Konten dari Pengguna

TMII Setelah Revitalisasi: Estetika Menawan, tetapi Di Mana Budayanya?

Ranti
Aku Ranti, mahasiswi Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi dan tertarik pada isu budaya, media, dan opini publik. Buatku, komunikasi itu tentang memahami, bukan sekadar menyampaikan.
17 Mei 2025 16:16 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Ranti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
dokumentasi pribadi penulis
zoom-in-whitePerbesar
dokumentasi pribadi penulis
dokumentasi pribadi penulis
zoom-in-whitePerbesar
dokumentasi pribadi penulis
ADVERTISEMENT
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) adalah tempat yang dari dulu saya anggap sebagai simbol keanekaragaman budaya Indonesia. Sejak kecil, saya diajak ke sana untuk melihat dan mengenal tentang berbagai rumah adat, belajar tentang baju tradisional, dan menonton pertunjukan budaya dari berbagai daerah. TMII dulu terasa seperti buku sejarah yang bisa kita jelajahi sambil berjalan kaki. Tapi setelah mengalami revitalisasi besar-besaran, saya merasa perlu melihat ulang: apakah TMII masih membawa identitas budaya seperti dulu, atau sekarang hanya jadi sekadar tempat wisata yang estetik?
ADVERTISEMENT
Sekilas, memang menyenangkan melihat wajah baru TMII. Rapi, modern, dan sangat menarik untuk difoto. Banyak fasilitas ditingkatkan, kegiatan yang beragam, akses pengunjung diperbaiki, dan kesannya lebih profesional. Tapi saya sadar bahwa komunikasi budaya bukan hanya tentang apa yang terlihat, tapi juga tentang apa yang bisa dirasakan dan dipahami. Dan di situlah saya merasa ada yang berubah.
Banyak rumah adat kini tampil seperti pajangan yang cantik, tapi minim konteks. Narasi yang menjelaskan sejarah, nilai, dan filosofi bangunan seringkali tidak begitu menonjol. Padahal, keunikan Indonesia justru terletak pada cerita-cerita itu. Ketika elemen budaya dikemas hanya untuk keindahan visual, ada risiko bahwa nilai budayanya justru terlupakan. Padahal informasi mengenai bangunan-bangunan budaya cukup penting untuk diketahui lebih dalam oleh pengunjung.
ADVERTISEMENT
Selain itu, saya juga bertanya-tanya tentang siapa yang mendapat ruang dalam versi baru TMII ini. Dulu, kita sering lihat pelaku budaya lokal seperti penari daerah, pengrajin, atau bahkan komunitas adat yang mengisi ruang-ruang ini dengan cerita hidup mereka. Sekarang, sebagian besar yang terlihat justru ornamen tetap yang statis. Rasanya lebih seperti museum modern daripada ruang hidup budaya yang dinamis.
Saya tidak menolak perubahan. Saya mengerti bahwa TMII perlu beradaptasi agar tidak ditinggalkan. Tapi menurut saya, modernisasi seharusnya tidak mengaburkan identitas. Justru, teknologi dan desain baru bisa digunakan untuk memperkuat pengalaman belajar budaya misalnya lewat tur interaktif, pemandu digital, atau program live dari komunitas budaya. Hal ini justru dapat meningkatkan ketertarikan masyarakat akan TMII kedepannya jika dilaksanakan, karena di era modern ini semakin berkembangnya teknologi semakin berkembang juga pola pikir masyarakat terkait suatu hal. Masyarakat yang tidak terlalu minat dalam membaca bisa mendengarkan pemandu digital atau tur interaktif yang tetap dapat memberikan informasi tanpa harus membaca.
ADVERTISEMENT
TMII harus tetap jadi tempat yang bukan hanya menghibur, tapi juga mengedukasi. Tempat yang bisa membuat kita merasa lebih dekat dengan akar budaya kita sendiri, tanpa kehilangan esensi karena terlalu sibuk mengejar estetika.
Jadi, ketika saya melihat ulang TMII hari ini, saya senang dengan perubahannya, tapi juga berharap ada lebih banyak ruang untuk identitas lama tetap hidup di balik estetika baru. Karena budaya bukan sekadar dekorasi, tapi adalah jiwa yang seharusnya terus bicara, bahkan saat tampilannya berubah.