news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

LDR, kok, Nikah; Nikah, kok, LDM

Rangkul Keluarga Kita
Rangkul adalah Relawan Keluarga Kita, sebuah program pemberdayaan keluarga yang diinisasi oleh Keluarga Kita dengan dukungan berbagai kalangan di berbagai daerah. Rangkul mendorong orangtua berdaya untuk orangtua lain dengan terus menjadi sumber belajar yang efektif dan berbagi praktik baik pengasuhan untuk mendukung tumbuh kembang anak. Pada akhirnya, tanggung jawab pengasuhan adalah peran kolektif untuk masyarakat dan negara yang lebih baik, bukan hanya dari dan untuk satu keluarga. Cita-cita kami adalah menyebarkan dan menggerakkan Rangkul ke seluruh wilayah di Indonesia dan memberikan dampak bermakna dalam mencapai tujuan pendidikan. Semoga Program Rangkul dapat menjadi wadah yang positif bagi para orangtua di Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat. Salam, Tim Keluarga Kita
Konten dari Pengguna
7 Mei 2020 18:34 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rangkul Keluarga Kita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
LDR, kok, Nikah; Nikah, kok, LDM
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
*Oleh Dina Auliana - Rangkul Yogyakarta
Sebelum menikah, saya dan suami menjalani LDR (Long Distance Relationship) hingga akhirnya kami menikah. Setelah menikah pun, saya menjalani pernikahan jarak jauh atau orang biasa menyebut LDM (Long Distance Marriage). Alhamdulillah, tidak sampai bertahun-tahun karena akhirnya bisa tinggal satu atap.
ADVERTISEMENT
Setelah enam tahun menikah dan mempunyai dua anak, kami harus LDM lagi hingga saat ini sudah menjalani tahun ketiga. Saya dan anak-anak di Yogyakarta, sementara suami sempat tinggal di Medan dan di Jakarta.
LDM tanpa drama? Bohong banget… Pasti ada, dong. Pernikahan satu atap saja ada drama, bagaimana pernikahan ditambah dengan bumbu LDM? Pasti banyak drama! Tapi, saya belajar untuk menerima tanpa drama terhadap suami maupun anak.
Walaupun kadang saya tak mampu membendung emosi marah karena sifat bawaan saya yang sangat jauh berbeda dengan sifat bawaan anak yang tinggal bersama saya.
Akan tetapi, seperti pesan Bu Elaa dan Keluarga Kita bahwa salah satu keindahan hubungan keluarga adalah selalu ada kesempatan berikutnya untuk menjadi lebih baik, terutama dalam mengelola emosi dalam kasus saya ini. Saya mulai merasa harus berubah setelah merasakan bagaimana tidak enaknya ketika emosi marah saya itu sering gagal dikelola, saya perlu sehat mental demi kebaikan saya, suami, dan tentunya anak-anak.
ADVERTISEMENT
Jadi, saya yang berusaha berubah? Iya, betul karena lebih mudah mengubah diri sendiri daripada mengubah orang lain. Selain itu, biasanya bagaimana orang terdekat kita bersikap bergantung juga terhadap respons yang kita keluarkan. Misalnya, suami yang enggan menanyakan kabar anak-anak, ternyata karena saya mengeluh melulu saat kami bertukar kabar via pesan singkat atau telepon.
Contoh lain anak pertama yang berusia 7 tahun marah meledak-ledak, ternyata karena saya kelelahan sendirian mengurus rumah dan pola komunikasi saya kepada dia yang ngegas terus. Kejadian lainnya adalah anak kedua yang berusia 2 tahun cranky dan nempel terus, ternyata karena saya terlalu sibuk dengan urusan rumah harus rapi dan harus bersih sehingga ia merasa kurang diperhatikan, merasa tidak dihargai.
ADVERTISEMENT
Itu semua akhirnya bisa saya sadari, lalu saya akui bahwa, “Oya, saya salah. Nggak bisa begini terus.” Kok, bisa? Gengsi, dong. Mengaku salah? Saya belajar ini setelah menghabiskan membaca buku Keluarga Kita dan belajar tentang Prinsip CINTA-nya.
Saat saya mulai berbenah dengan menerima diri dan belajar mengelola diri, lambat laun ternyata saya pun mengubah pola hubungan dalam kehidupan LDM kami. Kehidupan LDM ini banyak sekali positif dan negatifnya. Positifnya, sebagai istri, saya tidak perlu melihat handuk basah suami disimpan di sembarang tempat, hahaha…. dan saya lebih belajar menghargai rasa rindu karena kualitas dan kuantitas pertemuan yang terbatas.
Negatifnya, anak-anak tentu tidak secara penuh merasakan kasih saying serta peran ayah dalam kehidupan sehari-hari. Sementara dampak negatif bagi saya sebagai istri dan ibu, kehidupan LDM ini menguras banyak energi fisik dan emosi yang membuat saya harus bisa memenuhi kebutuhan diri sendiri dan berusaha membersamai anak-anak tanpa suami di dekat saya.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa yang saya lakukan setelah saya sadar dan mengakui kesalahan dan kekurangan?
Saya sepakat dengan ungkapan kualitas tanpa kuantitas sebenarnya hal yang sulit dicapai. Singkatnya, pertemuan saya dan anak-anak dengan suami membuat kami harus pandai mengatur kualitas pertemuan kami. Saya belajar prinsip “A” dalam Prinsip CINTA Keluarga Kita, yaitu Asyik Main Bersama. Lewat kualitas pertemuan yang menyenangkan, perubahan itu saya rasakan betul. Saya yang introver berubah menjadi orang yang harus asyik dan spontan bersama suami dan anak-anak.
Untungnya, suami orang yang sangat ekstrover; kalau bermain bersama anak-anak, bisa total sambil joget dan tertawa terbahak-bahak, sementara saya hanya asyik diam menonton sambil senyum-senyum. Tapi, saya perlahan mulai merasa, ‘Ah, aku nggak asyik, ah, kalau begini… Kasihan anak-anak, kasihan suami juga.’ Saya pun ikut menjadi spontan bercanda dengan menertawai diri sendiri karena saya nggak hobi joget. Lama-lama saya menikmati untuk menjadi mindful; here and now.
ADVERTISEMENT
Saat main sama anak, ya harus asyik. Saat belajar bersama anak, ya harus here and now; sepenuh hati dan sepenuh tubuh membersamai anak. Saya mulai melupakan membuat target anak harus mampu begini-begitu maupun saya harus melakukan ini-itu. Yang penting, saya bisa berinteraksi sepenuh hati dan sepenuh tubuh; saya ingin anak-anak memiliki ingatan masa kecil yang menyenangkan tentang kedua orang tuanya.
Urusan pekerjaan dan aktivitas rumah bagaimana, dong? Apakah dilakukan sendirian? I’m only human. Jadi, memang ada capeknya dan kalau capek, saya jadi gampang marah. Saya mulai menurunkan standar. Kalau rumah berantakan, ya turunkan standar untuk nggak usah rapi-rapi amat. Kalau capek, ya cuci piringnya nanti saja; ditumpuk sesekali nggak apa-apa. Kalau cucian menggunung, ya dialihkan ke laundry sesekali agar badan kita juga bisa menikmati istirahat; biar kita juga punya waktu untuk memanjakan diri meski sekadar rebahan sambil menjelajah media sosial atau hanya untuk mandi sepuasnya tanpa gangguan.
ADVERTISEMENT
Lalu, enggak boleh mengeluh sama suami? Boleh banget. Saya belajar cara berkeluh-kesah yang “tepat” lewat teknik komunikasi yang banyak saya pelajari setelah bergabung menjadi Rangkul, Relawan Keluarga Kita.
Pola komunikasi saya yang sebelumnya hobi berkeluh-kesah dengan suami setiap saat mulai saya kurangi. Saya belajar tiga hal agar komunikasi menjadi lebih nyaman, yaitu mengapresiasi, berempati, refleksi pengalaman, dan I-message. Saat suami saya pulang, saat anak-anak sudah istirahat, kami punya waktu berdua untuk saling berkeluh-kesah. Pola komunikasi ala detektif yang menginterogasi saya ganti menjadi pola apresiasi dengan menghargai pengorbanannya bersedia jauh dari keluarga, berempati dengan rasa lelahnya yang harus bolak-balik ke Yogyakarta demi bisa bertemu keluarga. Dengan demikian, suami akan merasa bahwa kami berdua sebagai pasangan memang berjuang untuk hal yang sama. Tidak ada yang seolah-olah lebih enak atau lebih sulit. Nah, setelah satu frekuensi, baru saya gunakan I-messsage sebagai senjata ampuh. Saya menyampaikan perasaan saya, harapan saya membutuhkan ini-itu, ingin begini-begitu, plus memberikan alternatif pilihan bagaimana kalau begini-begitu. Teknik I-message tentu akan efektif jika kita tidak hanya mengeluh, tetapi menunjukkan sikap bahwa kami mau sama-sama mengusahakan yang terbaik untuk semua, bukan menjatuhkan pasangan dan merendahkan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Saat saya dan suami memiliki kualitas hubungan yang baik, biasanya ini sebanding dengan kualitas saya dan suami dalam pengasuhan anak. Saat saya dan suami dulu semrawut, anak-anak pun nggak karuan rewelnya, banyak maunya, dan emosional. Satu perubahan nyata dari perubahan saya dan suami yang berdampak kepada anak pertama saya adalah pengelolaan emosinya. Anak lebih mampu mengelola emosi dan menunjukkan sikap yang lebih hangat. Saya tak lupa selalu bersyukur atas perubahan kecil yang sudah kami lakukan agar semakin peka dengan keberkahan kecil lain dari Yang Mahakuasa yang diberikan untuk keluarga kami.
Mari belajar bersama di sesi-sesi pengasuhan yang diselenggarakan oleh Rangkul Keluarga Kita yang terdekat di kota Anda. Lewat forum tersebut, saya belajar tentang keluarga dan pengasuhan secara dua arah, tak seperti sesi parenting pada umumnya. Dalam sesi bersama Rangkul itu kita difasilitasi untuk saling berbagi pengalaman yang ternyata dapat menjadi salah satu media menyalurkan emosi dan menyalurkan banyak hal yang kita pendam selama menjalani kehidupan berkeluarga. Karena pengasuhan adalah urusan kita bersama, mari kita berusaha bersama untuk mencintai keluarga kita dengan lebih baik.