Konten dari Pengguna

Karakter atau Popularitas? Krisis Moral Anak Bangsa di Dunia Digital

Aidah Radhwa Nour Amany
Lulusan Mass Communication UCSI University Kuala Lumpur
11 Oktober 2024 21:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aidah Radhwa Nour Amany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seseorang yang cemas melihat komentar buruk di sosial media (Sumber: https://www.freepik.com/teenager-girl-suffering-internet-cyber-bullying.htm)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seseorang yang cemas melihat komentar buruk di sosial media (Sumber: https://www.freepik.com/teenager-girl-suffering-internet-cyber-bullying.htm)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di tengah gemerlapnya dunia digital yang terus berkembang, anak-anak Indonesia berada di persimpangan besar. Mereka dihadapkan pada dua pilihan: membangun karakter yang kuat atau mengejar popularitas instan di media sosial. Media sosial, yang awalnya diciptakan untuk menghubungkan orang, kini berubah menjadi arena di mana citra diri dan pengakuan publik seringkali lebih penting daripada memiliki karakter yang berbasis kejujuran, empati, dan tanggung jawab. Salah kaprah dalam mengejar popularitas di media sosial inilah yang pada akhirnya menjadi sasaran empuk cyberbullying, yaitu perundungan dengan menggunakan teknologi digital.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini bukan hanya kekhawatiran sesaat. Sebuah laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2023 menunjukkan lonjakan kasus cyberbullying, kekerasan verbal, dan perilaku antisosial di kalangan anak-anak dan remaja. Mereka semakin tenggelam dalam tekanan untuk menunjukkan versi terbaik dari diri mereka di dunia maya, terjebak dalam siklus mengejar "likes" dan "followers" yang seolah menjadi tolok ukur keberhasilan. Dampaknya sangat nyata. United Nations International Children’s Educational Fund (UNICEF) menyatakan, sebanyak 45 persen remaja di Indonesia usia 14-24 tahun pernah mengalami cyberbullying atau perundungan daring. Rinciannya, 45 persen mengalami pelecehan melalui aplikasi chatting, 41 persen menyebarkan foto atau video tanpa izin, dan sisanya cyberbullying dalam bentuk lain. Dalam kondisi ini, karakter yang seharusnya menjadi landasan penting dalam perkembangan kepribadian mereka, kerap terabaikan.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dilansir dari Tempo.co, pada 1 Maret 2024, seorang siswa di Tangerang Selatan menjadi korban perundungan online yang disebarkan melalui WhatsApp dan media sosial. Kasus ini viral setelah video kekerasan tersebut tersebar luas di dunia maya, yang memaksa Polres Tangerang Selatan menaikkan status penyelidikan menjadi penyidikan. Kasus ini adalah contoh nyata betapa krisis karakter di kalangan remaja Indonesia semakin dipengaruhi oleh interaksi digital yang penuh tekanan. Kekerasan berbasis teknologi ini terus meningkat, memperparah kondisi emosional para korban di tengah popularitas media sosial​.
Oleh karena itu, Thomas Lickona, dalam bukunya Character Matters (2004), menekankan bahwa tanpa karakter yang kuat, anak-anak akan rentan menghadapi tekanan sosial, terutama di era digital. Ia mengingatkan bahwa karakter seperti kejujuran dan empati harus dibentuk sejak dini, karena tanpa itu, anak-anak akan mudah terjebak dalam dunia di mana nilai-nilai moral sering kali dikesampingkan. Kondisi ini semakin diperparah dengan peran media sosial yang kerap mempromosikan kehidupan seakan-akan sempurna sehingga memantik kecemburuan sosial atau keresahan psikologis di kalangan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi krisis ini, komunikasi strategis menjadi salah satu cara paling efektif untuk mengatasi masalah dan membalikkan tren negatif ini. Langkah pertama dalam komunikasi strategis adalah memahami bahwa anak-anak dan remaja merupakan generasi yang tumbuh bersama teknologi. Mereka menyerap informasi dengan cara yang berbeda dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu, pendekatan tradisional dalam menyampaikan pesan moral perlu disesuaikan agar relevan dan menarik perhatian mereka.
Pesan-pesan tentang nilai-nilai moral harus hadir di tempat di mana mereka sering berinteraksi—media sosial. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube yang mendominasi perhatian anak-anak dapat menjadi saluran penting untuk menyampaikan pesan moral dan pendidikan karakter. Misalnya, kampanye anti-bullying yang dirancang dengan format video pendek, gaya narasi yang menarik, dan visual yang eye-catching akan lebih efektif menjangkau mereka. Anak-anak lebih mungkin terlibat dan mempelajari pesan moral bila disampaikan dalam bentuk yang mereka kenal dan sukai.
ADVERTISEMENT
Selain itu, komunikasi strategis tidak hanya berhenti pada penyampaian pesan moral melalui media sosial. Orang tua, guru, dan lingkungan sosial anak juga harus diberdayakan melalui pendekatan yang sistematis dan koheren. Komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak, misalnya, dapat mencegah anak terjebak dalam perilaku negatif di dunia maya. Orang tua perlu dilatih untuk mendampingi anak-anak mereka dalam menggunakan media sosial secara sehat, mengajarkan mereka tentang pentingnya menjaga integritas dan empati di dunia digital.
Di sekolah, guru harus lebih dari sekadar pengajar akademis; mereka juga harus berperan sebagai mentor yang membantu membentuk karakter anak. Thomas Lickona menyatakan bahwa pendidikan karakter tidak bisa dilakukan hanya melalui ceramah atau teori. Anak-anak perlu melihat keteladanan dari orang-orang di sekitar mereka, karena actions speak louder than words, dan mereka harus diberi ruang untuk mendiskusikan nilai-nilai moral dalam konteks kehidupan sehari-hari mereka. Guru sejatinya berperan sebagai pendidik yang menggunakan bahasa yang dapat dipahami anak-anak dan remaja, serta memberikan contoh yang dekat dengan dunia digital yang mereka hadapi setiap hari.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penting juga untuk melibatkan komunitas lokal dalam upaya membangun karakter. Komunikasi strategis bisa menjadi jembatan yang menyatukan berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga non-profit, dan tokoh masyarakat, untuk menciptakan kampanye pendidikan karakter yang lebih luas. Misalnya, program-program sosial yang mempromosikan nilai-nilai empati, kerja sama, dan tanggung jawab dapat diintegrasikan dalam aktivitas anak-anak di komunitas mereka, baik dalam bentuk kegiatan sosial, permainan edukatif, maupun diskusi terbuka.
Krisis karakter yang terjadi di kalangan anak-anak Indonesia di era digital ini memang sangat mengkhawatirkan. Namun, dengan pendekatan komunikasi yang terencana dan strategis, kita bisa mulai mengubah narasi ini. Memahami bagaimana anak-anak berinteraksi dengan teknologi dan memanfaatkan saluran komunikasi yang relevan merupakan langkah penting untuk menanamkan kembali nilai-nilai moral yang mereka butuhkan untuk bertahan di dunia modern.
ADVERTISEMENT
Seperti yang diingatkan oleh Lickona, karakter tidak terbentuk dengan sendirinya. Ia dibangun melalui keputusan-keputusan kecil yang dilakukan setiap hari. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, pendidikan karakter melalui komunikasi yang tepat menjadi lebih penting dari sebelumnya. Hanya dengan karakter yang kuat, anak-anak Indonesia akan mampu menghadapi tantangan di dunia digital, tanpa kehilangan esensi nilai-nilai moral yang sejati.