Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perempuan yang Bingung
Rangkul adalah Relawan Keluarga Kita, sebuah program pemberdayaan keluarga yang diinisasi oleh Keluarga Kita dengan dukungan berbagai kalangan di berbagai daerah.
Rangkul mendorong orangtua berdaya untuk orangtua lain dengan terus menjadi sumber belajar yang efektif dan berbagi praktik baik pengasuhan untuk mendukung tumbuh kembang anak. Pada akhirnya, tanggung jawab pengasuhan adalah peran kolektif untuk masyarakat dan negara yang lebih baik, bukan hanya dari dan untuk satu keluarga.
Cita-cita kami adalah menyebarkan dan menggerakkan Rangkul ke seluruh wilayah di Indonesia dan memberikan dampak bermakna dalam mencapai tujuan pendidikan.
Semoga Program Rangkul dapat menjadi wadah yang positif bagi para orangtua di Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat.
Salam,
Tim Keluarga Kita
15 November 2019 21:13 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Rangkul Keluarga Kita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Empat belas tahun lalu, saat itu usia saya 25 tahun, saya mulai berumah tangga dengan laki-laki yang saya kenal setahun sebelumnya. Kami memutuskan berdua-duaan dulu, secara sadar menunda kehamilan, dengan berbagai pertimbangan atas situasi dan kondisi. Salah satunya karena suami meneruskan studi dan secara finansial tidak realistis untuk memiliki anak.
ADVERTISEMENT
Pertimbangan lain yang tak kalah penting adalah kami ingin mengalokasikan waktu untuk mencerna relasi baru yang bernama pernikahan ini.
Mungkin penundaan ini terdengar terlalu "modern", tapi mengingat banyak hal yang perlu kami perbaiki dulu sebagai diri sebelum menjadi orangtua, maka keputusan tersebut masuk akal sebagai bentuk tanggung jawab. Di masa-masa ini, rencana gaya pengasuhan anak termasuk hal yang kami percakapkan, dari yang serius sampai yang random. "Nanti kalau anak kita keluar kamar dan bilang mau jadi anak punk, kamu bolehin nggak?"
Empat tahun kemudian, Hanami lahir. Suatu pagi di bulan Juni tahun 2008, sebelumnya saya tidak pernah terbayang bagaimana menjadi ibu. Senang sekaligus bingung. Bahagia sekaligus khawatir. Campur aduk.
ADVERTISEMENT
Menjadi orangtua, tidak terbayangkan oleh saya sebelumnya bahwa tantangannya besar sekali, paling tidak untuk saya. Waktu itu yang saya rasakan, 'Wah, ini ada bayi lucu, tapi saya bingung harus gimana.'
Beruntung saat itu saya bekerja di sebuah perusahaan penerbitan buku, yang salah satu lini buku yang diterbitkannya adalah buku parenting.
Membaca buku-buku tersebut adalah bagian dari pekerjaan saya. Tapi, hal ini tidak lantas membuat kebingungan saya sebagai ibu baru hilang begitu saja.
Di usia awal ini, selain persoalan memberi ASI, lalu imunisasi, disambung lagi dengan pemberian MPASI, juga diselimuti dengan hari-hari batuk pilek dan lain-lain.
Ada isu lainnya yang juga perlu saya tangani, yaitu transisi diri, dari seorang perempuan menjadi ibu. Menerima peran baru sebagai ibu, membagi waktu menjalaninya dengan peran yang sudah ada sebelumnya, sebagai: anak, istri, pekerja, teman dan peran lainnya. Buat sebagian orang mungkin mudah, buat saya ini tantangan yang perlu saya cerna.
ADVERTISEMENT
"Manja banget, sih, gitu aja bingung, ibu-ibu zaman dulu juga menikah lalu langsung punya anak santai-santai aja, nggak pakai bingung segala. Jalanin aja," suara sumbang ini datangnya dari kepala saya. Saya egois dan tidak dewasa? Mungkin.
Februari 2012, saya hamil anak kedua, hamil yang direncanakan. Saat melihat dua garis di alat tes itu, senang tentunya, sambil kepikiran "Saya bisa nggak, ya?".
Sepanjang jalan perjalanan hamil yang kedua ini, salah satu yang paling sering muncul di kepala adalah meragukan diri saya (mungkin pengaruh hormon, mungkin juga karena drama plus lebay aja).
Saya sudah bisa menjalani peran sebagai ibu dengan anak satu, sebagai istri, anak dari kedua orangtua saya, menjalani hari sebagai pekerja, memiliki waktu dengan teman-teman. Kalau ada dua anak, jadi seperti apa kehidupan saya selanjutnya?
ADVERTISEMENT
Ainikko lahir, juga di pagi hari, pada penghujung November 2012, NikNik panggilannya, bayi perempuan yang dinanti kakaknya, tak sabar ingin diajaknya main. Dari ranjang rumah sakit setelah operasi, saya memperhatikan dalam-dalam wajah Hanami, si kakak yang sedang tertidur di kursi panjang. Nanti saya akan kangen sama dia, saya akan sibuk dulu dengan adiknya. Kembali kekhawatiran itu datang, apakah saya bisa menjalani ini semua?
Pergulatan tentang menjadi perempuan yang bingung dengan banyak peran yang dijalaninya, ya itu saya. Saya menerima ini bagian dari diri saya yang perlu terus diperbaiki. Sampai hari ini.
(Bersambung)
Ingin mengetahui kisah lengkapnya? Yuk, segera unduh #CeritaRangkul Volume 01 di Google Playbook (bit.ly/BukuCeritaRangkulVol1)
Oleh Yulia Indriati, Direktur Keluarga Kita.
ADVERTISEMENT