Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Perkawinan Anak di Madura: Antara Budaya dan Batas Hukum
12 Oktober 2024 18:33 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rasika Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, Madura kembali menjadi sorotan publik karena video viral tentang pertunangan anak. Tradisi abekalan, yaitu pertunangan di usia dini, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Madura. Masyarakat percaya bahwa abekalan penting untuk menjaga hubungan baik antar keluarga.Contohnya, pertunangan dini anak perempuan di Dharma Camplong, Sampang (2024), merupakan manifestasi dari maraknya praktik pernikahan dini di Madura. Di Bangkalan, statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2022, sebanyak 1.650 remaja telah menikah di bawah umur, angka yang signifikan dan menunjukkan skala besar dari problematik ini. Sedangkan di Pamekasan, terdapat peningkatan jumlah pernikahan dini dari 257 kasus pada tahun 2022 menjadi 297 kasus pada tahun 2023. Meskipun angka pernikahan secara keseluruhan mengalami penurunan, pernikahan di bawah umur justru meningkat. Ini menunjukkan bahwa stigma sosial tentang batas usia pernikahan masih kuat, mendorong banyak remaja untuk menikah lebih awal.
ADVERTISEMENT
Latar Belakang Perkawinan Anak di Madura
Madura, sebuah pulau di timur laut Pulau Jawa, dikenal dengan masyarakat yang menjunjung tinggi tradisi dan norma sosial yang kuat. Salah satu tradisi yang masih kerap terjadi adalah praktik perkawinan anak, yang pada banyak kasus dianggap sebagai bagian dari siklus kehidupan yang normal.
Faktor budaya memainkan peran penting dalam memicu perkawinan anak di Madura. Dalam pandangan tradisional, pernikahan sering kali dipandang sebagai bentuk perlindungan dan cara untuk menjaga kehormatan keluarga. Orang tua di Madura, khususnya di daerah pedesaan, merasa bahwa menikahkan anak perempuan mereka pada usia muda akan menjaga martabat keluarga dan memastikan anak tersebut tidak terlibat dalam perilaku yang dianggap tidak pantas oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada juga keyakinan bahwa perkawinan dini dapat mencegah anak perempuan dari risiko "perawan tua," sebuah stigma sosial yang masih kuat di beberapa daerah. Masyarakat cenderung khawatir jika anak perempuan mereka tidak segera menikah, mereka akan kesulitan menemukan pasangan yang layak di masa depan. Keyakinan ini diperkuat oleh nilai-nilai sosial yang menempatkan pernikahan sebagai pencapaian utama bagi perempuan.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Perkawinan anak di Madura, seperti di banyak daerah lainnya, memiliki dampak signifikan terhadap kehidupan anak perempuan, terutama dalam hal pendidikan dan kesehatan. Salah satu dampak yang paling langsung adalah putusnya pendidikan. Anak perempuan yang dinikahkan pada usia muda sering kali harus menghentikan pendidikan mereka untuk fokus pada peran sebagai istri dan ibu. Ini mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan perempuan di daerah tersebut, yang pada gilirannya mempersempit kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di masa depan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perkawinan dini juga meningkatkan risiko kesehatan, baik bagi ibu muda maupun anak-anak yang dilahirkan. Anak perempuan yang hamil pada usia muda lebih rentan terhadap komplikasi kesehatan, seperti preeklamsia, kelahiran prematur, dan kematian ibu. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang sangat muda juga memiliki risiko lebih tinggi mengalami berat lahir rendah dan gangguan perkembangan.
Dampak psikologis dari perkawinan anak juga tak kalah penting. Anak-anak yang dipaksa menikah pada usia muda sering kali belum siap secara emosional untuk menghadapi tanggung jawab dan tekanan yang datang dengan peran sebagai istri dan ibu. Mereka juga lebih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan mengalami masalah psikologis seperti depresi dan kecemasan.
Hukum dan Kebijakan Pemerintah
ADVERTISEMENT
Dalam upaya menanggulangi perkawinan anak, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai langkah, termasuk mengesahkan undang-undang yang menetapkan usia minimal pernikahan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menaikkan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan dan laki-laki menjadi 19 tahun ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk melindungi hak-hak anak dan memastikan bahwa mereka mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebelum menikah.
Namun, meskipun ada regulasi yang jelas, implementasi undang-undang ini di Madura dan daerah-daerah lain yang memiliki tradisi kuat masih menghadapi tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah keberadaan aturan adat yang sering kali lebih kuat daripada hukum negara. Dalam masyarakat yang sangat menghormati tetua adat dan tradisi, pernikahan anak tetap dipandang sebagai hal yang wajar dan tidak dianggap melanggar norma sosial.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sistem peradilan agama, yang memiliki kewenangan untuk memberikan dispensasi perkawinan, juga sering kali menjadi faktor yang memperumit situasi. Dalam banyak kasus, orang tua yang ingin menikahkan anak mereka di bawah umur mengajukan permohonan dispensasi kepada pengadilan agama, dan permohonan ini sering kali dikabulkan dengan berbagai alasan, termasuk alasan ekonomi dan sosial. Hal ini membuat aturan hukum yang ada sulit diterapkan secara efektif di lapangan.
Upaya Penyadaran dan Edukasi Masyarakat
Meskipun tantangan yang dihadapi cukup besar, ada berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan aktivis sosial untuk menekan angka perkawinan anak di Madura. Salah satu pendekatan yang paling penting adalah penyadaran dan edukasi masyarakat tentang dampak negatif perkawinan anak, baik dari segi kesehatan, psikologis, maupun sosial-ekonomi.
ADVERTISEMENT
Penyuluhan dan kampanye yang dilakukan oleh berbagai pihak berfokus pada pentingnya pendidikan bagi anak perempuan dan memberikan pemahaman bahwa pernikahan bukanlah satu-satunya jalan menuju masa depan yang baik. Edukasi mengenai hak-hak anak, kesehatan reproduksi, dan pentingnya kesetaraan gender juga merupakan bagian dari strategi untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap perkawinan anak.
Selain itu, pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pemimpin adat dalam kampanye anti-perkawinan anak juga menjadi salah satu kunci keberhasilan. Dalam masyarakat yang sangat menghormati otoritas lokal, suara dari para tokoh ini memiliki pengaruh besar dalam mengubah cara pandang masyarakat.
Apakah Perkawinan Anak di Madura Harus Dilestarikan?
Perkawinan anak di Madura, seperti di banyak tempat lain, adalah tradisi yang seharusnya tidak dilestarikan karena dampak negatifnya yang jelas terhadap kesehatan, pendidikan, dan hak-hak anak. Meskipun tradisi merupakan bagian penting dari identitas budaya, praktik yang merugikan individu dan masyarakat harus dievaluasi dan, bila perlu, diubah atau dihentikan. Perkawinan anak bukanlah praktik yang mendukung kesejahteraan anak atau perkembangan masyarakat secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Perubahan sosial memang membutuhkan waktu dan kesabaran, tetapi melalui edukasi, penyadaran, dan dukungan dari semua pihak — baik pemerintah, tokoh adat, dan masyarakat — Madura dapat beradaptasi dengan praktik-praktik yang lebih mendukung kesejahteraan generasi muda. Menghargai tradisi tidak harus berarti melestarikan semua aspeknya tanpa melihat konteks dan dampaknya terhadap kehidupan modern.