Konten dari Pengguna

Dokter sebagai Cita-Cita Idaman, Membuat Terkesan atau Tertekan?

Ravando Immanuel
Mahasiswa Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Angkatan 2024
5 Januari 2025 13:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ravando Immanuel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Orang tua perlu mentransformasi persepsinya. Kesuksesan tidak selalu ditentukan oleh jenis profesi, seperti dokter.

Ilustrasi dokter berjabat tangan dengan pasien (Sumber: Shutterstock.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter berjabat tangan dengan pasien (Sumber: Shutterstock.com)
ADVERTISEMENT
Jurusan kedokteran masih menjadi cita-cita idaman banyak orang hingga saat ini. Memasuki tahun baru 2025, siswa-siswi kelas 12 mulai mempersiapkan persyaratan seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB). Banyak siswa dan orang tua mulai sibuk mencari perguruan tinggi ternama atau favorit untuk program studi kedokteran. Mereka menggali informasi dari brosur, pamflet, atau media sosial.
ADVERTISEMENT
Sampai hari ini, dokter masih dianggap sebagai orang yang pintar, kaya, dan terpandang. Dengan mengenakan jas putih, dokter dikenal sebagai pahlawan kesehatan dengan hati bersih dan ikhlas.
Sejak tahun 2024, peluang menjadi dokter semakin besar karena banyak universitas negeri maupun swasta membuka program studi atau jurusan kedokteran. Lulusan dokter nantinya diharapkan dapat mengatasi ketimpangan distribusi dokter di Indonesia, terutama di wilayah Indonesia bagian timur (Ratri, 2024).
Profil Profesi Dokter
Dokter mengemban tugas mulia dalam meningkatkan sistem kesehatan di Indonesia. Dokter menjadi garda terdepan untuk mewujudkan transformasi kesehatan menuju Indonesia Emas 2045. Dokter memiliki sederet kompetensi, mulai dari menganamnesis keluhan pasien, mendiagnosis penyakit, memberikan pengobatan dan edukasi untuk proses penyembuhan atau pemulihan (KKI, 2024).
ADVERTISEMENT
Dokter selalu memegang prinsip etika kedokteran. Dokter memberikan pelayanan terbaik demi kesehatan dan kesejahteraan pasien. Dokter tidak mendiskriminasi pasien yang berbeda usia, suku, agama, atau status sosial ekonomi. Dokter menghormati hak pasien dalam membuat keputusan mengenai perawatan atau pengobatan. Dokter menghindari tindakan yang merugikan atau membahayakan pasien (Dandel et al., 2021).
Kriteria Dokter Idaman
Menjadi dokter tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan. Dokter harus menempuh pendidikan lebih lama dibandingkan profesi lainnya, yaitu sekitar 6-7 tahun. Dokter juga membutuhkan biaya pendidikan lebih besar dibandingkan program studi lainnya, dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah (Manurung et al., 2024).
Dokter yang menjadi idaman tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan emosional. Terminologi “DOKTER” bisa diasumsikan sebagai sebuah singkatan dari kata “Dedikasi, Optimis, Komunikatif, Tekun, Empati, dan Rasional”.
ADVERTISEMENT
Dokter harus memiliki “dedikasi” untuk melayani masyarakat. Dokter tidak hanya sekadar memeriksa pasien demi keuntungan finansial, tetapi bekerja dengan ketulusan hati. Dokter memegang teguh sumpahnya dan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan.
Dokter harus bersikap “optimis” dengan meyakini adanya harapan baik untuk kesembuhan atau pemulihan pasien.
Dokter yang “komunikatif” pasti berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pasien dan keluarganya. Dokter menasihati, bukan mendominasi atau menggurui pasien.
Dokter akan “tekun” belajar karena bidang teknologi dan kesehatan akan terus berkembang. Dokter tidak hanya mempelajari materi medis, seperti anatomi (bentuk dan susunan tubuh), farmakologi (obat-obatan), patologi (ilmu penyakit), tetapi juga disiplin ilmu lain yang dapat memperkaya pengetahuan dan keahliannya.
Dokter harus memiliki “empati” dengan memahami keadaan pasien. Saat mengedukasi atau memberikan konseling, dokter menjadi pendengar yang baik bagi pasien.
ADVERTISEMENT
Dokter harus berpikir “rasional” dalam mendiagnosis penyakit atau memberi pengobatan pada pasien. Dalam mengambil keputusan, dokter harus mempertimbangkan hak pasien, sekaligus risiko kecacatan atau kematian pasien.
Terkesan atau Tertekan
Seseorang yang memiliki cita-cita dokter bisa merasa terkesan, tetapi juga bisa merasa tertekan. Banyak orang tua tampaknya mendukung masa depan anak, tetapi seringkali melupakan hak anak dalam memilih cita-cita.
Dukungan orang tua jangan sampai berubah menjadi ekspektasi orang tua. Tanpa disadari, orang tua ingin terkesan di depan keluarga atau rekan kerja, tetapi anaknya merasa tertekan.
Anak yang merasa terpaksa menjadi dokter, akan kehilangan jati dirinya. Anak tersebut harus mengorbankan cita-cita pilihannya demi menyenangkan hati orang tua. Tak jarang, anak tersebut akan mengalami stres atau depresi.
ADVERTISEMENT
Anak akan berbohong untuk menutupi perasaannya. Anak bisa melampiaskan kekesalan hatinya pada dirinya sendiri atau orang di sekitarnya. Seringkali orang tua baru menyesal setelah anaknya menjadi viral di media sosial karena melakukan tindak kekerasan verbal atau fisik.
Harapan untuk Orang Tua
Orang tua perlu mentransformasi persepsinya. Kesuksesan tidak selalu ditentukan oleh jenis profesi, seperti dokter. Alih-alih mendukung masa depan anak, orang tua bisa menjerumuskan anak ke dalam kehancuran. Orang tua memang merupakan wakil Tuhan, tetapi orang tua tidak memiliki hak untuk menentukan masa depan anak.
Standar sosial yang berlaku di masyarakat tidaklah sepenuhnya benar. Sejatinya, kesuksesan dapat diraih melalui profesi apapun, asalkan ada panggilan hati, tekad dan komitmen, serta ridho Tuhan. Kesuksesan juga bisa berarti hidup yang membawa manfaat bagi orang lain.
ADVERTISEMENT
Hidup terkesan, tetapi perasaan tertekan, akan berujung pada penyesalan. Alangkah baiknya orang tua dan anak berdiskusi untuk mencari jalan keluar bersama. Dengan demikian, cita-cita dokter akan tergapai dari hati yang tidak tertekan oleh kesan.
Biodata:
Penulis: Ravando Immanuel, mahasiswa Prodi Kedokteran Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga Surabaya
HP: 082146180133
Referensi:
Dandel, E. F. et al. (2021). “Aspek Hukum Pelanggaran Kode Etik Mengenai Rahasia Kedokteran”. Lex Crimen, 10(12), pp.77-84. https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/ 38541/35159
Konsil Kedokteran Indonesia. (2024). “Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 193/KKI/KEP/VIII/2024”. Peraturan.infoasn.id [Internet]. Diakses pada tanggal 4 Januari 2025 pukul 11.00 WIB dari https://peraturan.infoasn.id/keputusan-konsil-kedokteran-indonesia-nomor-193-kki-kep-viii-2024/
Manurung, M. N. et al. (2024). “Pengaruh Tanggung Jawab Keperdataan Dokter Muda dalam Pelayanan Kesehatan terhadap Pasien di Rumah Sakit”. NUSRA: Jurnal Penelitian dan Ilmu Pendidikan, 5(4), pp.1733-1744. https://ejournal.nusantaraglobal. or.id/index.php/nusra/article/download/ 3442/3446/19442
ADVERTISEMENT
Ratri, D. A. (2024). “Referensi 10 Universitas dengan Prodi Kedokteran Baru di Tahun 2024, Ada yang Berbasis Pesantren”. Ayojakarta.com [Internet]. Diakses pada tanggal 3 Januari 2025 pukul 13.00 WIB dari https://www.ayojakarta.com/news /7611379519/referensi-10-universitas-dengan-prodi-kedokteran-baru-di-tahun-2024-ada-yang-berbasis-pesantren?