Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Fenomena Hiperkorek Bahasa Arab Yang Memprihatinkan Sekaligus Menggelikan
17 Maret 2018 12:20 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Rasyid Mufti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda menjumpai teman yang gemar membetulkan bahasa yang Anda gunakan? Sang "Polisi Bahasa” ini mungkin cukup mengganggu bagi anda, apalagi kalau yang dia koreksi bukannya menjadi lebih benar malah menjadi salah. Disinilah dia sedang terjebak dalam fenomena yang disebut hiperkorek.
ADVERTISEMENT
Hiperkorek berasal dari bahasa Inggris “hyper” yang artinya berlebihan dan “correct” yang artinya memperbaiki atau membetulkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hiperkorek berarti menghendaki kerapian dan kesempurnaan yang berlebihan sehingga hasilnya malah menjadi sebaliknya. Dalam tulisan ini saya akan membahas fenomena hiperkorek beberapa kata yang berasal dari bahasa Arab.
“Syurga” Yang Tak Dirindukan
Pada tahun 2015 yang lalu, saya sempat tersenyum geli saat membaca status facebook teman yang berbunyi “otw nonton film Syurga Yang Tak Dirindukan”. Anda pasti bertanya-tanya, apanya yang lucu dari film ini? Bukan filmnya yang lucu, melainkan berubahnya kata “surga” menjadi “syurga” yang menurut saya cukup lucu. Banyak yang mengira kata-kata asal Arab yang mengandung huruf S (س) itu lebih baik berubah menjadi SY (ش) agar terdengar lebih fasih dan syar’i. Tak pelak kita sering mendengar kata-kata seperti “syah, insyaf dan syaraf”. Padahal yang betul adalah “sah, insaf dan saraf”. Kata surga pun tak luput kena imbasnya. Padahal surga bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Sansekerta “svarga” yang berarti alam nun jauh disana yang penuh kedamaian. Sedangkan dalam bahasa Arab sendiri, surga disebut dengan جنة (jannah). Jauh sekali bukan!
ADVERTISEMENT
Hal ini bisa juga dilihat dari beberapa nama orang Indonesia yang lebih banyak mengandung huruf SY dibanding S seperti “Syaiful, Syaifuddin dan Syaifullah”. Padahal sebenarnya ejaan yang lebih tepat adalah Saiful, Saifuddin, dan Saifullah. Kata "saif" (سيف) berarti pedang, sedangkan "syaif" (شيف) adalah kata serapan dari bahasa Inggris "chef" yang berarti koki! Jauh sekali bukan?
Insya Allah atau Insha Allah?
Beberapa waktu yang lalu public sempat ramai mempertanyakan kebenaran tulisan Insya Allah yang selama ini sudah menjadi kosa kata sehari-hari umat Islam. Berawal dari pesan broadcast di whatsapp, BBM, dan line yang katanya berasal dari Dr. Zakir Naik (ulama terkenal asal India), orang-orang dihimbau untuk tidak menulis "Insya Allah", karena yang lebih tepat adalah "Insha Allah" dengan padanan huruf SH bukan SY. Rendahnya literasi dalam bermedia sosial membuat banyak sekali orang yang langsung menyebarkan pesan ini via berbagai platform media sosial tanpa tahu dasarnya. Mereka juga ramai menyalahkan orang orang yang masih menulis Insya Allah. Alhasil, sekarang banyak sekali orang yang menulis Insha Allah dibanding Insya Allah. Apakah ini benar atau salah?
ADVERTISEMENT
Akar permasalahan disini sebenarnya dalah pedoman transliterasi Arab-Indonesia dan Arab-Inggris. Bunyi huruf Arab syin (ش) dalam bahasa Indonesia dilambangkan dengan huruf SY, sedangkan dalam bahasa Inggris dilambangkan dengan huruf SH. Mari kita analisis bersama-sama. Dr.Zakir Naik adalah warga India yang merupakan bekas jajahan Inggris, pantas saja beliau memilih SH. Sedangkan kita sebagai orang Indonesia harusnya memilih SY. Justru kalau kita menulis SH akan malah salah karena SH dalam transliterasi Arab-Indonesia melambangkan bunyi huruf Arab lain yaitu shad (ص). Tentunya ini membuat artinya semakin kacau. Heboh hiperkorek ini akhirnya mereda setelah Dr.Zakir Naik melalui akun twitter resminya menyangkal telah memberikan statement tentang hal ini! Nah lo, Sudah hiperkorek, sumbernya hoax pula!
ADVERTISEMENT
K dan Q: Putri Yang Tertukar
Seperti dalam sinetron, nasib huruf K juga selalu dianak tirikan dan dianggap lebih “inferior” dari saudaranya sendiri: huruf Q. Suatu saat dalam perjalanan pulang kerja, mata saya tiba-tiba tertuju pada sebuah warung yang bertuliskan “Warung Baroqah”. Mungkin maksud pemilik warung ini baik, tulisan “barokah” yang selama ini umum di masyarakat dianggap kurang tepat karena menggunakan huruf K yang terdengar kurang fasih dibandingkan huruf Q. Padahal ini justru salah karena barokah berasal dari kata برك yang berarti berkah sedangkan baroqah bisa berasal dari kat برق yang berarti petir. Hal ini menunjukkan bahwa semangat hiperkorek masih sangat tinggi pada sebagian orang Indoensia.
Dalam kaidah bahasa Indonesia yang baku sekalipun, sebagian besar kata serapan asal Arab yang dari awal memakai huruf Q diubah menjadi K. Huruf K dianggap sudah “membumi” dan lebih mudah diucapkan oleh orang Indonesia. Lihat saja kata-kata seperti “akhlak, akidah, dan kalbu” yang sudah ditetapkan sebagai ragam bahasa baku. Mereka tetap ditulis dengan huruf K walaupun kata aslinya dalam bahasa Arab menggunakan huruf Q (akhlaq, aqidah, dan qalbu). Bahkan dalam bahasa Inggris, kata Quran ditulis dengan menggunakan K sehingga menjadi “Koran”! Warga muslim Inggris sendiri pun tidak ada yang protes dan mengoreksinya.
ADVERTISEMENT
Fenomena hiperkorek yang memprihatinkan ini menunjukkan bahwa semangat menggebu-gebu dalam memperbaiki suatu bahasa jika tidak didasari oleh pengetahuan dan dasar yang kuat justru akan menyesatkan dan mungkin “menggelikan”. Semoga artikel ini bermanfaat bagi semua kalangan.
*Rasyid Mufti,
Pengajar Bahasa dan Sastra Arab di IAIN Tulungagung