Konten dari Pengguna

Dekonstruksi Volunteering: Bagaimana Jika Aksi Sosial Justru Berdampak Buruk?

Ravi Choirul Anwar
Seorang ASN di Kemenko Perekonomian
12 September 2024 15:26 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ravi Choirul Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kegiatan kerelawanan atau volunteering seringkali dianggap sebagai sebuah kegiatan yang selalu bernilai positif. Tak sedikit masyarakat Indonesia, terutama mahasiswa, yang menaruh minat pada kegiatan ini. Alasan mereka tentunya beragam, mulai dari manifestasi semangat altruisme, keinginan mendapatkan pengalaman, memperluas relasi, menambah portofolio CV, hingga sebagai bentuk leisure activity. Beragam bentuk kegiatan yang sering dijumpai di antaranya yaitu kerelawanan di bidang pendidikan, kunjungan ke panti asuhan, bantuan terhadap korban bencana alam, hingga charity ke berbagai penjuru daerah.
ADVERTISEMENT
Tingginya minat terhadap kerelawanan sendiri tentunya merupakan hal yang positif. Namun, sayangnya belum banyak pembahasan maupun diskursus di Indonesia mengenai risiko atau dampak negatif yang bisa timbul dari kerelawanan itu sendiri. Misalnya, pernahkah terpikirkan bahwa aksi dan niat baik kita justru memiliki konsekuensi yang negatif?
Foto oleh RDNE Stock project: https://www.pexels.com/id-id/foto/cinta-kasih-rasa-sayang-afrika-6646870/
Dalam tulisan ini, saya mencoba merangkum pengalaman, pemikiran, dan hasil riset saya mengenai beberapa situasi di mana aksi sosial justru doing more harm than good. Tentunya tulisan ini dibuat bukan untuk memadamkan api semangat kegiatan kerelawan, melainkan sebagai pengingat bersama agar aksi sosial yang kita lakukan lebih bertanggung jawab. Sebagaimana yang saya yakini, kita harus mulai beralih dari random act of kindness menuju responsible act of kindness.
ADVERTISEMENT
Kerelawanan dalam Perspektif Etika Normatif
Terdapat banyak literasi yang menggambarkan beberapa situasi di mana kegiatan kerelawanan justru lebih banyak memiliki konsekuensi negatif. Salah satunya adalah sebuah paper dari Emmy Morse (2015) yang menyatakan bahwa “These situations (which volunteers may actually do more harm than good) include, but are not limited to, volunteers establishing and then quickly breaking relationships (short term service), not understanding the communities they are working with, and imposing their vision of what is right and wrong on the community instead of working with them to better understand their needs.
Sebelum mengelaborasi lebih lanjut berbagai situasi tersebut, saya ingin mengkaji sedikit aksi sosial—yang seringkali dianggap selalu memiliki nilai moral yang baik—secara etika normatif dari dua teori moralitas, yaitu consequentialism dan deontology.
ADVERTISEMENT
Consequenstialism adalah standar etika yang menitikberatkan nilai moral ditentukan dari konsekuensi sebuah tindakan. Apabila sebuah tindakan memiliki konsekuensi yang buruk, tindakan tersebut bernilai moral negatif menurut standar etika ini.
Salah satu contoh situasi di mana aksi sosial dapat berdampak negatif adalah short term service, di mana kita dengan cepat membentuk kemudian meninggalkan relasi yang telah kita bangun. Hal ini misalnya berisiko sangat tinggi dalam aksi sosial yang melibatkan anak-anak, seperti charity ke panti asuhan.
Dalam salah satu kebijakan perlindungan anak milik Australian Volunteers (2020), disebutkan bahwa “Children, especially orphaned and displaced children, may form emotional bonds with the visitors which could lead to psychological harm when the visitors leave.” Bayangkan seberapa tinggi tingkat risiko anak panti asuhan yang seringkali harus berkegiatan dengan banyak orang dewasa secara silih berganti. Kegiatan seperti ini justru bisa memberikan konsekuensi negatif yang tidak kita sadari.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif consequentialism, bagi saya, tidak begitu masalah apapun alasan yang mendorong kita untuk melakukan aksi sosial—dari keinginan meningkatkan social experience hingga sekadar mengisi portofolio CV—selama tindakan tersebut memiliki konsekuensi yang baik.
Sementara itu, dari perspektif deontology—standar etika Kantian—nilai moral sebuah tindakan tidak ditentukan oleh konsekuensinya, melainkan oleh sifat intrinsik dari tindakan itu sendiri. Sederhananya, contoh mudah untuk memahami teori ini adalah kegiatan mencuri—apapun konsekuensinya—tetap tidak dapat dibenarkan secara moral, seperti kisah Robin Hood yang mencuri untuk dibagikan kepada kelompok orang yang membutuhkan.
Dalam teori ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan kaitannya dengan volunteering. Salah satunya yaitu principle of humanity, yang mana jangan sampai kita memperlakukan orang lain semata-mata sebagai objek. Saya akan memberi contoh dari pengalaman pribadi. Saya pernah melakukan kunjungan ke panti asuhan bersama anggota kelas saat masih mahasiswa. Tujuannya yaitu untuk melakukan doa bersama sebelum ujian. Bergetar tubuh saya ketika melakukan refleksi dan mempertanyakan lebih dalam motif kami melakukan kegiatan itu. Jangan-jangan kami hanya memperlakukan mereka sebagai objek. Kami bisa saja memberi ilusi bahwa kami peduli terhadap mereka, padahal kami hanya peduli dengan doa-doa mereka.
ADVERTISEMENT
Sampai di sini kita bisa melihat bahwa moralitas volunteering sendiri bisa jatuh menjadi bernilai negatif dari beberapa perspektif etika normatif. Saya tidak memungkiri bahwa hal itu acapkali terjadi tanpa kesengajaan. Itulah sebabnya penting untuk mengkaji lebih lanjut situasi-situasi di mana aksi sosial malah memiliki konsekuensi negatif agar kita bisa lebih bertanggung jawab dalam melakukan aksi baik.
Beberapa Situasi Aksi Sosial yang Justru Dapat Berdampak Negatif
1. Paternalisme
Foto oleh Riya Kumari: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-yang-memegang-koin-874684/
Dalam bukunya yang berjudul When Helping Hurts (2009), Steve Corbett berulang kali menegaskan untuk menghindari paternalisme, “Do not do things for people that they can do for themselves.” Implikasi dari menghindari paternalisme di antaranya adalah kita perlu lebih bijak untuk menentukan bantuan seperti apa yang dibutuhkan. Memisahkan hal apa yang perlu dibantu dan apa yang tidak. Ketika kita membantu sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dibantu, apalagi jika bantuan dilakukan secara terus menerus, dapat menimbulkan dependency.
ADVERTISEMENT
Pun untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan, kita juga perlu bijak untuk tahu kapan berhenti memberikan bantuan dan berpindah ke aksi yang lain. Steve Corbett sendiri membagi aksi menjadi tiga tahapan: relief, rehabilitation, dan development. Relief di sini dapat diartikan sebagai sebuah bentuk donasi langsung berupa material maupun nonmaterial. Menurut Corbett, relief yang efektif adalah yang bersifat sementara—harus tahu kapan berhenti dan pindah ke tahapan selanjutnya.
Tahapan selanjutnya yaitu rehabilitation. Hal ini dapat diartikan sebagai proses transisi di mana kita mulai melibatkan mereka secara aktif untuk bisa menuju ke kondisi siap memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Yang terakhir adalah development, atau bisa disebut juga sebagai empowerement. Tahap ini menitikberatkan pemberdayaan masyarakat setempat. Peran kita mulai berkurang dan berpindah ke tahap memfasilitasi untuk mereka dapat mengembangkan diri. Kita bukan lagi sebagai aktor utama yang banyak mengambil peran aktif dalam permasalahan mereka.
ADVERTISEMENT
Sederhananya, kita mungkin pernah mendengar petuah “Give a man a fish and you feed him for a day. Teach him how to fish and you feed him for a lifetime." Nah, ada kalanya urgensi yang harus dilakukan adalah memberi ikan. Namun, kita perlu tahu dan merencanakan kapan selesai memberi ikan—agar tidak menyebabkan ketergantungan—dan mulai untuk mengajarkan bagaimana caranya memancing sehingga pada akhirnya mereka bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.
2. Kompetensi Tidak Sesuai
Foto oleh cottonbro studio: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-dengan-kemeja-lengan-panjang-hitam-menulis-di-kertas-putih-5989926/
Dalam beberapa hal, kebaikan itu juga butuh kemampuan, tidak cukup dengan kemauan. Kondisi ini sangat berlaku dalam dunia kerelawanan.
Saya sepakat bahwa setiap orang berhak untuk mendaftar sebagai relawan di sebuah organisasi. Oleh karena itu, organisasi tersebutlah yang seharusnya mempunyai sistem seleksi maupun pelatihan yang tepat. Sebab, tanpa kompetensi yang tepat, dapat terjadi konsekuensi negatif yang tidak disengaja.
ADVERTISEMENT
Dalam bidang anak-anak misalnya, kita perlu ingat bahwa kekerasan bukan hanya sebatas kekerasan fisik, terdapat kekerasan emosional bahkan kekerasan simbolik—meminjam istilah Bourdieu. Apabila relawan belum memiliki kompetensi yang sesuai—misalnya pemahaman psikologi anak dan hak-hak anak—dapat menimbulkan risiko terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti: kekerasan emosional yang tidak disengaja, emotional neglection, boundaries violation, dsb.
Apalagi, misalnya kegiatan melibatkan anak-anak yang rentan. Wanchi Tang—salah seorang yang bergerak di bidang anak-anak, di antaranya pernah berperan di Defence for Children dan UNICEF JPO—dalam sebuah tulisannya (2016) merangkum dengan apik apa yang sedang kita bahas: “You may think: ‘It’s only playtime and cuddling, what’s the harm?’ But if you think about it, vulnerable children need specialised care by people who have the right knowledge and expertise, in order to overcome their trauma. They do not need disruptions by ‘random people’ in this process.
ADVERTISEMENT
Di sinilah peran organisasi menjadi vital, terutama dalam menyiapkan relawan dan membuat sistem yang baik. Dalam konteks pemahaman psikologi anak tadi misalnya, bukan berarti calon relawan memiliki latar belakang pendidikan psikologi atau expertise di bidang ini. Asalkan mereka mau belajar, itu dapat mengantarkan mereka untuk mencapai kompetensi yang sesuai.
Organisasilah yang punya kewajiban terbesar untuk memastikan kesiapan relawan, misalnya melalui sosialitasi atau pelatihan. Selain itu, organisasi juga punya kewajiban untuk memiliki sistem yang baik. Contohnya, organisasi yang bergerak di bidang anak-anak perlu memiliki kebijakan perlindungan anak yang terdokumentasi.
Selain itu, dalam konteks situasi ini, saya cukup meyayangkan keberadaan berbagai kegiatan volunteer tourism atau voluntourism di mana banyak penyelenggara bisa meloloskan kandidat yang mendaftar secara self funded tanpa seleksi. Pelatihan memang membantu, tetapi seleksi di awal adalah kunci penting untuk meminimalisir risiko aksi sosial memiliki dampak negatif.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif pendaftar, paling tidak kita perlu menanyakan tiga hal terlebih dahulu ketika ingin mendaftar sebagai relawan di sebuah tempat: apakah kita orang yang tepat, apakah organisasi ini memiliki seleksi dan kebijakan yang baik, dan apakah kita bisa komitmen dalam jangka waktu yang lebih lama.
3. Minimnya Kolaborasi dan Kegagalan untuk Mendengar
Foto oleh Andrea Piacquadio: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-berkemeja-polo-merah-duduk-dekat-papan-tulis-3779448/
Hal ini berlaku dalam dua bentuk relasi, yaitu dengan sekelompok orang yang akan terlibat dalam kegiatan kita dan juga dengan komunitas/organisasi lain.
Dalam konteks yang pertama, seringkali aksi kita tidak dimulai dengan memahami kelompok masyarakat tempat aksi sosial kita akan berlangsung. Kajian dalam bentuk etnografi dan sosiologi seringkali masih minim. Akibatnya, seringkali kita secara tidak sengaja mengimplementasikan kegiatan yang menurut kita baik, tetapi bukan dari sudut pandang mereka. Padahal bisa jadi apa yang mereka yakini berbeda dengan apa yang kita yakini. Pembacaan kontekstual sangatlah diperlukan dalam melaksanakan kegiatan sosial di sebuah daerah. Kita harus mendengar dan memahami dari sudut pandang mereka juga.
ADVERTISEMENT
Selain itu, seringkali organisasi sosial jarang berkolaborasi degan organisasi lain. Bahkan, terkadang cukup terasa ego dari masing-masing organisasi untuk mengibarkan benderanya. Padahal, kolaborasi akan jadi faktor penting efektifitas aksi sosial dan meminimalisir risiko dampak negatif.
Contoh, terdapat banyak organisasi yang bukan expertise dalam bidang penanganan bencana yang banyak turun ke daerah korban bencana, seperti melakukan penyaluran logistik atau membuat acara charity dengan anak-anak untuk membantu menangani pascatrauma. Dalam charity untuk anak-anak misalnya, minimnya kompetensi dan pengetahuan mengenai perlindungan anak seringkali membuat kita melihat banyak posting-an di sosial media yang mengekspos privasi anak-anak degan atau tanpa disengaja.
Sebagian organisasi mungkin memiliki nama besar untuk mengumpulkan donasi dengan nominal yang cukup besar. Akan tetapi, mengeksekusi donasi tersebut sendiri padahal kompetensi organisasi kurang memadai atau bukan bidangnya dapat meningkatkan risiko dampak negatif. Hal ini bisa diatasi apabila banyak organisasi mau berkolaborasi dan meninggalkan ego masing-masing. Misalnya, organisasi tertentu yang dapat mengumpulkan dana besar—tetapi belum memiliki kompetensi yang memadai—dapat menyalurkan dananya ke komunitas lain yang memang bidangnya sebagai eksekutor.
ADVERTISEMENT
***
Demikian beberapa situasi yang di mana volunteering justru dapat berdampak negatif. Semoga tulisan ini bisa menjadi insight baru dalam memahami aksi sosial secara lebih komprehensif. Penulis juga terbuka untuk segala bentuk diskusi.
Semoga dunia relawan akan semakin berdampak baik dan dapat meminimalisir berbagai dampak buruk. Saya memiliki keyakinan, apabila dilakukan dengan baik dan benar, dampak yang kita berikan dapat lebih panjang dari pada periode kita melakukan aksi sosial.