Ubuk: The Awakened Family (Bagian 1: Kebangkitan Baru)

Randy Danniswara
Bukan penulis, hanya iseng nulis yang terpikirkan. Seorang product enthusiast yang bekerja sebagai Product Management Lead di kumparan.
Konten dari Pengguna
10 Desember 2021 17:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Randy Danniswara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ubuk (Ulasan Buku) edisi pertama ini saya akan membahas buku karya Shefaly Tsabary, PhD berjudul The Awakened Family: Revolusi dalam Pola Asuh. Sebenarnya buku ini terdiri dari empat (4) bagian dengan total 22 bab. Namun karena banyak dari buku ini yang menurut saya bagus dan ingin saya bagikan maka saya coba membuat ulasan per bagian.
ADVERTISEMENT
Untuk yang belum tahu (dan mungkin baru pernah mendengar namanya), Shefaly Tsabary merupakan psikolog terkenal yang mendapat gelar PhD dalam Clinical Psychology di Columbia University. Selain itu, beliau juga terkenal sebagai wisdom-teacher yang secara khusus mencakup anger, anxiety, purpose, relationships dan conscious health.
Sampul buku The Awakened Family. Sumber: foto pribadi

Bab1: Mempelajari Cara Baru

Pada bab pertama ini, kita diajak untuk mengerti apa itu ego dan bagaimana ego mempengaruhi perilaku kita sebagai orang tua. Menurutnya, dengan kita sadar akan keberadaan ego kita dan juga mengerti bahwa ego bukan representasi dari diri kita yang sebenarnya, itu merupakan langkah penting untuk menjadi orang tua yang baik.
Selain itu, penulis juga banyak membeberkan kasus-kasus sebagai contoh agar pembaca dapat lebih memahami konsep-konsep yang dijelaskan. Namun, contoh-contoh tersebut tentunya bukan ingin membuat kita merenung dan kemudian merasa bersalah, melainkan agar kita sadar dan dapat bertransformasi untuk melatih diri dalam mengontrol ego.
ADVERTISEMENT
Pada bab ini juga penulis membawa kita untuk mengerti bahwa anak adalah “pembangkit”. Di mana, dari momen-momen dan situasi-situasi bersama anak, seringkali hadir banyak pelajaran bagi kita sebagai orang tua. Dengan berbagai contoh kasus yang dibeberkan, penulis menekankan bahwa seharusnya kita bisa melihat diri kita sendiri terlebih dahulu ketika terjadi sesuatu (misalnya konflik) dengan anak.
Karenanya, penulis mengajak kita untuk menggeser fokus kita, yang semula fokus ke anak terlebih dahulu, diubah fokusnya menjadi transformasi dalam diri orang tua terlebih dahulu. Dengan cara, kita sebagai orang tua harus mau menerima setiap dorongan untuk mendewasakan diri yang direfleksikan oleh anak kita.

Bab 2: Bagaimana Budaya Mendorong Orang Tua untuk Gagal

Pada bab kedua ini, kita diajak untuk mengerti bahwa pendekatan pengasuhan yang baik adalah mendukung anak agar mereka bersemangat menyambut hidup, bukan memotivasi dengan cara mengontrol mereka. Menurutnya, sebagai orang tua, sangat penting untuk memahami bahwa selama anak kita dapat bersentuhan dengan diri terdalam mereka, dengan sumber daya tak terbatas mereka, mereka akan memotivasi diri sendiri untuk mencapai apa pun yang mereka inginkan, bahkan lebih daripada yang bisa mereka bayangkan.
ADVERTISEMENT
Jadi, bukan berarti bahwa dengan kita melepas kontrol, kita sebagai orang tua tidak bertanggung jawab. Melainkan, orang tua harus percaya bahwa anak-anak dapat melangkah mengambil alih hidup mereka sendiri ketika kita sebagai orang tua menghapus rasa cemas kita yang biasanya tercermin dari bagaimana kita mengontrol anak.
Pada bab ini juga, penulis memberikan penjelasan bahwa biasanya orang tua terlalu berorientasi ke masa depan, sedangkan anak-anak lebih membiarkan diri mereka tinggal di momen sekarang. Perbedaan itu yang kemudian dapat menyebabkan konflik antara orang tua dengan anak. Padahal, dengan kita mengizinkan anak-anak untuk menikmati setiap momen, mereka dapat mengembangkan kecerdasan bawaan, dorongan naluriah, dan juga kecenderungan serta ketertarikan alami mereka.
Jadi alih-alih kita mengontrol mereka dan memberikan mereka hadiah ketika mereka berhasil mengikuti apa yang kita mau, justru yang anak butuhkan adalah merasa diperhatikan, percaya bahwa mereka berharga, dan mampu melihat bahwa mereka dianggap penting.
ADVERTISEMENT

Bab 3: Pemicu Tak Kasatmata akan Sikap Reaktif Kita

Bab ini menurut saya adalah yang paling menarik dari bagian satu (1). Penulis secara blak-blakan menjelaskan bahwa orang tua menganggap bahwa anak merupakan pemicu emosinya. Padahal, anak-anak hanya menjadi diri mereka sendiri tanpa pernah berniat untuk memicu amarah orang tuanya. Asumsi yang salah tersebut, yang kemudian menjadi pembenaran bagi orang tua untuk terus mengontrol anak agar anak-anak tidak lagi menjadi pemicu emosi.
Kenyataannya, layaknya ombak di laut yang terus-menerus berdebur, perilaku anak kita juga akan terus-menerus memicu emosi kita. Jadi, bukan dengan mengubah anak kita dapat menghilangkan konflik dengan anak, melainkan mencari akar pemicu yang ada di dalam diri kita sendiri sebagai orang tua.
ADVERTISEMENT
Pada bab ini juga, penulis memberikan penjelasan bahwa untuk menciptakan perubahan dalam pola asuh, kita sebagai orang tua harus berani untuk meninggalkan praktik-praktik membesarkan anak yang sudah kuno. Memiliki target untuk membesarkan anak yang dapat mengenali dirinya sendiri secara mendalam, serta yakin bahwa mereka berharga, jauh lebih baik alih-alih berharap anak untuk menjadi sesuatu.
Dengan kata lain, menurutnya, karier atau gaya hidup anak-anak kelak tidak penting asalkan mereka dapat hidup jujur pada dirinya sendiri. Dengan begitu, kita akan mampu terhubung dengan sosok yang ingin dicapai oleh anak kita, alih-alih sosok yang menurut standar masyarakat seharusnya mereka inginkan.