Perempuan dan Sejarah Sastra Indonesia Modern

Rania Ninanta Marito Harahap
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
10 Mei 2022 11:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rania Ninanta Marito Harahap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: pexels
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: pexels
ADVERTISEMENT
Ketika anda membaca novel, puisi, cerpen atau karya sastra lain, pernahkah anda bertanya tentang siapa penulis karya sastra tersebut? Apakah seorang lelaki atau justru seorang perempuan?
ADVERTISEMENT
Banyak masyarakat yang berpendapat bahwa sastra dan sejarahnya adalah milik kaum lelaki. Karena adanya pandangan dari khalayak awam, bahwa penulis sastra biasanya adalah laki-laki. Jika seorang perempuan menulis sastra, maka akan dianggap salah dan seringkali dipandang tidak setara dengan karya sastra para penulis laki-laki. Karena menurut mereka, sejatinya perempuan adalah sosok yang harus bekerja di rumah seperti menjaga anak, mencuci piring, mencuci baju, membersihkan rumah, dan lain sebagainya. Jika kaum perempuan berkarya dengan sastra khususnya, maka banyak stereotip bahwa karya tersebut tidak bernilai tinggi seperti karya-karya dari sastrawan laki-laki. Hal seperti ini sering disebut sebagai masalah gender.
Dalam perspektif gender, perempuan dianggap sebagai sosok yang bertugas melayani suami (sebagai istri) dan suka berdandan. Perempuan sebagai makhluk feminim, selalu dikaitkan dengan makhluk lemah dan hanya bertugas di rumah. Perspektif seperti inilah yang menimbulkan kesan, bahwa karya-karya sastra yang dihasilkan oleh perempuan tidak lebih baik dan kurang dihargai adanya.
ADVERTISEMENT
Banyak pula yang berasumsi bahwa di dalam perkembangan sastra Indonesia modern, tidak ada peran dari seorang perempuan dan hanya mengandalkan laki-laki. Bahkan buku-buku sejarah sastra, jarang menuliskan peran dari para sastrawan perempuan yang turut membantu perkembangan sastra di bumi nusantara.
Oleh karena itu, mari kita lihat secara sederhana peran sastrawan perempuan dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia modern. Pada tahun 1914-1953 muncul seorang sastrawan wanita bernama Fatimah Hasan Delais, beliau menuliskan suatu karya sastra dalam bentuk novel yang berjudul “Kehilangan Mestika” (1935). Novel tersebut diterbitkan oleh Balai Pustaka sebagai penerbit utama pada masa itu. Dari sini dapat kita lihat bahwa pada kesusastraan era Balai Pustaka sastrawan wanita ikut merintis dan mengembangkan karya sastra di Indonesia, khususnya jenis novel. Bahkan pada awal tahun kemerdekaan, banyak bermunculan tokoh sastra wanita dengan berbagai karyanya. Seperti S. Rukiah (Kejatuhan dan Hati, 1950), Walujati Supangat (Pujani, 1951), Nursiah Dahlan (Arni, 1952), dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, muncullah tokoh sastra perempuan bernama Nh. Dini yang sangat aktif dan produktif dalam menulis sastra. Karya sastra Nh. Dini berupa novel, di antaranya Keberangkatan (1977), Pertemuan Dua Hati (1986), Tirai Menurun (1993), Kemayoran (2000), Argenteuil Hidup Memisahkan Diri (2008), dan lainnya. Dengan keaktifan-nya dalam menghasilkan banyak novel sepanjang hidup, ia telah menunjukkan bahwa perempuan yang sering dikira lemah dan dianggap tidak mampu berkarya di dunia yang keras, justru mampu bersaing dan menghasilkan karya-karya menawan yang dikenang melalui sejarah.
Selain Nh. Dini, ada banyak sastrawan/novelis wanita yang berkarya pada tahun 1900-an. Sebut saja Mustika Heliati, Enny Sumargo, Titie Said, Lastri Fardani, Lilimunir, Maria Sugiharto, dan lainnya. Apakah anda pernah membaca atau sekadar mendengar nama mereka? Saya rasa, kebanyakan dari kita akan menjawab tidak. Karena di dalam buku, berita, atau pun cerita sastra, nama sastrawan lelaki lebih banyak disebut dan diperkenalkan. Padahal sastrawan wanita juga banyak berkontribusi dalam perkembangan dan kemajuan sastra di Indonesia. Sebagai seorang wanita, mereka tetap mampu berkarya walau dibayangi oleh tugas rumah tangga yang padat dan rumit.
ADVERTISEMENT
Dapat disimpulkan bahwa di dalam sejarah sastra Indonesia, tokoh yang membangun kejayaan sastra bukan hanya dari kalangan pria. Melainkan, adanya peran perempuan yang cukup besar dan berdampak, khususnya bagi perempuan lain untuk terus berkarya. Sastra dan sejarahnya bukanlah milik kaum lelaki saja, namun ia adalah milik kita semua. Yaitu kaum perempuan dan lelaki. Mari, kita hargai dan hormati para sastrawan perempuan yang telah berperan aktif dalam membangun sejarah sastra di Indonesia. Serta menghilangkan pandangan sempit tentang perempuan, karena perempuan mampu berkarya.
Daftar Pustaka:
Fakih, Mansur. 2006. Analisis Jender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Cet. Ke-10).
Suryaman, M., Nurhadi, B. W., & Liliani, E. 2012. Sejarah sastra indonesia berperspektif gender. Leutikaprio.
ADVERTISEMENT