Konten dari Pengguna

Bosnia Negeri Kecil yang Masih Rawan Perpecahan

Rangga Yudha Nagara
A soldier without gun... Senna ko Videsh Mantralay. Charaka Buwana Ministry of Foreign Affairs, Indonesia
10 April 2018 19:59 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rangga Yudha Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bosnia & Herzegovina atau Bosnia, barangkali imaji yang pertama kali melintas di sebagian besar rakyat Indonesia ketika mendengar kata ini adalah sebuah negeri muslim di Eropa yang kini damai setelah didera perang pada dasawarsa 90-an saat Yugoslavia terpecah.
ADVERTISEMENT
Tidak banyak orang Indonesia yang mengetahui bahwa Bosnia yang luasnya lebih kecil dari provinsi Jawa Barat dan berpenduduk hanya 3,8 juta ini ternyata terdiri dari 3 etnis besar yang berafiliasi erat dengan agama yang berbeda-beda.
Plat nama bagi mereka yang tewas di gedung-gedung kota Sarajevo akibat aksi militer etnis Serb di era 90-an (foto pribadi)
Berdasarkan CIA Factbook, komposisi demografi Bosnia adalah 48% etnis Bosniak (mayoritas beragama Islam), 37% etnis Serb (Kristen Ortodoks), dan 15 % etnis Croat (Katolik). Masing-masing etnis memiliki bendera masing-masing sebagai lambang identitas. Penulis menyaksikan sendiri bangganya orang Bosniak mengibarkan bendera bulan sabit hijau di desa dan kota mereka, begitu pula orang Serb dan Croat dengan bendera khas bangsa Slavic warna putih, biru, merah, namun dengan crest yang berbeda (Croat dengan kotak-kotak merah putih, Serb dengan elang berkepala dua).
ADVERTISEMENT
Satu Negara Dua Entitas
Wilayah Republik Serbska di Dalam Negara Bosnia (Economist.com)
Diakhirinya perang Bosnia melalui perjanjian damai (Dayton Peace Accord) tahun 1995 antara etnis yang berseteru melahirkan dua entitas politik besar, yakni pertama Federasi Bosnia & Herzegovina (Federasi) yang merupakan koalisi etnis Bosniak dan Croat, yang kedua adalah Republik Serbska (bedakan dengan Serbia yang merupakan tetangga Bosnia) yang menaungi wilayah-wilayah etnis Serb di Bosnia.
Kedua entitas "semi negara" ini memiliki otonomi yang besar untuk urusan dalam negeri seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, budaya, hingga buruh dan kepolisian. Baik Republik Serbska maupun Federasi juga memiliki parlemen dan perdana menterinya masing-masing.
Sebagai warisan perang Bosnia yang kental unsur etnisitasnya, tiga etnis utama tersebut memiliki ego politiknya masing-masing. Pihak Serb dengan Republik Serbskanya kerap menuntut otonomi lebih besar dari pemerintah pusat di Sarajevo bahkan tuntutan kemerdekaan juga selalu bergaung karena tidak mau ditindas Muslim Bosnia yang dipandang sebagai kolaborator dengan Nazi sekaligus sebagai pendatang Turki bukan warga asli, maupun etnis Croat yang mereka nilai sebagai fasis.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya pihak Bosniak menginginkan kuatnya sentralitas pemerintahan di Sarajevo. Tidak ketinggalan pihak Croat yang memiliki aspirasi adanya entitas ketiga selain Federasi dan Republik Serbska, yakni entitas mereka sendiri di wilayah Herzeg.
Mostar, kota terbesar di Herzegovina bermayoritas etnis Croat (foto pribadi)
Sistem politik Bosnia juga merefleksikan tipisnya kohesi identitas nasional Bosnia, dimana Bosnia memiliki sistem 3 Presiden yang berdasarkan kontitusi wajib murni berasal dari masing-masing etnis dominan tersebut. Hal ini semakin runyam karena 3 Presiden tersebut biasanya benci satu sama lain sedangkan keputusan Pusat harus dicapai melalui mufakat ketiganya sehingga pemerintahan tidak terlalu efektif.
Republik Serbska
Perbatasan antara Federasi dan Republik Serbska di pinggiran Sarajevo (foto: Roberts Transcontinental)
Sejak awal, Republik Serbska (RS) sebenarnya mengaspirasikan pemisahan diri RS dari Bosnia. Berdasarkan polling oleh Grup Balkan Monitor yang bermarkas di Brussel, 88% dari 1,3 juta penduduk Republik Serbska menginginkan referendum untuk kemerdekaan dari Bosnia.
ADVERTISEMENT
Keinginan merdeka terjaga kuat dengan kepemimpinan Presiden Mirolad Dodik seorang nasionalis Serb. Dia sempat menargetkan tahun 2025 kemerdekaan RS dapat terwujud. Pada level partai politik, SNSD, partai terbesar etnis Serb di Bosnia juga menyuarakan referendum jika tidak ada penguatan otonomi RS dalam waktu dekat.
Di sisi lain, Presiden Bosnia, Bakir Izathegovic menolak disintegrasi terjadi pada Bosnia, ia bahkan sempat melontarkan pernyataan bahwa perang dapat kembali terjadi jika RS berani melepaskan diri.
Defile militer RS pada hari jadi Republik Serbska Januari 2018 di Banja Luka, Ibu Kota RS (foto the Republic Serpska Times)
Komplikasi keutuhan Bosnia semakin rumit dengan permainan geopolitik antara Rusia dan Barat. Dukungan terhadap RS datang dari Serbia dan Rusia, sementara, Uni Eropa dan sekutunya Amerika yang tidak ingin Rusia semakin dekat dengan halaman belakang mereka, mendukung keutuhan wilayah Bosnia. Di lain pihak keinginan Bosnia untuk bergabung dengan UE membuat gerah Moskow.
ADVERTISEMENT
Sejak 2015 memang posisi Federasi yang didukung Barat cenderung menguat ketimbang aspirasi etnis Serb karena peluang ekonomi yang bakal didapat jika Bosnia merapat ke EU. Rakyat Bosnia memiliki tingkat pengangguran hingga kisaran 50% hal ini memaksa Presiden Dodik menyatakan bahwa rencana referendum kemerdekaan di tahun 2018 mesti ditunda. Meski demikian bukan berarti asa merdeka padam begitu pula dukungan Rusia, dimana Rusia akan kentara kerasnya jika sudah menyangkut kepentingan geopolitiknya sebagaimana terjadi di Crimea, Abkhazia, Ossetia Selatan, dan Transnistria.
Tingkat pengangguran yang tinggi menjadikan olahraga catur seperti ini populer di Bosnia untuk membunuh waktu (foto: pribadi, Sarajevo)
Dimensi internal dan eksternal, membuat perdamaian yang sudah dinikmati rakyat selama lebih dari 2 dekade lebih ini semakin menyemu. Beberapa ahli Balkan di antaranya, Steven Meyer, mantan direktur CIA, menyatakan bahwa Bosnia adalah negara yang hanya eksis di atas kertas, Bosnia jauh dari persatuan.
ADVERTISEMENT
Miris jika Bosnia yang sudah kecil terpecah menjadi semakin mungil, padahal awalnya adalah bagian dari negara besar Yugoslavia, semua terjadi utamanya karena isu Suku, Agama, Ras, Antar Golongan (SARA).
Belajar dari Yugoslavia yang pecah menjadi 6 negara dan berkaca dari Bosnia, kini kita harus jaga persatuan dan kesatuan Indonesia meski ada perbedaan politik di antara kita, pun dengan keragaman suku, ras, agama, dan golongan yang mesti kita rayakan sebagai aset bangsa. Mari peluk erat-erat Indonesia dengan sayang.