Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
“Hantu Digital”: Pornografi yang Menggerogoti Moral Generasi Z
31 Desember 2024 20:21 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ravando Immanuel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peran orang tua sangat penting dalam membangun keteguhan moral agar generasi Z dapat menangkal “hantu digital”.
ADVERTISEMENT
Generasi Z (gen Z) merupakan generasi pertama yang lahir pada era digital. Mereka sudah terbiasa menggunakan gawai dan internet sehingga disebut juga sebagai “generasi internet”.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data terakhir dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), generasi Z lahir pada tahun 1997-2012, usianya antara 12-27 tahun. Di Indonesia, generasi Z merupakan pengguna internet terbanyak dengan kontribusi sebesar 34,4% atau 76,2 juta jiwa dari total pengguna internet yang berjumlah 221,5 juta jiwa (APJII, 2024).
Sejak masa pandemi Covid-19, generasi Z mampu beradaptasi dengan sistem kehidupan digital. Pertemuan tatap muka berubah menjadi pertemuan virtual, permainan tradisional menjadi game online, film bioskop menjadi film streaming, tren di televisi menjadi tren di media sosial.
“Hantu Digital”
Generasi Z memiliki potensi untuk membuat beragam konten dengan ide yang inovatif dan kreatif. Alih-alih mengembangkan potensi diri dalam era digital, banyak dari generasi Z menjadi korban “hantu digital”.
ADVERTISEMENT
Terminologi “hantu digital” merupakan kiasan dari pornografi. Pornografi dapat dianalogikan dengan hantu karena awalnya menggoda atau memikat korban secara tersembunyi, tetapi lama-kelamaan menggerogoti hingga membunuh moralitas korban.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 44 tahun 2008, pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual.
Saat ini pornografi sudah menyusup ke dalam game online, tayangan komik, dan kartun animasi. Pornografi seringkali dianggap sebagai hiburan yang cepat dan mudah didapat untuk mengisi waktu luang atau melepas penat setelah beraktivitas.
Daya Pikat “Hantu Digital”
Daya pikat “hantu digital” atau godaan pornografi tidak dapat terelakkan, terutama pada masa pubertas. Menurut World Health Organization (WHO), masa pubertas merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa, biasanya terjadi pada usia 10-19 tahun (Keenan, 2024).
ADVERTISEMENT
Pada masa pubertas, generasi Z biasanya memiliki rasa ingin tahu yang besar, suka mencoba hal baru, menginginkan pengakuan atau validasi, menyukai hal praktis dan instan.
Organ-organ seksual dan hormonal juga mengalami perubahan sehingga muncul dorongan seksual. Godaan pornografi dapat memicu rangsangan seksual. Rangsangan bisa semakin intens jika dipicu oleh kurangnya pengetahuan tentang pendidikan seks, kurangnya perhatian orang tua, atau terpengaruh teman yang tidak baik (Nurhayati et al., 2024).
Berawal dari ketidaksengajaan atau coba-coba, penampakan “hantu digital” atau konten pornografi akan memicu rasa ingin tahu, kemudian berlanjut pada upaya pencarian lebih jauh.
Saat menonton pornografi, otak akan melepaskan hormon dopamin sehingga timbul perasaan senang atau puas. Jika ketertarikan menonton terus berlanjut, sensitivitas terhadap dopamin akan menurun. Kebutuhan pornografi akan terus meningkat sehingga berujung pada kecanduan. Jika pornografi terus merasuki pikiran, keinginan untuk meniru atau melampiaskan dapat terjadi dalam kehidupan nyata (Putri dan Hernowo, 2024).
ADVERTISEMENT
Data terakhir dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menunjukkan bahwa 66,6 persen anak laki-laki dan 62,3 persen anak perempuan di Indonesia menyaksikan pornografi secara daring. Bahkan, 34,5 persen anak laki-laki dan 25 persen anak perempuan mempraktikkan langsung kegiatan seksual (Chaterine dan Meiliana, 2021).
Degradasi Moral
Dampak “hantu digital” atau pornografi tidak main-main dan tidak dapat hilang begitu saja. Masa depan korban menjadi taruhannya karena korban dapat mengalami degradasi atau penurunan moral.
Pornografi dapat menyebabakan korban sulit berkonsentrasi, sulit berpikir kritis, kurang mampu membedakan baik dan buruk. Perilaku korban juga bisa menunjukkan perubahan, seperti malas belajar, suka menunda pekerjaan, dan suka menyendiri. Emosi korban juga bisa mengalami gangguan, seperti mudah bosan dan mudah tersinggung (Putri dan Hernowo, 2024).
ADVERTISEMENT
Ahli bedah otak asal Amerika Serikat, Dr. Donald Hilton Jr., menyatakan bahwa dampak dari kecanduan pornografi lebih buruk daripada kecanduan narkoba. Kecanduan pornografi bisa merusak 5 bagian otak, sedangkan kecanduan narkoba hanya 3 bagian (Lase, 2024).
Seringkali orang tua baru menyadari anaknya kerasukan “hantu digital” saat anaknya ketahuan melakukan masturbasi atau nekat melakukan tindak kriminal, seperti pencabulan atau pemerkosaan.
Jika hal ini tidak ditangani dengan serius, visi Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi angan-angan. Sumber daya manusia yang berkualitas hanya menjadi isapan jempol saja.
Keteguhan Moral
Kunci utama dalam menangkal “hantu digital” atau pornografi adalah keteguhan moral. Orang tua menjadi fondasi terkuat dalam membangun keteguhan moral anak.
Selama anak belum menikah, anak menjadi tanggung jawab orang tua. Orang tua harus peka terhadap perubahan perilaku anak. Sesibuk-sibuknya orang tua bekerja, terutama ibu, seharusnya menyempatkan waktu untuk berinteraksi dan memantau kegiatan anak.
ADVERTISEMENT
Jika orang tua sering bepergian, jangan dengan mudahnya memperbolehkan anak bermain gawai. Anak sebaiknya didampingi anggota keluarga lain yang dapat dipercaya. Waktu penggunaan gawai juga perlu dibatasi atau diberi jadwal. Anak juga harus melakukan tanggung jawabnya terlebih dahulu sebelum menggunakan gawai, seperti belajar atau mengerjakan tugas.
Pendidikan seks harus sedini mungkin diajarkan pada anak. Anak harus dibekali pengetahuan agar tidak mencari tahu sendiri dengan cara yang salah atau terpengaruh teman yang tidak baik.
Orang tua juga harus memberi edukasi tentang konten yang baik atau buruk, pantas atau tidak pantas. Konten pornografi tidak boleh ditonton, sekalipun anak sudah berusia dewasa karena dapat menyebabkan ketidakpuasan dalam pernikahan.
Jika anak sudah terjerat “hantu digital” dalam jangka waktu lama atau orang tua mengalami kesulitan menangani anak, orang tua bisa meminta bantuan psikolog atau pemuka agama.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, peran orang tua sangat penting dalam membangun keteguhan moral agar generasi Z dapat menangkal “hantu digital” atau pornografi.
Biodata:
Penulis: Ravando Immanuel, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya
Email: [email protected]
HP: 082146180133
Referensi:
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). (2024). “APJII Jumlah Pengguna Internet Indonesia Tembus 221 Juta Orang”. Apjii.or.id [Internet]. Diakses pada tanggal 30 Desember 2024 pukul 15.00 WIB dari https://apjii.or.id/berita/d/apjii-jumlah-pengguna-internet-indonesia-tembus-221-juta-orang
Chaterine, R. N., dan Meiliana, D. (2021). “Kementerian PPPA: 34,5 Persen Anak Laki-Laki Sudah Lakukan Kegiatan Seksual, 66 Persen Tonton Pornografi”. Kompas.com [Internet]. Diakses pada tanggal 30 Desember 2024 pukul 18.00 WIB dari https://nasional.kompas.com/read/2021/12/01/12101371/kementerian-pppa-345-persen-anak-laki-laki-sudah-lakukan-kegiatan-seksual-66
Departemen Agama. (2008). “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi”. Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur [Internet]. Diakses pada tanggal 30 Desember 2024 pukul 16.00 WIB dari https://jatim.kemenag.go.id/file/file/Undangundang/rfni1398054224.pdf
ADVERTISEMENT
Keenan, L. (2024). “Securing Adolescent Health and Well-Being Today is Vital for the Health of Future Generations - WHO”. World Health Organization [Internet]. Diakses pada tanggal 30 Desember 2024 pukul 19.00 WIB dari https://www.who.int/news/item/23-09-2024-securing-adolescent-health-and-well- being-today-is-vital-for-the-health-of-future-generations-who
Lase, F. (2024). Edukasi Layanan Bimbingan dan Konseling Kelasikal untuk Mengentaskan Bahaya Narkolema di Era Revolusi Industri 4.0 Society 5.0 Abad 21. CONSEILS: Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, 4(2), 41-57. https://www.ejournal.insud.ac.id/ index.php/bki/article/download/1108/773/4222
Nurhayati et al. (2024). Dampak Media Pornografi dan Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Persepsi Seksual Remaja. Jurnal Kesehatan Tambusai, 5(1), 842-846. https://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/jkt/article/download/24141/18558/86657
Putri, R. A., dan Hernowo, A. A. (2024). Pengaruh Konten Pornografi terhadap Kesehatan Otak dan Mental dalam Perspektif Islam. IHSANIKA: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2(4), 90-98. https://jurnal.stikes-ibnusina.ac.id/index.php/IHSANIKA/article/download/1887/2249/8688
ADVERTISEMENT