Konten dari Pengguna

Mengenal Makna Giri dan Haragei dalam Interaksi Sosial Jepang.

Rania Pramudita
Mahasiswa S1 Bahasa dan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.
11 Oktober 2024 12:22 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rania Pramudita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Source: Pexels
ADVERTISEMENT
Giri dan haragei adalah dua konsep dalam budaya komunikasi Jepang yang hingga saat ini masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Giri dapat dipahami sebagai konsep kewajiban atau tanggung jawab sosial, sedangkan haragei adalah seni komunikasi nonverbal yang digunakan oleh masyarakat Jepang untuk berkomunikasi. Kedua konsep ini membantu menciptakan komunikasi yang nyaman, mendorong empati, dan menghindari konflik. Namun, kedua konsep ini juga sering kali menyebabkan kebingungan dan kesalahpahaman, sehingga timbul ketidakjelasan niat atau maksud orang lain. Sebenarnya, konsep-konsep ini sangat berkaitan dengan budaya Jepang yang menghargai harmoni di atas segalanya, di mana upaya menjaga hubungan tetap harmonis dianggap lebih penting daripada bersikap langsung atau konfrontatif. Di sisi lain, giri dan haragei sering kali menimbulkan kebingungan atau kesalahpahaman, terutama bagi orang luar yang tidak terbiasa dengan cara komunikasi yang tidak langsung ini. Hal ini menjadi perbedaan utama antara budaya komunikasi Jepang dan budaya Barat yang lebih terbuka. Karena perbedaan ini, orang Barat sering mengalami kesulitan dan kesalahpahaman ketika berinteraksi dengan orang Jepang.
ADVERTISEMENT
Giri adalah kewajiban atau tanggung jawab yang harus dipenuhi seseorang dalam hubungan sosial, seperti membalas kebaikan untuk menunjukkan rasa terima kasih atas kebaikan yang telah diterima. Dahulu, giri dianggap sebagai semacam norma sosial yang dibentuk dalam masyarakat feodal oleh kelas samurai. Giri sendiri memiliki tiga makna penting, yaitu: prinsip moral atau kewajiban, aturan yang harus dipatuhi dalam hubungan sosial, dan perilaku yang wajib diikuti atau dilakukan di luar kegiatan sehari-hari (Matsumura, 1988:653). Menurut Minamoto, konsep giri sebenarnya sudah ada sejak dahulu, tetapi kata giri baru muncul sekitar abad pertengahan. Penting untuk dicatat bahwa giri juga mencerminkan nilai kolektif masyarakat Jepang yang mendahulukan kelompok dibandingkan individu, yang pada akhirnya membantu menciptakan ikatan sosial yang lebih kuat.
ADVERTISEMENT
Konsep giri yang sangat umum kita lihat adalah tradisi di mana wanita memberikan hadiah kepada rekan kerja atau teman laki-lakinya pada Hari Valentine, yang disebut giri choco, dan laki-laki membalas kebaikan tersebut dengan memberikan hadiah atau cokelat pada White Day untuk menunjukkan rasa terima kasih atas hadiah yang diterimanya. Giri choco ini tidak hanya menjadi simbol perasaan saling menghormati, tetapi juga memperkuat pentingnya rasa kewajiban yang dianggap esensial dalam menjaga keseimbangan sosial. Konsep giri ini juga banyak diadaptasi ke dalam bentuk media seperti karya tulis atau film, salah satunya film Chūshingura yang mengisahkan insiden sejarah yang melibatkan empat puluh tujuh rōnin dan misi mereka untuk membalas kematian tuan mereka, Asano Naganori. Dalam konteks ini, giri digunakan untuk menunjukkan loyalitas yang mendalam dan rasa tanggung jawab yang tidak tergoyahkan, meskipun situasi tersebut menuntut pengorbanan besar.
ADVERTISEMENT
Secara harfiah, “hara” memiliki arti perut dan “gei” memiliki arti seni. Haragei adalah cara komunikasi tersirat yang dilakukan tanpa menggunakan kata-kata; komunikasi ini mengandalkan perasaan dan kepekaan seseorang untuk mengerti maksud atau niat lawan bicaranya tanpa harus mengungkapkannya secara terbuka. Hal ini memungkinkan seseorang untuk menghindari konflik dan menjaga hubungan tetap harmonis, sesuatu yang sangat dihargai dalam budaya Jepang. Haragei sendiri dipandang sebagai aspek positif dan negatif di Jepang. Di satu sisi, haragei dapat digunakan untuk “membaca pikiran orang” atau menebak pikiran orang lain. Namun, di sisi negatifnya, konsep ini membuat orang-orang menyembunyikan perasaan dan niat aslinya. Biasanya, haragei digunakan dalam lingkungan bisnis atau politik sebagai sarana komunikasi yang menipu, di mana mereka menyembunyikan niat aslinya untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan. Dengan demikian, haragei berfungsi sebagai alat yang sangat kuat baik untuk menciptakan empati maupun untuk manipulasi, tergantung pada konteks dan tujuannya.
ADVERTISEMENT
Hubungan Haragei dengan Amae, Honne dan Tatemae.
Source: Pexels
Haragei sering kali terkait erat dengan konsep amae, yang menggambarkan perasaan mengandalkan atau bergantung pada orang lain. Haragei didasarkan pada amae, di mana pembicara membiarkan dirinya bergantung pada kepekaan pendengar untuk membaca yang tersirat agar menangkap maksud sebenarnya dari pesan pembicara saat berkomunikasi. Orang Jepang juga mengandalkan waktu untuk membantu menyelesaikan masalah. Mereka berpikir bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan seiring berjalannya waktu dan sering kali menunggu baik pembicara maupun pendengar mencapai kesepakatan tanpa perlu diskusi terbuka.
Honne berarti perasaan yang sesungguhnya, yaitu ekspresi yang mencerminkan apa yang benar-benar dirasakan seseorang, sedangkan tatemae berarti "dibangun di depan," melambangkan kepribadian yang sering digunakan di depan publik. Tatemae membantu menciptakan suasana yang harmonis, meskipun hal itu berarti seseorang harus mengesampingkan perasaannya sendiri. Mereka diajarkan sejak kecil bagaimana menggunakan honne dan tatemae dalam berkomunikasi, karena kedua konsep ini sangat penting untuk menjaga citra pembicara dan untuk tidak menyakiti perasaan orang lain. Jadi, apa yang mereka bicarakan biasanya tidak selalu sesuai dengan isi hati atau perasaan asli mereka.
ADVERTISEMENT
Komunikasi di Jepang tidak akan terasa nyaman jika konsep honne dan tatemae tidak digunakan dengan benar. Bagi orang Jepang, mereka yang tidak mampu menggunakan dua konsep ini dianggap bukan pembicara atau pendengar yang baik karena bisa saja, tanpa disadari, menyakiti lawan bicara atau membuat percakapan terasa tidak nyaman akibat penggunaan honne dan tatemae yang tidak tepat. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan kedua konsep ini secara tepat agar dapat mempertahankan hubungan sosial yang baik. Kedua konsep ini sangat penting dalam komunikasi, terutama dengan orang Jepang, di mana honne disembunyikan dan membutuhkan pengalaman serta kepekaan untuk menggunakan konsep tatemae.
Perbedaan Haragei dengan Ishin Denshin.
Source: Pexels
Ishin denshin dapat dipahami sebagai komunikasi dari hati ke hati atau komunikasi tanpa kata-kata. Ishin denshin lebih menekankan pada saling memahami tanpa perlu mengungkapkan pikiran secara terbuka. Konsep ini sering kali dilihat sebagai bentuk kepercayaan yang sangat mendalam antara kedua belah pihak, di mana empati memainkan peran yang dominan. Ishin denshin lebih bergantung pada empati dan intuisi antara pembicara dan pendengar, di mana kedua pihak memiliki pemahaman yang mendalam antara satu sama lain sehingga mereka dapat “membaca” perasaan, pikiran, atau maksud tanpa berbicara.
ADVERTISEMENT
Yang membedakan antara haragei dan ishin denshin adalah tidak perlu melakukan usaha untuk melakukannya, karena ishin denshin terjadi secara alami atau tanpa disengaja. Ishin denshin biasanya terjadi jika kedua pihak memiliki hubungan yang sangat dekat, karena mereka sudah bisa memahami satu sama lain tanpa harus mengungkapkan isi hati, seperti antara ibu dan anak, teman dekat, atau rekan kerja yang sudah terasa seperti saudara sendiri.
Sementara itu, haragei adalah teknik komunikasi yang dilakukan dengan sengaja dan membutuhkan usaha untuk memahami pemikiran atau maksud yang disembunyikan oleh lawan bicara. Dengan kata lain, haragei memerlukan keahlian dan pengalaman, serta kemampuan untuk membaca konteks sosial yang rumit. Contoh umum haragei adalah saat mengajak teman untuk makan di luar, tetapi dia menjawab dengan ragu, yang menunjukkan bahwa sebenarnya dia tidak ingin ikut, dan bergantung pada kita untuk menangkap maksud tersembunyi dari ajakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Giri dan haragei adalah dua konsep budaya Jepang yang saling berhubungan. Saat menjalankan giri, seseorang mungkin menggunakan haragei untuk menjaga hubungan sosial tetap harmonis tanpa harus menyatakan rasa terima kasih secara terbuka. Dengan demikian, kedua konsep ini berfungsi sebagai alat yang saling melengkapi dalam menjaga harmoni sosial di Jepang. Kedua konsep ini juga memiliki peran penting dalam budaya Jepang yang membantu menjaga keseimbangan sosial. Giri dan haragei masih sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang, tetapi budaya ini mungkin terasa asing bagi kalangan tertentu atau pendatang. Oleh karena itu, penting bagi orang luar untuk memahami keduanya agar dapat menghormati dan menavigasi hubungan dengan lebih baik saat berinteraksi dengan masyarakat Jepang. Kedua konsep ini perlu dipahami agar saat berinteraksi dengan orang Jepang tidak terjadi kesalahpahaman terhadap budaya mereka.
ADVERTISEMENT