Konten dari Pengguna

HRD Mau Kandidat yang Good Attitude, HRD-nya Good Attitude, nggak?

Raras
UIN Jakarta. Penulis
4 Oktober 2024 17:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raras tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar 1: Wanita Sedang Bekerja di Kantor | Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Gambar 1: Wanita Sedang Bekerja di Kantor | Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah hampir setahun saya menjadi jobseeker setelah kelulusan saya. Sempat bekerja serabutan supaya tetap punya penghasilan pasif. Pada akhirnya, saya mencoba mencari pekerjaan tetap. Berbagai perusahaan telah saya datangi dan saya jalani tesnya. Saya pun tetap bermodal untuk mengikuti tes tersebut, baik mengikuti bimbel khusus, mencari jaringan internet yang bagus, ongkos untuk datang ke lokasi, tidak jarang terpaksa berlangganan aplikasi tertentu agar hasil tes saya cukup memuaskan. Lantas apakah hasilnya memuaskan? Jawabannya, mungkin belum. Pengalaman saya dalam menjalani pre-test juga tidak jarang bahwa hasil karya saya 'dicolong' perusahaan terkait tanpa izin dan persetujuan saya. Sudah tidak diberi kepastian lolos tidaknya, hasil kerja saya dengan brainstroming panjang dicolong pula. Apakah hal tersebut termasuk HRD atau user yang good attitude?
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, pada proses seleksi wawancara, sering sekali saya diminta menunggu HRD datang hingga berjam-jam. Alasannya agak sedikit membuat kesal seperti terjebak macet, masih mengurus anak, mengantar sekolah anak, meeting, makan siang, bahkan ada seringkali beralasan masih di rumah dan sedang bersiap-siap. Mereka meminta kandidat untuk datang lebih awal, tetapi mereka sendiri datang jauh lebih terlambat dari kandidat. Kandidat mungkin memang benar-benar menganggur dan punya banyak waktu, tetapi tidak salah jika kita sama-sama saling menghargai waktu. Bisa saja kandidat tersebut ada wawancara di tempat lain atau kepentingan lainnya. Jika tidak ada toleransi atas keterlambatan kandidat, apakah berhak bagi kandidat juga tidak menoleransi keterlambatan HRD? Apakah ketepatan waktu bukan termasuk bagian dari attitude?
ADVERTISEMENT
Kasus yang sering sekali terjadi lainnya adalah tidak memberi kepastian lolos atau tidak selama dua pekan lebih. Perilaku HRD yang suka ghosting ini menurut saya adalah etika yang kurang sopan. Mereka tidak memberi tahu apakah kandidat lolos atau tidak. Parahnya lagi, perusahaan tetap open hiring untuk posisi yang sama. Tidak memberi kepastian, tetapi juga tidak memberikan review atas proses rekrutmen yang telah mereka jalani. Sebenarnya kandidat menghargai segala keputusan, baik itu lolos maupun tidak asalkan memberi tahu. Bukan tanpa tujuan, setidaknya kandidat juga bisa mengevaluasi apa yang kurang sehingga dapat improve untuk kedepannya. Sebenarnya, kandidat juga tidak merasa keberatan jika notice dari awal bahwa proses rekrutmen hanya berjalan dua pekan, jika lebih dari itu maka pasti tidak lolos. Sayangnya, lebih banyak yang tidak notice akan hal itu. Tiba-tiba mereka hilang. Jika HRD perlu kepastian dari kandidat yang lolos mengenai kontrak, apakah kandidat tidak berhak mendapat kepastian lolos atau tidaknya juga?
ADVERTISEMENT
Menghina dan meremehkan pengalaman juga sering saya temukan. Bukan tentang kandidat yang sensitif dan lemah, tetapi kandidat mendapat skill dan pengalaman juga hasil kerja mereka. Tidak mudah bagi kandidat mendapat pengalaman dan skill yang cukup. Namun, terkadang yang didapat mereka justru penghinaan dan kalimat merendahkan dari HRD. Dinilai pengalaman kurang, kemampuan kurang, keahlian kurang, bahkan saya sendiri pun pernah dicap "Cacat" karena memutuskan resign pasca kecelakaan yang menimpa saya. Sedih dan patah hati ketika mereka membahas keadaan fisik saya yang seharusnya membahas kemampuan saya. Cukup hanya dengan menghargai kemampuan kandidat, tidak perlu sampai menilai karena sepertinya HRD tidak tahu perjalanan mereka untuk mendapatkan kemampuannya. Jika kandidat tidak memiliki pengalaman dan kemampuan, tidak mungkin mereka akan dipanggil sampai tahap interview. Mungkin melamar saja mereka berpikir berkali-kali. HRD yang didominasi lulusan Psikologi melakukan tindakan bullying, bagaimana bisa?
ADVERTISEMENT
Kandidat dan HRD sama-sama saling membutuhkan. Sebaiknya dari awal keduanya juga bersikap 'saling'. Saling menghargai, saling beretika baik, saling membutuhkan. Bukan hanya kandidat saja yang dituntut untuk baik dalam segala hal, tapi HRD harus juga. Harapan saya, tidak bertambah lagi HRD yang beretika kurang sopan yang dapat mencoreng citra HRD sebagai orang yang profesional di dunia kerja. Kandidat juga terus mengevaluasi diri, apakah HRD juga begitu?