Akankah Perundungan di Dunia Pendidikan Terus Terulang?

Ratna Nisrina Puspitasari
Alumni S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Universitas Sebelas Maret - Guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Doplang
Konten dari Pengguna
13 Agustus 2023 5:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ratna Nisrina Puspitasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kegiatan siswa di sekolah (dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kegiatan siswa di sekolah (dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dunia pendidikan belakang ini mendapat banyak sorotan. Mulai dari kasus perundungan siswa sampai dengan penganiayaan guru. Rentang kejadiannya pun tak berselang lama. Nahasnya hampir semua berujung pada tindak kekerasan, baik yang dialami oleh siswa maupun guru.
ADVERTISEMENT
Masih hangat di benak masyarakat Indonesia kasus penusukan siswa yang dilakukan oleh teman sekolahnya di Banjarmasin. Belum selesai kasus tersebut muncul kasus penganiayaan yang dialami oleh guru di Renjang Lebong. Ironisnya, kedua kejadian tersebut terjadi di lingkungan sekolah. Tempat yang harusnya menjadi tempat paling aman untuk siswa maupun guru untuk belajar dan mengajar.
Kedua kasus yang disinyalir berawal dari tindakan perundungan. Memang masih dugaan awal, namun cukup untuk menjadi perhatian bersama.
Setidaknya, kedua kasus tersebut memberi gambaran bahwa pendidikan di Indonesia masih rawan dengan tindakan perundungan. Utamanya yang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan.
Sekaligus memberi gambaran lain bahwa korbannya pun bisa siapa saja, baik siswa, guru, bahkan mungkin warga sekolah yang lain. Pelakunya pun bukan hanya antar sesama siswa.
ADVERTISEMENT
Pihak lain juga dapat terlibat sebagai pelaku perundungan, yaitu guru, kepala sekolah, dan orang tua siswa. Seperti kasus penganiayaan terhadap guru di Renjang Lebong yang ternyata dilakukan oleh orang tua siswa.
Kondisi yang tentu saja mengkhawatirkan karena ternyata tingkat perundungan di Indonesia cukup tinggi. Pernyataan ini didukung oleh data yang dirilis oleh Programme for International Students Assessment (PISA) yang menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat kelima dari 78 negara dengan tingkat perundungan yang mencapai angka 41,1 %. Artinya, sebanyak 41,1 % siswa di Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan. Tentu saja ini bukan prestasi yang membanggakan bagi dunia pendidikan Indonesia.
Sebuah pekerjaan rumah yang tentu saja tak mudah untuk ditemukan penyelesaian maupun solusinya. Apalagi di tengah dinamisnya kondisi sosial saat ini. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi kasus perundungan, dan tidak menutup kemungkinan setiap faktor punya jalan penyelesaian yang berbeda.
ADVERTISEMENT

Pendidikan Karakter sebagai Alternatif Pencegahan

Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: Kemendikbudristek
Ada sebuah pepatah, lebih baik mencegah daripada mengobati. Sama halnya dengan kasus perundungan, akan lebih bijak jika fokus utamanya bukan hanya mencari solusi pasca kejadian. Namun juga memberikan alternatif pencegahan demi meminimalkan kasus perundungan yang terjadi.
Pendidikan karakter yang sejak beberapa tahun ini dikampanyekan agaknya belum menuai hasil yang maksimal. Padahal, esensi dari pendidikan karakter ini baik yaitu membangun karakter manusia menjadi pribadi yang baik dan berbudi luhur.
Jika melihat esensi pendidika karakter, maka sudah jelas bahwa tujuannya adalah menciptakan manusia yang dapat menghagai dirinya sendiri maupun orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Tinggal bagaimana memaksimalkan pendidikan karakter di setiap lembaga pendikan yang ada di Indonesia. Baik pendidikan formal maupun nonformal. Perlu peran berbagai pihak untuk mewujudkannya. Kerja sama antara berbagai lini juga diperlukan agar ada pengawasan bersama untuk saling mengingatkan.
ADVERTISEMENT
Praktiknyapun dapat dimulai dari hal-hal yang paling kecil. Salah satunya adalah pembiasaan dan edukasi terhadap siswa, guru, maupun orang tua.
Pembiasaan terhadap etika dan tata krama dapat diambil sebagai contoh. Bagaimana siswa, guru, dan orang tua harus membiasakan diri untuk saling menghormati terhadap hak dan kewajiban masing-masing.
Selain itu, siswa juga perlu dipahamkan bahwasannya setiap manusia punya kekurangan dan kelebihan yang harus disikapi dengan toleransi dan rasa hormat terhadap sesama.
Sering kali ditemui bahwa perbedaan yang dimiliki siswa dijadikan sebagai alasan untuk dijadikan objek candaan. Hal yang kemudian berujung pada tindak perundungan terhadap siswa.
Terlebih siswa terkadang tidak menyadari bahwa perkataan yang mereka anggap sebagai candaan adalah gerbang awal terjadinya perundungan.
ADVERTISEMENT
Ini semua bisa dicegah jika sejak awal siswa disosialisasikan dan dipahamkan mengenai etika-etika dasar manusia yang terangkum dalam pendidikan karakter. Semua ini akan dapat terlaksana jika semua pihak ikut berpartisipasi dalam mengedepankan pembelajaran yang menitikberatkan pada pendidikan karakter.
Lalu, perlu digarisbawahi bahwa tugas dalam menanamkan pendidikan karakter bukan hanya tugas guru saja. Namun orang tua dan masyarakat umum juga memegang peranan penting dalam upaya ini. Jika di sekolah peran tersebut diambil oleh guru dan warga sekolah, maka saat siswa berada di luar sekolah seyogyanya peran ini juga diambil orang tua dan masyarakat umum.
Tujuannya tak lain adalah demi memaksimalkan pendidikan karakter pada siswa. Selain itu, tentu saja sebagai upaya mencegah terjadinya perundungan-perundungan lain yang mungkin saja terjadi di masa mendatang.
ADVERTISEMENT