Konten dari Pengguna

Tanggung Jawab Owner Skincare Yang Memperdagangkan Produk Skincare Non BPOM

Raudhoh
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
9 Oktober 2024 10:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raudhoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Produk Skincare (Sumber gambar: Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Produk Skincare (Sumber gambar: Pexels)
ADVERTISEMENT
Dewasa ini penggunaan kosmetik seperti skincare banyak digunakan oleh masyarakat, baik itu remaja, orang tua, perempuan maupun laki-laki. Skincare yang dijual di pasaran tentu harus teruji dan terverifikasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disebut dengan BPOM. Verifikasi BPOM terhadap skincare bukan tidak ada gunanya dan bukan hanya membuang-buang uang Owner pemilik usaha. Verifikasi BPOM terhadap suatu produk sangat berguna, karena dari pengujian tersebut terlihat apakah bahan baku yang terkandung di dalam skincare tersebut layak dipakai oleh manusia, dan apakah bahan baku tersebut malah berbahaya bagi kesehatan manusia, oleh karena itu setiap Owner skincare harus menguji produknya terlebih dahulu kepada BPOM sebelum mulai diperdagangkan. Namun akhir-akhir ini banyak sekali Owner skincare yang menyatakan bahwa produk miliknya sudah lolos uji BPOM, namun ketika orang lain menguji produk tersebut ke BPOM ternyata produk tersebut mengandung bahan-bahan berbahaya dan tidak sesuai dengan klaim dari Owner skincare tersebut. Lalu bagaimana dampaknya terhadap masyarakat selaku konsumen?
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, masyarakat selaku konsumen terdampak sangat besar, mulai dari uang yang dikeluarkan untuk membeli skincare tersebut yang ternyata skincare yang dibelinya adalah skincare palsu atau “abal-abal”, kemudian penggunaan skincare “abal-abal” yang dibelinya malah dapat mengganggu kesehatannya seperti kanker kulit maupun penyakit lainnya, oleh karena itu masyarakat dalam hal ini juga harus berhati-hati dalam memilih produk skincare dan harus teliti melihat apakah produk tersebut sudah terverifikasi BPOM atau belum, karena apabila masyarakat tidak hati-hati dalam memilih skincare maka perbuatannya bukan merawat kulit malah merusak kulit. Namun disinilah peran pemerintah diperlukan, pemerintah telah mengeluarkan regulasi mengenai perlindungan hukum kepada masyarakat terkait produk-produk yang dijual di pasaran, baik yang sudah lolos uji BPOM maupun produk-produk yang tidak memiliki sertifikat BPOM. Berdasarkan Pasal 106 ayat (1) UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa “Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar”. Skincare dalam hal ini juga merupakan produk farmasi, oleh karena itu skincare yang diperdagangkan tanpa uji lab BPOM maka hal tersebut bertentangan dengan Pasal ini.
ADVERTISEMENT
Sebelum masuk ke pembahasan selanjutnya, ada baiknya kita memahami apakah yang dimaksud dengan perlindungan konsumen, bagaimana hak-hak dan kewajiban konsumen, dan apa saja yang merupakan kewajiban dari Owner skincare selaku pelaku usaha.
Definisi dari Perlindungan Konsumen seperti yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Pada Pasal 4 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 juga menyebutkan beberapa hak yang dimiliki oleh konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya dan hak-hak lainnya.
ADVERTISEMENT
Konsumen tidak hanya memiliki hak, namun juga memiliki kewajiban sebelum membeli suatu produk, adapun kewajiban dari konsumen berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 adalah konsumen wajib untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan, dan adapun kewajiban dari pelaku usaha dalam hal ini Owner skincare terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 8 tahun 1999, yaitu memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu dalam hal ini, apabila Owner skincare menjual produk miliknya dengan mengatakan dan mengklaim bahwa produk miliknya sudah lulus uji BPOM, namun ternyata pada kenyataannya produk tersebut tidak pernah atau tidak lulus uji BPOM, maka hal ini tentu berakibat hukum kepada Owner skincare tersebut, karena memberikan keterangan palsu atas produknya, dan apabila setelah penggunaan skincare abal-abal tersebut konsumen mengalami kerugian seperti gangguan kesehatan, maka Owner skincare dalam hal ini harus memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada konsumen yang terdampak, seperti isi dari Pasal 19 ayat (1) UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan bahwa “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Selain Undang-Undang ini, KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) juga menyatakan pada Pasal 1365 BW “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut”.
ADVERTISEMENT
Selain pertanggungjawaban perdata, Owner skincare juga dapat dijerat pidana, sesuai dengan isi Pasal 197 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)”
Referensi:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan