Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Dinamika Perkebunan Kelapa dan Strategi Resiliensi Petani Indragiri Hilir, Riau
15 Desember 2024 12:52 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Ratu Nabillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pantai timur Sumatra, yang menjadi bagian integral dari kawasan Selat Malaka, memiliki sejarah panjang sebagai jalur perdagangan strategis yang menghubungkan Asia Tenggara dengan dunia internasional. Pada masa kejayaannya, sekitar abad ke-14 hingga abad ke-19, wilayah ini menjadi pusat perdagangan yang ramai, terutama saat Kerajaan Sriwijaya menguasai jalur utama distribusi rempah-rempah dan hasil bumi lainnya [1]. Peluang ekonomi yang besar ini menarik perhatian para pelaut Bugis dari Sulawesi Selatan, yang mulai merantau ke wilayah ini pada abad ke-20, di tengah konflik internal yang mereka alami. Selain itu, karakteristik lahan pasang surut yang khas di pantai timur Sumatra juga menarik minat masyarakat suku Banjar, yang mayoritas berasal dari Kalimantan Barat, untuk mengembangkan lahan pertanian pasang surut di kawasan ini [2-5]. Aktivitas ini didukung oleh dominasi kesatuan sosial yang dikenal sebagai ‘Nagara Melaka,’ yang berperan penting sebagai benteng pertahanan melawan invasi kolonial Portugis, Inggris, dan Belanda [1].
ADVERTISEMENT
Kelapa (Cocos nucifera L.) memiliki kaitan erat dengan dinamika sejarah perdagangan di kawasan pantai timur Sumatra. Sebagai tanaman yang adaptif terhadap lingkungan pesisir, kelapa mudah dikembangkan di wilayah pasang surut, Kelapa melalui kopra pernah menjadi komoditas ekspor utama Indonesia pada sekitar tahun 1930-an hingga 1940-an. Wilayah timur Indonesia, seperti Sulawesi dan Kepulauan Maluku, menjadi sentra utama produksinya untuk memenuhi permintaan industri Eropa dalam pembuatan margarin dan sabun [6-7].
Ketika suku Bugis dan Banjar mulai bermigrasi ke wilayah pantai timur Sumatra, kelapa menjadi salah satu tanaman yang potensial untuk dikembangkan. Kecamatan Kuala Tungkal, yang kini berada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi, menjadi salah satu titik awal penyebaran perkebunan kelapa. Namun, secara akumulasi, Kabupaten Indragiri Hilir di Provinsi Riau, yang berbatasan langsung dengan Tanjung Jabung Barat di bagian selatan, menjadi wilayah penghasil kelapa terbesar. Dengan rata-rata produksi mencapai 298.598.599 kg per tahun [8], sektor perkebunan kelapa di Indragiri Hilir mampu menghidupi sekitar 65.416 petani kelapa [9]. Kontribusi signifikan ini membuat Kabupaten Indragiri Hilir dikenal sebagai “Negeri Seribu Parit, Hamparan Kelapa Dunia” (Gambar 1).
Indonesia saat ini menjadi negara penghasil dan pengekspor kelapa dan produk turunannya yang terbesar kedua di dunia, seperti air kelapa, kopra, bugkil kopra, santan, kelapa parut kering, nata de coco, minyak kelapa, arang tempurung kelapa, krim kelapa, hingga inovasi baru seperti karbon aktif. Lima provinsi yang menjadi sentra produksi kelapa terbesar di Indonesia yaitu 1) Provinsi Riau (11,39%), 2) Sulawesi Utara (9,14%), 3) Jawa Timur (8,15%), 4) Maluku Utara (7,22%) dan 5) Sulawesi Tengah (6,07%) dari produksi nasional [10]. Pengusahaan kelapa di indonesia sekitar 98,95% dikelola oleh masyarakat. Dengan kondisi ini, kelapa menyandang sebutan sebagai “tanaman rakyat,” yang menghidupi sekitar 5,6 juta rumah tangga petani [10]. Namun, peluang ini disertai dengan banyak tantangan. Secara nasional, seluruh wilayah penghasil utama kelapa di Indonesia menghadapi rendahnya produktivitas karena praktik budidaya yang masih dilakukan secara tradisional, sulitnya mendapatkan bibit unggul, minimnya peran pemerintah, rantai pasok yang dipengaruhi oleh biaya logistik yang besar, dan peralihan penggunaan lahan ke kelapa sawit [11]. Hasilnya saat ini Filipina unggul dalam produksi dibandingkan Indonesia. Berdasarkan data perbandingan produksi pada tahun 2023, Filipina mencatatkan produksi sebesar 3,18 juta ton, sementara Indonesia hanya menghasilkan 2,87 juta ton [10].
ADVERTISEMENT
Masalah tersebut tanpa terkecuali terjadi pada wilayah penghasil kelapa terbesar di Indonesia. Kabupaten Indragiri Hilir berkontribusi sekitar 77,31% dari total produksi kelapa dalam dan 98,34% dari total produksi kelapa hibrida di Indonesia. Meskipun demikian, tren penurunan terjadi dari tahun 2012 ke 2020 (Gambar 2).
Beberapa faktor utama yang menyebabkan penurunan produksi ini yaitu penuaan tanaman, sulitnya mendeteksi bibit bibit unggul, minimnya upaya peremajaan, tidak adanya kelompok tani yang membuat inefisiensi intervensi, rendahnya penerapan teknologi pertanian modern, dan masih jarangnya lembaga formal atau informal lainnya yang membantu petani.
Selain permasalahan dalam aspek produksi, terdapat pula berbagai permasalahan lain dalam aspek distribusi kelapa. Misalnya, tingginya biaya distribusi yang dipengaruhi oleh keterbatasan infrastruktur (mahalnya biaya transportasi menuju pasar), dengan pompong sebagai moda transportasi utama (Gambar 3), dan terikatnya petani kelapa pada tengkulak yang telah mengakar menjadi sosial-budaya. Masalah lainnya yang tidak kalah penting yaitu kerusakan lahan akibat praktik pembakaran gambut oleh masyarakat yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Kondisi ini sejalan dengan kurangnya manajemen air yang efektif pada sistem pertanian lahan pasang surut, yang seharusnya berfungsi mendukung keberlanjutan dan produktivitas lahan, sehingga menghasilkan perkebunan kelapa rusak karena selalu kekeringan atau kebanjiran (Gambar 4).
ADVERTISEMENT
Berbagai permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya menghasilkan produktivitas kelapa yang menurun drastis. Petani mengeluhkan bahwa satu tandan kelapa kini hanya menghasilkan sekitar 7 buah, jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah ideal yang bisa mencapai 15 buah. Dinamika perkebunan kelapa di lahan gambut Kabupaten Indragiri Hilir semakin penuh tantangan ketika mayoritas jenis kelapa yang dibudidayakan yaitu kelapa lokal, yang dikenal dengan jenis Sri Gemilang. Kelapa lokal memiliki siklus panen yang relatif panjang, yaitu hanya berbuah setiap 2,5 hingga 3 bulan sekali, dan baru mulai berproduksi setelah pohon berusia 7 tahun sejak penanaman. Kondisi ini membuat petani tidak memiliki pendapatan bulanan jika hanya mengandalkan hasil panen kelapa.
Untuk mengatasi kekosongan pendapatan karena durasi panen kelapa, petani kelapa sebagian besar mencari berbagai sumber pendapatan lain. Sumber pendapatan ini biasanya menjadi buruh di kebun rekan atau tuan tanah lainnya untuk melakukan beberapa pekerjaan seperti menebas rumput, memanen, mengeluarkan kelapa dari kebun ke tempat pengumpulan awal, dan mengupas kelapa.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak semua petani menjadi buruh di kebun rekan atau tuan tanah lainnya. Banyak pula petani yang fokus pada pengembangan lahannya sendiri dengan melakukan tumpang sari. Tumpang sari memungkinkan untuk dilakukan karena umumnya kelapa ditanam dengan jarak 5 x 4 meter. Pemilihan jenis tanaman tumpang sari biasanya mengikuti mekanisme pasar; di mana komoditas yang laku dengan harga tinggi lah yang akan dibudidayakan, selain mengikuti faktor alam berupa kesesuaian perkebunan di lahan gambut dan lahan pasang surut. Pinang, pisang, ubi, nanas, semangka, dan sayuran seperti timun dan terong adalah beberapa tanaman tumpang sari yang umumnya dibudidayakan (Gambar 5). Dalam satu kebun kelapa, petani kelapa dapat menanam berbagai macam tanaman tumpang sari. Tidak hanya untuk dijual, sebagian dari tanaman ini juga seringkali bertujuan untuk diversifikasi pangan rumah tangga.
Hasil tumpang sari tanaman menunjukkan potensi yang signifikan dalam meningkatkan pendapatan petani, terutama di tengah fluktuasi harga kelapa. Seorang petani di Desa Tembilahan Kecil, Kecamatan Tembilahan, misalnya, mempraktikkan sistem ini dengan menanam 1.000 pohon pisang di antara 240 batang kelapa. Dalam satu kali panen, yang dilakukan setiap dua minggu, ia mampu menghasilkan 2 hingga 4 pikul pisang, atau sekitar 200 hingga 400 kg. Pisang tersebut dijual dengan harga bervariasi tergantung jenisnya, antara Rp500,00 hingga Rp1.500,00 per kg, memberikan tambahan pendapatan yang lebih stabil.
ADVERTISEMENT
Pisang menjadi pilihan favorit petani di Kabupaten Indragiri Hilir bukan hanya karena kemudahan budidayanya, tetapi juga karena pasar yang relatif mudah dijangkau. Di wilayah seperti Pasar Pelabuhan Tembilahan, Pasar Kuala Enok, dan Pasar Enok, pisang memiliki rantai pasok yang pendek, dengan pengepul yang aktif mendatangi desa-desa menggunakan akses jalan, sungai, atau laut (dengan pompong). Selain itu, pasar pisang fleksibel, mampu menampung hasil panen petani dalam jumlah kecil sekalipun. Modal sosial yang kuat dalam ekosistem perkebunan kelapa di kabupaten ini juga menjadi faktor pendukung. Contohnya, seorang pengepul di Pasar Pelabuhan Tembilahan selalu menerima pisang dari petani, meskipun kapasitasnya sudah melebihi batas (Gambar 6). Hal ini dilakukan demi menjaga hubungan kepercayaan yang telah terjalin lama. Dengan kata lain, rasa saling memiliki antara seluruh entitas yang ada di dalam ekosistem perkebunan kelapa Kabupaten Indragiri Hilir melebihi dari para petani kelapa itu sendiri.
Meskipun kelapa hanya dapat dipanen sekitar empat kali dalam setahun dan di tengah ketidakpastian harga, para petani kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir umumnya tidak tertarik untuk menjual kebun mereka. Kebun kelapa dipandang sebagai aset berharga karena hasil panennya selalu terserap oleh industri besar yang beroperasi di wilayah ini. Selain itu, kebun kelapa memiliki nilai sentimental yang tinggi sebagai warisan dan kenang-kenangan dari generasi sebelumnya. Tidak hanya kebun, infrastruktur tata air seperti tanggul, kanal, dan pintu klep—yang menopang keberlangsungan berbagai komoditas di lahan pasang surut—juga dianggap sebagai warisan yang akan terus dijaga (Gambar 7). Sayangnya, tantangan besar muncul dari rendahnya minat generasi muda untuk melanjutkan tradisi ini, sehingga keberlanjutan sistem pertanian kelapa menjadi perhatian penting di masa depan. Padahal, sejumlah hasil penelitian, misalnya yang ditulis oleh KEHATI (2024) [12], menyebut bahwa generasi muda merupakan kelompok inovatif untuk pengembangan pangan lokal di tengah adaptasi perubahan iklim.
Keseluruhan dinamika perkebunan kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir mencerminkan tantangan dan peluang besar dalam mengelola sektor pertanian di lahan gambut dan lahan pasang surut. Kelapa, sebagai komoditas utama, tidak hanya memiliki nilai ekonomi tetapi juga nilai historis dan budaya yang mendalam bagi masyarakat setempat. Di tengah berbagai kendala, seperti penurunan produktivitas, praktik budidaya yang belum optimal, dan minimnya dukungan infrastruktur, inovasi seperti tumpang sari dan penguatan modal sosial telah menunjukkan potensi besar dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Namun, keberlanjutan sektor ini memerlukan perhatian khusus. Kolaborasi lintas sektor diperlukan untuk penguatan ekosistem. Dengan langkah-langkah strategis ini, Kabupaten Indragiri Hilir dapat mempertahankan perannya sebagai penghasil kelapa terkemuka sekaligus menjaga tradisi agraris yang telah menjadi bagian dari identitasnya.
ADVERTISEMENT
Daftar Rujukan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT