat leher mendongkak. Di sampingnya berdiri sebuah warung dengan 3 gazebo. Tanpa panjang lebar, saya langsung turun dari motor. Saya duduk di bangku, menghela nafas. Mata saya berkaca-kaca. Saya usapkan wajah dengan tissu, begitu banyak debu jalanan hingga membuat tissu menjadi hitam.
Selang beberapa menit, seorang ibu datang menghampiri saya dengan menenteng sapu. “Waduh, baru sampe udah mao diusir aja nih,” saya bergumam dalam hati. Ibu pemilik warung itu, sebut saja Irma bertanya dan menyapu pasir yang diselimuti daun gugur dari pohon ketapang.
ADVERTISEMENT
“Mau nginep, Dek?”.
Akhirnya, saya lega juga karena dugaan saya salah. Saya menjawabnya dengan tertatih-tatih karena lelah dan demburan ombak di hadapan membiaskan fokus. Ya, saya kira pertanyaan Bu Irma tersebut sudah tepat. Kalau semisal masih ditanya “Sendirian, Dek”, sudah pasti saya menjawab dengan jawaban andalan ketika solo traveling “Enggak, Bu. Ini berempat bareng Izrail, Raqib, dan Atid hehehe”.
Kemudian, saya izin ke Bu Irma untuk mendirikan tenda, hammock, dan memesan segelas kopi. Ya, saya memang membawa kopi sachet. Akan tetapi, tidak etis rasanya kalau sudah diberikan izin untuk mendirikan tenda di wilayahnya secara gratis dan saya tidak balas budi. Ya, meskipun hanya dengan segelas dua gelas kopi.
Saya duduk di sebuah bale yang di sampingnya berdiri pohon pandan pantai. Saya putar musik melalui ponsel. Bu Irma datang dengan membawa segelas kopi. Kami sedikit berbincang-bincang. Saya nyalakan korek dan mulai membakar rokok. Kepulan asap yang keluar seakan-akan menggambarkan perasaan saya waktu itu.
Selang beberapa menit, datanglah segerombolan orang yang terdiri dari pria dan wanita. Salah satu pria menghampiri Bu Irma dan duduk di bale yang saya tempati. Pria itu bernama Rizki, ia merupakan wisatawan dari Kebon Nanas, Tangerang. Kebetulan, ketika hendak bermain air di bibir pantai, ia mendengar lagu dari ponsel saya dan amat tertarik. Kami berbincang-bincang seputar musik, pekerjaan, dan apa pun untuk memecahkan gemuruh ombak. Tidak terasa lagu Motorhead, AC/DC, Dio, dan Black Sabbath hampir mengiringi obrolan kami.
ADVERTISEMENT
Pada sore hari, saya hendak mengantarkan gelas kopi ke warung. Keluarlah seorang pria, sebut saja Pak Ujang. Pak Ujang ini adalah suami dari Bu Irma. Saya berikan gelas kopi dan memberanikan diri untuk membuka obrolan. Pak Ujang banyak membagikan cerita berbagai hal. Saya tertarik bertanya mengenai mitos tentang Nyi Roro Kidul.
“Apa benar Pak kalo misal ada wisatawan yang pake baju hijau itu bisa hilang?”.
Pak Ujang terdiam dan menjawab dengan mengernyitkan dahi. “Ya, kalau itu si percaya gak percaya ya, Dek. Saya juga bukan orang yang terlalu begituan soalnya. Yang penting kita hormati aja apa yang ada di sini. Insha Allah aman aja”.
Pak Ujang kemudian mengalihkan pembicaraan tentang bagaimana situasi ekonomi-politik di sini. Ia bersama warga kala itu sempat melakukan demonstrasi ke perusahaan yang berdiri di dekat area Sawarna. Alasannya perihal ketenagakerjaan. Jadi, perusahaan tersebut lebih mementingkan tenaga kerja asing daripada lokal.
ADVERTISEMENT
Setelah berbincang-bincang, saya kemudian dibuat takjub dengan keindahan langit sore hari di Pantai Ciantir Sawarna. Temaram langit dengan warna merah, jingga, oranye membentang di horison. Seberapa banyak saya melakukan perjalanan ke Sawarna, baru kali mendapatkan keindahan yang membuat takjub. Saya bahkan sempat membagikan momen tersebut ke WhatsApp Group. Kawan-kawan saya di rumah bahkan terheran-heran. Akan tetapi, keindahan ini mungkin hanya diperlihatkan sementara karena dini hari saya harus dihadapkan dengan tsunami .
Langit mulai gelap, keindahan langit kian memudar. Saya mencari kayu untuk membuat api unggun pada malam hari. Rizki dan kawan-kawannya datang menghampiri saya untuk berpamitan. Ya, Rizki memang awalnya berniat untuk pergi ke Anyer karena adanya problem akhirnya ia dan kawan-kawannya sampai di sini.
ADVERTISEMENT
Kayu dan ranting-ranting sudah terkumpul. Sekumpulan anak-anak datang untuk membantu menyusun api unggun. Api unggun menyala dan anak-anak itu tertawa riang sebelum akhirnya saya suruh untuk pulang karena hari sudah malam.
Tsunami Selat Sunda 2018
Keindahan dan keberuntungan yang saya dapatkan pada hari pertama rasanya terputus pada Minggu dini hari, 23 Desember 2018. Saya terbangun dan mendapatkan banyak sekali notifikasi WhatsApp. Saya kaget dan keluar dari tenda ketika mendapatkan kabar bahwa ada tsunami di Sumur Banten dan Selat Sunda.
Saya beruntung bertukar kontak dengan Rizki. Ia salah satu orang yang memberikan kabar kepada saya mengenai tsunami tersebut. Kawan-kawan saya pun yang masih terjaga dari tidur memberikan kabar secara bersamaan. Saya hanya membalas bahwa kondisi di sini baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
Saya membuka Twitter dan mendapatkan banyak sekali informasi mengenai tsunami yang terjadi di Selat Sunda. Bahkan, pihak BMKG juga terkejut karena tsunami terjadi tanpa adanya gempa bumi. Saya pun akhirnya cuma berpikir bahwa itu merupakan gelombang tinggi sebelumnya akhirnya BMKG memverifikasi bahwa itu benar tsunami.
Saya tetap terjaga hingga pagi di luar tenda. Saya menanyakan kabar tsunami tersebut ke Pak Ujang. Ia dengan tenang menjelaskan bahwa di sini akan baik-baik saja. Selang sejam, cuaca sekitar di pantai berkabut dan turun hujan lebat. Angin berhembus sangat kencang membuat pohon-pohon yang berdiri akan tumbang. Ombak di laut bergemuruh sangat kencang. Pandangan mata saya mulai kabur karena angin yang meluluhlantakan pasir ke udara.
ADVERTISEMENT
Pak Ujang menyuruh saya berlindung bahwa badai datang dengan suaranya yang samar karena sedang badai. Saya masuk ke dalam tenda, mulai memasukan barang-barang ke dalam tas. Di dalam saya duduk dan memperhatian langit tenda yang bocor karena tidak dipasang flysheet sehingga air dengan intensitas yang tinggi dapat dengan mudah masuk. Salah satu frame tenda patah. Beberapa pasak tenda terangkat yang membuat tenda akan terbang dan membuat saya ke luar untuk memasangnya kembali.
Pada momen seperti ini, saya yang sendirian cuma berharap masih ada keberuntungan yang hadir. Saya yang tidak relijius-relijius amat ini akhirnya merasa ketakutan dan tunduk pada badai yang berlangsung. Bahwa saya adalah makhluk yang akan sangat mudah menjadi korban dari bencana alam.
ADVERTISEMENT
Badai berlalu, saya kemas kembali barang-barang dan pamit ke Pak Ujang dan Bu Irma. Kembali pulang dan menyudahi solo traveling .