Konten dari Pengguna

Bekal-bekal Biji Jagung

Rangkul Keluarga Kita
Rangkul adalah Relawan Keluarga Kita, sebuah program pemberdayaan keluarga yang diinisasi oleh Keluarga Kita dengan dukungan berbagai kalangan di berbagai daerah. Rangkul mendorong orangtua berdaya untuk orangtua lain dengan terus menjadi sumber belajar yang efektif dan berbagi praktik baik pengasuhan untuk mendukung tumbuh kembang anak. Pada akhirnya, tanggung jawab pengasuhan adalah peran kolektif untuk masyarakat dan negara yang lebih baik, bukan hanya dari dan untuk satu keluarga. Cita-cita kami adalah menyebarkan dan menggerakkan Rangkul ke seluruh wilayah di Indonesia dan memberikan dampak bermakna dalam mencapai tujuan pendidikan. Semoga Program Rangkul dapat menjadi wadah yang positif bagi para orangtua di Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat. Salam, Tim Keluarga Kita
22 Oktober 2019 18:49 WIB
clock
Diperbarui 10 Januari 2020 23:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rangkul Keluarga Kita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Wicahyaning Putri - Ilustrator & Desain Grafis Keluarga Kita
Bekal-bekal Biji Jagung
zoom-in-whitePerbesar
Hari-hari ini, pagi saya diramaikan dengan kegiatan membuat bekal sekolah Biji Jagung, anak saya. Sudah sejak dia mulai masuk sekolah dasar tahun ini, saya 'harus' bangun pagi di hari kerja dan menyiapkan bekalnya untuk dibawa ke sekolah. Sekolahnya menganjurkan anak-anak kelas kecil untuk membawa bekal sendiri dari rumah untuk mengantisipasi jika mereka belum berani pergi ke kantin sekolah untuk membeli makanan. Ide bagus kan, ya.
ADVERTISEMENT
Namun, saya sebenarnya antara "hore" dan "errgh" ketika mendengar anjuran ini. "Hore" karena pada dasarnya, saya senang memasak, jadi membuat bekal sekolah setiap hari terdengar seperti 'alasan' untuk bereksperimen dengan banyak hal baru. "Errgh" karena saya bukan 'orang pagi hari'. Pemeo bikinan saya adalah 'Mornings are best spent sleeping'. Ini lebih karena saya senang bekerja di malam hari. Akibatnya ya waktu tidur saya jadi lebih malam, sehingga, untuk memenuhi kebutuhan tidur 6-8 jam sehari, otomatis, saya bangun lebih siang. Ditambah lagi, saya bekerja dari rumah, fitur yang mendukung 'kemalasan' ini. Namun, saya juga memegang pemeo “Ya, kalo emang perlu, ya, dikerjain aja.”
Jadilah hampir setiap hari selama 4 bulan terakhir ini saya bangun pagi dan memasak bekal untuk Biji Jagung. Sebuah prestasi karena saya hampir nggak pernah bangun pagi dan berkegiatan secara kontinyu sejak saya lulus SMA. Jaman masih berangkat ke kantor pun saya memilih ngekos dekat kantor supaya waktu tempuhnya bisa di bawah 10 menit. Masuk jam 8, berangkat jam 8 kurang 15 menit.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa yang membedakan bekal Biji Jagung dari kegiatan pagi lainnya? Kenapa bangun pagi dan membuat bekalnya jadi lebih penting daripada nggak telat ngantor?
Biji Jagung punya sejarah terlambat mencapai tahapan sosial emosionalnya. Pendeknya, anak saya sebiji jagung ini perlu masa adaptasi yang panjang sebelum bisa merasa jadi bagian dari lingkungan baru karena berbagai faktor seperti sifat bawaan dan lingkungan tempat dia diasuh. Dia perlu waktu 2 tahun sebelum dia mau masuk lingkaran dan bermain aktif bersama teman-temannya di playgroup. Perlu 1 tahun lagi, dalam kelas yang lebih kecil, untuk membuatnya bisa mengejar ketinggalan tahap perkembangan sosial emosional untuk anak seusianya.
Maka, ketika dia lulus TK, saya berusaha betul agar dia tidak kembali masuk ke dalam cangkangnya karena syok dengan lingkungan baru di sekolah dasar. Anjuran membawa bekal itu saya pikir bisa jadi cara agar dia selalu ingat bahwa betapa pun asingnya lingkungannya sekarang, ada sesuatu yang familiar yang akan menemaninya: bekal dari rumah.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari pertama berlalu. Namun, saya lihat, dia tidak menghabiskan bekalnya. "Nggak enak?" tanya saya. "Enak, kok. Kan yang biasa kamu bikin. Cuma tiap kali buka bekalnya aku jadi sedih karena kangen kamu. Lalu aku nangis."
Oh..
Rencana tidak berjalan sesuai keinginan saya.
"Lha, gimana? Apa nggak usah dibikinin aja supaya kamu nggak nangis?"
"Jangan. Nanti aku makin kangen."
Ok. Dibekelin kangen, nggak dibekelin makin kangen. Rasanya ingin tepok jidat berjama'ah.
Cari caralah saya supaya bisa tetap membikin bekal tapi Biji Jagung nggak sedih amat pas membukanya. Saya mencoba membuat post it tebak-tebakan jayus kesukaannya untuk dibaca saat ia membuka bekal agar dia tidak terlalu sedih. Sukses? Tidak. Bertahan 2 hari sebelum akhirnya dia bilang, "Boleh nggak jangan dikasih pesen di bekalnya. Aku jadi inget kamu yang nulis. Lalu nangis."
ADVERTISEMENT
Siapa yang mau tepok jidat bareng saya? Woohoo!
Namun, saya ingat betul cita-cita saya membantu dia bertransisi dari kehidupan taman kanak-kanak ke sekolah dasar. Alasan paling kuatnya adalah karena saya cilik hampir nggak punya keterampilanh sosialisasi di sekolah. Pernah lihat anak perempuan berambut panjang dikepang yang selalu mojok di kelas pas istirahat karena tidak ada yang mengajak main di film-film? Itu saya. Persis, serambut-rambut panjang dikepangnya. Nggak enak rasanya melihat teman-teman bermain di luar dan saya, yang sebenarnya ingin ikut, tidak berani karena tidak tahu caranya bergabung. Setiap hari. Maka, saya berjanji sama diri sendiri, saya nggak akan membiarkan Biji Jagung mengalami hal yang sama.
Saya tetap membuatkan dia bekal. Bedanya, bukan lagi dengan pikiran akan mengingatkan dia pada 'rumah'. Menu yang tadinya adalah menu yang biasa saya masak buat dia sehari-hari, bergeser sebagian jadi menu baru. Kan lingkungan baru, mungkin perlu menu baru juga. Selain itu, saya menambah strategi dengan banyak bertanya tentang teman-teman barunya di sekolah, memberinya tips memulai obrolan dengan teman yang sepertinya satu gelombang otak dengannya, mendengarkan keluh kesah soal temannya yang suka gemas padanya sampai kekesalannya karena dia belum jago meraut pensil sendiri, dan memberikannya misi menemukan berbagai ruang di sekolahnya agar dia berjalan-jalan keluar dari kelas dan berani bertanya ke orang dewasa di sekitarnya. Yang utama, saya berusaha tidak drama ketika mendengarnya bercerita soal menangis saat kangen saya di sekolah.
ADVERTISEMENT
"Nanti aku pasti nangis karena kangen kamu."
"Gak papa. Kangen boleh, kok. Aku yakin nanti kalo kamu udah biasa di sekolah, kamu akan berkurang kangennya." Kemudian ditutup dengan pelukan sebelum dia berangkat setiap hari.
Suatu siang, beberapa minggu lalu, Bjji Jagung menghampiri saya di meja kerja sepulang sekolah.
"Ibuh, tadi kata Arman, Ina, sama Reza spageti bikinanmu enak."
"Oh?! Emang kamu bagi sama mereka?"
"Iya. Mereka minta soalnya. Belum pernah makan spageti katanya."
"Kalo gitu bekelmu abis, dong?"
"Enggak. Abis mereka ngicipin, aku tutup kotak bekelnya. Soalnya aku nggak mau mereka ngabisin."
Ha.
Udah lah ya, nggak usah tepok jidat. Bagus dia bisa berbagi meskipun agak nggak ikhlas. Tepuk tangan aja. Yay.
ADVERTISEMENT
Untungnya, teman-temannya nggak kapok minta icip bekal Biji Jagung. Dan ternyata dia juga nggak melulu kesal bekalnya diminta. Mini crepe isi pisang cokelat saya adalah menu pertama yang ludes dimakan dia dan teman-temannya. Spageti saus tomat dan telur ceplok selalu jadi favorit. Sekarang, saya lebih sering membuat bekalnya dalam ukuran sekali gigit atau bite size supaya ia mudah berbagi dengan temannya. Ternyata, itu cara yang jitu untuk membantu Biji Jagung. Karena, alih-alih membuatnya berusaha membuka obrolan atau mendekat, teman-temannya yang mendekati Biji Jagung dan bertanya, "Ibumu bikin bekal apa hari ini?"
Saya kini sudah tidak terlalu khawatir soal tahapan perkembangan sosial emosionalnya. Dia sudah melewati tantangan kehidupannya yang itu. Saya tidak pernah lagi dicurhati soal "Karena kangen maka aku nangis." Dia sudah biasa bercerita soal harinya bersama teman-temannya dan juga obrolannya dengan guru-gurunya. Persoalan kehidupan sekolahnya akhir-akhir ini berputar pada ketinggalan topi, tidak bawa uang jajan, atau dia tidak kepingin pipis di sekolah karena repot melepas ikat pinggangnya. Sudah seperti anak seusianya saja.
ADVERTISEMENT
Sekarang, giliran saya yang perlu menghadapi tantangan "errgh" berikutnya; memikirkan menu bekal untuk seminggu yang akan datang. Soalnya, belakangan, Biji Jagung akan mampir ke dapur setelah mandi pagi dan berpakaian, lalu bertanya dengan riang, "Ibuh, bekalku apa hari ini?". #CeritaRangkul