Tinjauan Kritis Terhadap UU PDP: Sudahkah Sesuai Harapan Masyarakat?

Rashiq Akbar
Mahasiswa S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Konten dari Pengguna
19 Desember 2022 14:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rashiq Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: Pexels.com
ADVERTISEMENT

Memangnya keuntungan apa saja yang bisa diperoleh seseorang jika membeli data pribadi orang lain?

sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagaimana tidak mudah, menurutnya, untuk dapat memiliki nomor bodong di Indonesia jika Anda memiliki data pribadi pemilih tetap pada Pemilu 2014 lalu? Pasalnya, hanya dengan mengeluarkan sejumlah uang Anda sudah bisa memiliki “identitas kedua” yang terdiri atas nama lengkap, jenis kelamin, alamat, nomor KTP, tempat dan tanggal lahir, usia, status lajang atau menikah, bahkan nomor Kartu Keluarga.
ADVERTISEMENT
Dari bulan April hingga Juni 2022 saja, perusahaan keamanan siber Surfshark mencatat bahwa setidaknya setiap satu menit terdapat delapan akun yang mengalami kebocoran data di Indonesia. Data tersebut menggambarkan betapa rentannya data pribadi masyarakat Indonesia untuk dibocorkan oleh pihak tak bertanggung jawab. Ketika data pribadi seseorang bocor dan jatuh ke tangan pihak ketiga, ada banyak bentuk penyalahgunaan yang dapat terjadi tergantung jenis data apa yang dibocorkan. Hal ini tentunya akan merugikan orang tersebut karena ia bisa saja dihadapkan pada situasi yang dapat mengancam harta atau nyawanya.
Sebagai “solusi” atas masalah kebocoran data pribadi masyarakat, pada tanggal 17 Oktober 2022, Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) telah berhasil disahkan oleh pemerintah sebagai Undang-undang No. 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Undang-undang ini terdiri atas 16 bab (76 pasal) yang secara khusus mengatur pengolahan dan penyimpanan data pribadi pengguna layanan sistem elektronik, baik yang diselenggarakan oleh sektor privat maupun publik (instansi pemerintah).
ADVERTISEMENT
Apakah pengesahan tersebut benar-benar meniupkan angin segar seperti yang telah diharapkan masyarakat selama ini? Sejak UU PDP masih berupa rancangan undang-undang (RUU), produk hukum tersebut sudah mendapatkan berbagai kritik terkait isi beberapa pasalnya. Masih ada ketidaksempurnaan dalam UU PDP yang terlihat dari adanya pasal yang bersifat kontroversial dan ambigu, sehingga UU PDP dapat dikatakan belum berhasil memberikan kepastian hukum.
Pasal-pasal yang Bermasalah
Ada beberapa pasal dalam UU PDP yang bersifat ambigu dan kontroversial. Pasal-pasal tersebut berpotensi disalahgunakan untuk mengkriminalisasi orang, membahayakan kebebasan pers, serta dalam pelaksanaannya berpotensi menjadi celah masuknya kepentingan politik. Pasal-pasal yang bermasalah tersebut meliputi Pasal 58, 65, dan Pasal 67.
Dalam pasal-pasal tersebut terkandung nomenklatur dan frasa yang bersifat multitafsir. Penggunaan nomenklatur atau frasa di dalam beberapa pasal UU PDP yang maknanya tidak diperjelas dapat menyebabkan kerancuan. Ketidakjelasan makna nomenklatur dalam pasal-pasal tersebut berpotensi menjadikannya pasal karet, karena dapat dimanfaatkan untuk memidanakan orang atau bahkan membatasi kebebasan dalam berpendapat. Contohnya, pada Pasal 65 ayat 2 UU PDP yang berbunyi “ Setiap orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya” terdapat frasa “secara melawan hukum” yang maknanya tidak diperjelas. Dalam pasal 65 memang tidak terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan frasa “melawan hukum” dan juga tidak diperinci kriteria apa saja yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai “melawan hukum.” Frasa "melawan hukum" tersebut berpotensi dijadikan alat untuk membungkam orang yang berbeda pandangan dengan penguasa.
ADVERTISEMENT
Lantas apakah itu berarti Pasal 65 dan Pasal 67, yang mengatur sanksi dari perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 65, memang tidak mengandung kepastian hukum? Menurut Gustav Radbruch, terdapat tiga nilai dasar dalam hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, dan konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif (Julyano & Sulistyawan, 2019). Hal tersebut disebabkan tidak adanya definisi konkret yang diberikan untuk frasa “melawan hukum” dalam kedua pasal di atas, maka frasa tersebut dapat dijadikan celah bagi penafsiran subjektif.
Potensi Pelanggaran terhadap UU PDP
UU PDP juga membuka celah bagi penyalahgunaan pasal yang dapat mengancam transparansi dalam berbagai bidang, seperti pemilihan pejabat publik (Tirto, 22/09/2022). Hal ini terlihat dalam hubungan antara Pasal 65 yang pada intinya melarang seseorang mengungkap data pribadi orang lain yang bukan miliknya, dan Pasal 4 yang menjelaskan jenis-jenis data pribadi yang bersifat spesifik. Catatan kejahatan, yang merupakan bagian dari jenis data pribadi spesifik menurut UU PDP, apabila diungkapkan maka pengungkapnya dapat dipidana sesuai ketentuan dalam Pasal 67 ayat 2. Maka dari itu, ketika suatu media menyoroti latar belakang setiap calon pejabat publik yang ikut dalam pemilihan dan memperlihatkan rekam jejak kriminal mereka, media tersebut dapat diancam pidana dengan hukuman yang tertera dalam Pasal 70.
ADVERTISEMENT
Menurut ketentuan pada Pasal 70 ayat 2, media sebagai korporasi hanya dapat dijatuhi pidana denda atas “pelanggaran” yang digambarkan sebelumnya. Namun dalam kondisi terburuk, selain didenda media tersebut juga dapat dirampas keuntungannya, dibekukan, dilarang melakukan aktivitas tertentu secara permanen, dicabut izin operasinya, atau bahkan dibubarkan, selayaknya yang dilakukan pemerintah orde baru dengan pembredelan medianya. Hal ini tentu saja dapat membahayakan demokrasi dan kebebasan pers dalam mengawal berjalannya pemilihan, karena berkat peraturan tersebut para calon pejabat yang memiliki catatan kriminal tidak perlu takut kebobrokannya terungkap karena “privasi” mereka dilindungi oleh UU PDP.
Perlunya Lembaga Pengawas yang Independen
Tak kalah penting adalah ketentuan dalam Pasal 58 terkait pembentukan lembaga pengawas penyelenggaraan perlindungan data pribadi (PDP). Pasal 58 ayat 3 dan 4 menyatakan bahwa lembaga pengawas tersebut nantinya akan dibentuk oleh presiden dan bertanggung jawab kepadanya, sedangkan ayat 5 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga tersebut akan diatur dalam Peraturan Presiden. Hal ini sangat disayangkan karena independensi dari lembaga tersebut sangat diperlukan agar ia memiliki integritas sebagai lembaga yang bebas dari intervensi pihak tertentu dan juga memiliki keleluasaan dalam menjalankan fungsinya.
ADVERTISEMENT
Pembentukan lembaga pengawas pelaksanaan PDP oleh presiden dapat membentuk kesan bahwa lembaga tersebut tidak berbeda dengan lembaga-lembaga lain yang dibentuk oleh presiden karena memiliki "ikatan" tertentu dengannya. Pelimpahan wewenang pembentukan lembaga pengawas penyelenggaraan PDP kepada presiden bagaikan memberi tanah liat yang dapat dibentuk sesuai dengan kemauannya. Dengan demikian ketika lembaga tersebut dibentuk, akankah ada jaminan bahwa wewenang yang diberikan padanya tidak diatur sedemikian rupa oleh presiden agar dapat melindungi pihak tertentu jika suatu saat tersandung kasus?
UU PDP memang belum sepenuhnya sempurna dan masih perlu dilengkapi oleh peraturan pelaksana dan turunan. Peraturan-peraturan pelengkap tersebut sepatutnya segera disusun dan mampu mengisi celah dalam UU PDP dengan memperinci ketentuan-ketentuan yang masih bersifat rancu dan kurang spesifik di dalamnya. Terakhir, besar harapan penulis agar lembaga pengawas penyelenggaraan PDP dapat segera dibentuk dan memiliki wewenang yang mampu memberinya kekuatan untuk menegakkan UU PDP. Lembaga tersebut seyogianya bersifat independen dan justru bertanggung jawab kepada rakyat, bukan kepada presiden.
ADVERTISEMENT