Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Paus Fransiskus dan Sustainable Living
10 September 2024 20:20 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Defrianus Randi Nogo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sri Paus Fransiskus memulai rangkaian perjalanan apostoliknya ke Asia Pasifik dengan mengunjungi Indonesia pada tanggal 3-6 September 2024. Kunjungan bersejarah ini bertepatan dengan perhelatan Indonesia Sustainability Forum (ISF) 2024 yang juga digelar di Jakarta pada 5 hingga 6 September.
ADVERTISEMENT
Dua peristiwa penting yang saling terhubung dalam satu tuas etis tentang martabat alam. Paus Fransiskus seorang pemimpin religius yang peduli pada masalah ekologi, sedangkan ISF gencar mempromosikan isu keberlanjutan untuk merumuskan solusi serta langkah pencegahan kerusakan lingkungan. Keduanya dapat meneguhkan kesadaran kolektif tentang Sustainable Living atau gaya hidup berkelanjutan.
Term Sustainable living dapat dimengerti sebagai sebuah cara mengambil keputusan ekonomi dengan mematuhi prinsip-prinsip keberlanjutan secara umum. Gaya hidup semacam ini bertujuan untuk menekan penggunaan sumber daya alam pada tingkat individu maupun komunitas. Secara lebih konkret, sustainable living dapat diwujudkan lewat pilihan-pilihan sederhana seperti mengurangi pemakaian plastik, menaiki moda transportasi umum serta gerakan paperless (tanpa kertas) yang sudah sejak lama digaungkan banyak pemerhati lingkungan.
ADVERTISEMENT
Sustainable living diangkat sebagai salah satu dari 5 pilar pembahasan dalam ISF 2024 yang kini berganti nama menjadi Indonesia International Sustainability Forum (IISF). Hal lain yang juga akan dibicarakan dalam forum tersebut ialah masalah transisi energi (energy transition), ekonomi hijau (green economy), konservasi alam dan keanekaragaman hayati (biodiversity and nature conservation), serta ekonomi kelautan (blue economy).
ISF/IISF sendiri merupakan sebuah konferensi Internasional tentang pembangunan berkelanjutan yang bertujuan memperkuat kolaborasi lintas negara dalam usaha mempercepat laju dekarbonisasi (maritim.go.id, 22/03/2024). Kemunculan ISF/IISF menandai komitmen kuat Indonesia dalam menjaring kekuatan global untuk menghadapi tantangan iklim di masa depan.
Langkah Kecil Menuju Tobat Ekologis
Lantas, bagaimana menemukan relevansi kunjungan Paus Fransiskus terhadap desakan memulai gaya hidup sustainable?
ADVERTISEMENT
Paus bernama asli Jorge Mario Bergoglio itu memang punya perhatian serius terhadap masalah lingkungan. Beliau pernah mengeluarkan sebuah ensiklik-dokumen resmi Gereja berisi seruan kepausan mengenai isu-isu moral dan sosial-berjudul Laudato Si. Ensiklik ini menyerukan pentingnya gerakan bersama dalam upaya menyelamatkan bumi dari krisis iklim global. Bahkan, nama Fransiskus yang dipilihnya merupakan inspirasi dari seorang tokoh besar Gereja Katolik bernama santo Fransiskus Asisi yang dalam tradisi Katolik dikenal sebagai pelindung bagi lingkungan hidup.
Ensiklik kedua Paus Fransiskus tersebut diterbitkan pada Mei 2015. Di tahun yang sama, sebanyak 196 negara menyepakati sebuah dokumen bernama Paris Agreement (Persetujuan Paris) yang dihasilkan dari sebuah konferensi Internasional di bawah naungan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Paris Agreement berisi sejumlah kesepakatan tentang penanggulangan risiko perubahan iklim di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Apakah sebuah kebetulan bahwa dua dokumen penting tersebut mengangkat satu soal yang sama?
Bisa iya, bisa juga tidak. Akan tetapi kesamaan ini setidaknya menunjukkan bahwa baik Paus Fransiskus maupun pemimpin negara-negara memiliki kepekaan yang selaras: masalah Iklim adalah tantangan peradaban dan kemanusiaan, maka butuh solidaritas global sebagai kekuatan utama dalam menghadapinya. Hal ini sekaligus menegaskan betapa Paus Fransiskus adalah seorang pemikir yang sangat relevan, dan sumbangan pemikirannya mengenai isu-isu ekologi tidak bisa diabaikan.
Laudato Si kemudian mempopulerkan apa yang disebut sebagai pertobatan ekologis (poin ke-217 LS sebagaimana dikutip dari vatican.va, 24/05/2015). Istilah itu merujuk pada perubahan cara pandang dalam sistem interaksi manusia dengan lingkungan. Lingkungan adalah bagian utuh dari ciptaan. Maka dia mesti dipandang setara dengan manusia sebagaimana Fransiskus Asisi sering memanggil alam sekitarnya dengan sebutan saudari atau saudara. Alam beserta segala isinya memiliki martabat. Di sana melekat nilai-nilai. Paus Fransiskus ingin seluruh dunia diikat oleh kesadaran akan keberadaan nilai-nilai tersebut.
Kepedulian Bapa Suci terhadap masalah kerusakan lingkungan juga tampak dalam lawatan apostoliknya ke Indonesia. Ketika menghadiri acara Pertemuan Antaragama di Masjid Istiqlal, Paus bersama Imam besar Istiqlal Prof KH Nasarudin Umar serta sejumlah pemuka agama lain mengumandangkan sebuah seruan moral bernama Deklarasi Istiqlal.
ADVERTISEMENT
Deklarasi ini berisi beberapa poin penting yang menyoroti dua isu utama: dehumanisasi dan perubahan iklim. Dokumen ini memuat pesan-pesan universal yang mendesak semua orang untuk selalu memiliki kehendak baik dalam menjaga keutuhan alam ciptaan serta semua sumber daya yang dikandungnya.
Bumi sebagai rumah bersama telah diwariskan kepada kita oleh generasi sebelumnya. Oleh karena itu, siapa pun memiliki tanggung jawab moral dan etis untuk meneruskan warisan tersebut dalam keadaan “layak huni” kepada anak cucu kita (bdk. Poin ke-4 Deklarasi Istiqlal sebagaimana dilansir dari NU Online 5/09/2024)
Jika dibaca dalam konteks itu, tidaklah berlebihan menyebut Paus Fransiskus sebagai tokoh ekologi. Kedatangannya ke Indonesia bukan lagi dirayakan secara eksklusif sebagai pengalaman iman umat Katolik semata. Lebih dari itu, kunjungan Sri Paus diharapkan dapat menghembuskan nafas kepekaan akan bahaya kerusakan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Publik barangkali dibius oleh teladan kesederhanaan yang ditunjukkan kepala negara Vatikan. Akan tetapi, menggali inspirasi tentangnya tidak cukup hanya berhenti pada kesahajaan yang amat menonjol. Pemikiran sang Uskup Roma bisa dijadikan rumus dasar membudayakan sustainable living. Beliau meletakkan fondasi etis yang kokoh tentang mengapa kita mesti aktif memperjuangkan usaha-usaha yang paling mungkin untuk menyelamatkan planet ini. Bumi adalah rumah bersama. Simpul kolaborasi untuk melindungi bumi melampaui batas-batas agama dan teritorial.
Tentunya, kita tidak harus terlibat dalam pembentukan kebijakan strategis skala besar. Biarkan itu menjadi tanggung jawab pemerintah dan kelompok kepentingan terkait. Pada level individu ataupun komunitas kecil masyarakat, menggalakkan gaya hidup ramah lingkungan merupakan sumbangsih praktis dalam mewujudkan prinsip keberlanjutan. Ekosistem terancam punah. Sudah saatnya manusia menata kembali relasinya dengan alam. Maka, Sustainable living sebetulnya merupakan kristalisasi gagasan Tobat Ekologis dari bapa suci.
ADVERTISEMENT
Gerakan Konkret
Gaya hidup berkelanjutan bisa dihayati lewat beragam cara. Salah satu contohnya ialah mengurangi penggunaan peralatan berbahan plastik. Indonesia banyak dikritik sebagai salah satu negara penghasil sampah plastik tahunan terbesar di dunia. Menurut catatan Sistem Informasi Pengolahan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, komposisi sampah plastik mencapai angka 19% dari total produksi sampah nasional tahun 2023.
Bahkan, menurut Lembaga yang sama, sebagaimana dilansir dari katadata.co.id, proyeksi timbulan sampah plastik Indonesia bisa menyentuh 9,9 juta ton pada tahun 2025. Jumlah ini akan terus bergerak naik jika tidak segera ditanggapi dengan lebih serius.
Pada tahun 2020, KLHK menerbitkan sebuah laporan bertajuk National Plastic Waste Reduction Strategic Actions for Indonesia. Temuannya tidak begitu mengejutkan, tetapi bisa jadi tamparan keras terhadap sistem penanggulangan sampah nasional. Laporan tersebut mengutip hasil riset Jenna Jambeck, seorang peneliti dari Universitas Georgia (2015) yang menyebut Indonesia sebagai negara produsen sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah China. Kita menghasilkan 3,2 juta ton sampah plastik tiap tahunnya. Sebagian besar dari jumlah itu yakni sebanyak 1,2 juta ton berakhir tanpa kendali di lautan.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, laporan itu menuturkan bahwa perusahaan kemasan menjadi produsen utama plastik di sektor industri manufaktur dengan total 502 perusahaan atau 36%. Sedangkan pengguna plastik terbanyak berasal dari sektor industri makanan dan minuman yakni sebesar 60%. Dari segi konsumsi, masyarakat Indonesia paling banyak menggunakan kemasan plastik dengan presentasi 57%. Angka ini jelas dapat memicu lonjakan emisi karbon. Alasannya, pembuatan plastik hingga kini masih mengandalkan minyak bumi sebagai bahan utama. Belum kalau kita bicara soal timbunan limbah sisa pembakaran minyak bumi yang sangat beracun serta menyebabkan pencemaran.
Melihat angka-angka tadi berikut potensi kerusakan yang ditunjukkan, sudah saatnya kita menekan pemakaian plastik. Hal ini bisa dilakukan lewat pola-pola praktis seperti: Memilih kantong belanja yang bisa dipakai berulang-ulang; Menggunakan botol minum ketimbang membeli air dalam kemasan; Mulai belajar menyiapkan kotak makan (lunch box) sendiri pada saat membeli makanan di luar rumah; Akselerasi peralihan layanan informasi ke sistem digital sehingga tidak perlu lagi kita menyaksikan poster-poster besar bertengger tanpa tuan di pinggir jalan dan pada gilirannya berakhir sebagai sampah.
ADVERTISEMENT
Itu hanya satu contoh kecil. Hal-hal lain masih bisa dilakukan walau lewat tindakan sederhana dalam aktivitas sehari-hari. Menghemat listrik dan air, mengonsumsi makanan organik, memilah sampah sesuai jenisnya, naik moda transportasi umum serta memakai produk-produk hasil daur ulang juga adalah wujud nyata sustainable living.
Ketika lorong-lorong percakapan menjadi semakin sesak oleh masalah di bidang politik-hukum, kunjungan Paus Fransiskus serta gelaran IISF seakan menuntut kita untuk mulai memperjuangkan keadilan bagi alam. Bangsa sebesar ini akan lepas dari bayang-bayang krisis iklim jika dan hanya jika masyarakatnya mampu menghayati prinsip-prinsip dasar keberlanjutan. Betapapun pemerintah mengupayakan kebijakan ekonomi hijau sebagai corak utama pembangunan, tidak berarti apa-apa jika tidak didukung aksi iklim serius dari warganya. Melakoni cara hidup sustainable sama dengan mengupayakan keselamatan diri, orang lain, dan tentunya ibu bumi.
ADVERTISEMENT