Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Skandal di Ponpes, Masihkah Layak disebut Lembaga Pendidikan basis Agama?
7 Oktober 2024 17:58 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Raras tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai negara dengan penganut agama islam terbanyak di dunia, pastilah menghasilkan banyak pendakwah dan pemuka agama yang mengawali pendidikannya dari sekolah Islam. Tidak jarang pula mereka melakukan perjalanan panjang dan tidak mudah demi menjadi seorang pendidik dan pemuka agama yang kompeten dalam berdakwah. Banyak pula orang tua yang menyekolahkan buah hati mereka di sekolah agama yang bagus dan mumpuni dengan harapan dapat menjadi generasi yang berakhlak baik. Tidak salah jika para orang tua menyekolahkan anak mereka di sekolah agama demi harapan yang baik. Lagi pula, ponpes juga merupakan peninggalan sejarah Islam di Idonesia. Berarti, tidak perlu diragukan lagi tentang rekam jejak ponpes sejak dahulu. Ponpes juga menjadi saksi jejak dakwah para wali khususnya di pulau Jawa. Namun, apakah ponpes masih layak untuk menciptakan generasi cerdas yang berakhlakul karimah?
Awal Oktober tahun ini, berbagai fenomena 'aneh' di pondok pesantren banyak bermunculan. Bukan tentang hal mistis, tetapi lebih kepada tingkah para orang tua di pesantren. Para orang tua yang bertugas sebagai guru dan pembina seharusnya mendidik mereka dengan penuh kasih sayang, kedisiplinan, dan kefasihan beragama. Namun sebaliknya, para pendidik justru memberi didikan 'menyeramkan' kepada para santri. Tidak sedikit bagi mereka yang menjadi korban atas keganasan ponpes. Mereka yang menjadi korban justru berdiam saja tanpa pembelaan dengan dalih 'kedisiplinan pesantren'. Misalkan, berita yang baru terjadi, seorang santri yang meninggal karena dilempar dengan tongkat berpaku. Ada lagi seorang santri yang disiram dengan air cabai karena telah melanggar peraturan pesantren. Pesantren memang memiliki peraturan terntu yang tidak boleh sama sekali dilanggar, tetapi apakah kekerasan fisik adalah hal yang manusiwi dan solusi kedisiplinan untuk sekelas pendidikan agama?
ADVERTISEMENT
Tidak sampai disitu, pesantren juga menjadi 'neraka' bagi para perempuan. Tidak sedikit diantara mereka yang menjadi korban nafsu birahi para pembina pesantren yang laki-laki. Para santriwati tidak jarang diiming-imingi akan dinikahi, akan mendapat karomah, bahkan dipaksa dan diperkosa . Harapan para santriwati adalah menjadi wanita yang mulia dengan tidak mudahnya mereka disentuh laki-laki yang bukan mahromnya sebelum akad. Sebaliknya, di pesantren justru mereka seperti objek seksual bagi para ustadz yang mengandalkan nafsu semata. Mereka tetap berhak menjadi wanita mulia yang terlindungi dari para laki-laki hidung belang bertopeng agamis.
Jika pelecehan seksual terjadi, bukan berarti penyimpangan seksual tidak terjadi. Lagi-lagi, ini tidak dilakukan oleh sesama santri saja, tapi juga oleh para ustaz dan ustazah di ponpes. Ini memang terkait dengan psikologis para pelaku dan korban, tetapi tidak seharusnya mereka melakukan hubungan kotor tersebut baik di dalam mapun luar ponpes. Jika hubungan beda jenis saja haram, bukan berarti sesama jenis menjadi halal. Justru dari hubungan seperti inilah yang semakin memperbanyak penderita IMS (Infeksi Menular Seksual). Hal yang seharusnya memalukan bagi lembaga pendidikan basis agama.
ADVERTISEMENT
Mirisnya, dari berbagai skandal yang terjadi di ponpes, para korban dan pihak lembaga lebih banyak diam dan menutup mulut . Sekalipun mereka berdalih, mereka menyatakan narasi yang pembelaan atau ketidaktahuan kasusnya. Kasus-kasus yang terjadi di pondok pesantren cenderung hanya ditutup-tutupi oleh pihak lembaga maupun para korban dengan alasan menjaga nama baik pesantren. Beberapa kasus diselesaikan dengan cara kekeluargaan padahal satu nyawa telah hilang. Saya meyakini bahwa masih banyak kasus di ponpes yang tidak terlihat publik hanya karena oknum ponpes dan para korbannya memilih diam dan damai. Sebenarnya, bukan tentang pembiaran, tetapi hal seperti ini akan menjadi ketakutan di masyarkat dari berbagai aspek dan juga akan mencoreng citra baik pesantren yang memang baik.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dan masyarakat haruslah sadar dengan skandal meresahkan yang terjadi di lingkungan ponpes. Apakah ponpes masih layak disebut lembaga pendidikan basis agama?