Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Another Day Another Perempuan Selalu Salah
16 Juli 2024 6:23 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Putri Sahira Bastari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Berita tentang pelecehan seksual selalu bermunculan di setiap tahunnya. Hari demi hari kasus tersebut makin bertambah. Jika diperhatikan, di setiap berita pelecehan seksual selalu saja ada komentar-komentar negatif ke perempuan. Komentar yang menyalahkan perempuan. “Bajunya kali mengundang!”, “Kok gak ngelawan?”, “Kalo ganteng pasti reaksinya beda lagi” dan komentar-komentar negatif lainnya. Ironis, bukan? Seharusnya fokus pada pelaku yang melakukan pelecehan namun kenyataannya hanya berfokus pada atribut dan pergerakan yang dilakukan oleh perempuan. Lebih ironis lagi ketika seorang perempuan speak up tentang kejadian dia mengalami pelecehan, korban harus terlebih dahulu menjelaskan pakaian apa yang digunakannya.
ADVERTISEMENT
Padahal faktanya pakaian tidak ada korelasinya dengan tindakan pelecehan. Survei yang dilakukan oleh KRPA atau Koalisasi Ruang Publik Aman dengan 32.341 responden tentang pakaian yang digunakan oleh perempuan saat terkena pelecehan seksual. Hasil menunjukkan 17,4% memakai celana atau rok panjang, 15,82% memakai baju panjang, 13,80% memakai baju longgar, 13,20% memakai hijab sedang atau pendek, dan bahkan yang memakai baju agak transparan 0,44% dan baju/celana ketat 1,89%. Hasil survei ini membuktikan bahwa pakaian sama sekali tidak memiliki pengaruh terhadap tindakan pelecehan. Selain itu, ketika mengalami pelecehan, korban akan mengalami kelumpuhan sementara atau tonic immobility. Tonic immobility adalah kondisi di mana tubuh menjadi tidak responsif saat mengalami suatu peristiwa yang mengancam atau berbahaya (Magalhaes et al., 2021). Tubuh akan diam tak berkutik saat peristiwa berbahaya terjadi. Kondisi tersebut menjadi alasan mengapa korban pelecehan tidak melawan.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui bahwa menyalahkan baju korban dan ketidakmampuan korban dalam melawan merupakan tindakan victim blamming. Apa maksudnya? Victim blamming merupakan tindakan menyalahkan korban kejahatan atas keadaan yang menimpa dirinya. Fenomena ini justru mengakibatkan dampak yang menyakitkan untuk korban. Korban akan merasa takut untuk speak up dan akan terus menyalahkan diri sendiri serta menganggap bahwa dirinya tidak berharga. Adakah faktor yang memengaruhi tindakan ini? Menurut (Wulandari & Krisnani, 2020) faktor victim blamming bermula dari rape myths (mitos pemerkosaan) dan just world beliefs (kepercayaan pada dunia yang adil). Maksudnya, fenomena ini terjadi karena suatu negara masih memegang peran tradisional gender yang melihat aturan tentang berpakaian, berperilaku, dan bertindak sesuai jenis kelamin serta adanya anggapan bahwa peristiwa yang baik akan terjadi pada orang yang baik. Berdasarkan hal tersebut, perempuan yang menjadi korban pelecehan sering dianggap memiliki perilaku dan cara berpakaian yang buruk.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, mulailah bersama-sama untuk tidak menyalahkan korban. Korban mengalami kejadian buruk dan harus menyembuhkan dirinya sendiri dari kejadian tersebut tetapi masih harus menerima komentar yang menyalahkan dirinya. Berhenti membalikkan keadaan dengan membuat korban menjadi pelaku dan pelaku menjadi korban. Korban sama sekali tidak bersalah justru pelaku yang bersalah.