Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Eksploitasi Buruh: Ketika Profit Lebih Riba Daripada Bunga
26 Oktober 2024 16:53 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ravi Choirul Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tempo waktu lalu, terjadi unjuk rasa dari pengemudi ojek online yang melontarkan berbagai tuntutan. Salah satunya yaitu persoalan tarif di mana potongan yang dibebankan kepada mitra driver mencapai 20% hingga 30%—angka yang tinggi. Para driver dengan segenap jerih payahnya seakan hanya menjadi alat atau faktor produksi semata bagi aplikator untuk mendapatkan profit sebanyak-banyaknya, tetapi tidak diimbangi dengan kesejahterahan para driver.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut adalah potongan kecil yang menandakan masih adanya bentuk eksploitasi terhadap pekerja. Tidak hanya ojek online, beberapa relasi antara pemberi kerja dengan pekerja di bidang lainnya pun masih sering dijumpai bentuk eksploitasi—baik yang disadari maupun tidak disadari. Lalu, bagaimana Islam memandang eksploitasi seperti ini?
Islam mengajarkan bahwa relasi antara pemberi kerja dengan pekerja adalah relasi kemitraan—simbiosis mutualisme. Islam menekankan pentingnya untuk memperlakukan pekerja secara fair, termasuk dalam pemberian upah. Dalam sebuah hadits, dijelaskan bahwa “Ada tiga orang, yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: … orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, namun dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR. Bukhari dan Ibn Majah).
Pemberian upah yang sesuai sendiri merupakan diskursus panjang karena harus mempertimbangkan banyak variabel sebagai determinan upah. Islam sendiri mengajarkan paling tidak upah yang diberikan harus proporsional dan dapat mencukupi kebutuhan dasar pekerja. Sampai sini saja, kita bisa melihat bahwa masih banyak pekerja yang harus mencari pekerjaan sampingan atau serabutan demi memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
ADVERTISEMENT
Untuk menganalisis lebih jauh eksploitasi ini, agaknya perlu untuk melihat secara makro maupun mikro bagaimana sistem ekonomi kapitalis—yang negara kita anut saat ini—bekerja. Ekonomi kapitalis membebaskan adanya kepemilikan modal bagi individu sehingga terciptalah kelas sosial, yaitu kaum pemilik modal (borjuis) dan buruh (proletar). Pemilik modal kemudian berupaya untuk mengoptimalkan modal dan alat produksi yang dimiliki untuk keuntungan yang sebesar-besarnya. Sementara kaum proletar, hanya memiliki tenaga yang kemudian dijual kepada borjuis dalam bentuk tenaga kerja—yang kemudian menjadi salah satu alat produksi bagi borjuis.
Dikarenakan proletar tidak memiliki alat produksi, mereka harus bergantung kepada borjuis untuk mendapatkan uang. Ketimpangan kelas ini lah yang pada akhirnya sering mengakibatkan adanya eksploitasi buruh, salah satunya karena buruh tidak memiliki cukup pengetahuan dan bargaining power yang kuat agar hak-hak dan kesejahteraannya terpenuhi. Apalagi di tengah banyaknya jumlah pengangguran terbuka, menuntut hak-hak secara vokal dapat berisiko bagi mereka kehilangan pekerjaan karena perusahaan dapat dengan mudah menemukan penggantinya.
ADVERTISEMENT
Salah satu bentuk eksploitasi dapat dilihat dengan adanya surplus value—istilah yang dipelopori oleh Karl Marx—yang diberikan oleh buruh dalam proses produksi. Contoh sederhanya seperti: seorang buruh bekerja dengan upah sebesar seratus ribu per hari, upah tersebut harusnya setimpal untuk empat jam kerja yang diberikan oleh sang buruh, tetapi karena buruh harus bekerja selama delapan jam, empat jam sisanya inilah yang merupakan surplus value—di mana buruh memberikan kontribusi terhadap hasil produksi tetapi tidak dibayar atas tenaga yang seharusnya.
Dalam konteks driver ojek online tadi, surplus value dapat terjadi ketika driver mendapatkan potongan yang besar dari aplikasi. Contoh lainnya bisa kita lihat terjadi pada guru honorer, di mana perhitungan jam untuk upah mereka dalam sebulan adalah hitungan jam dalam satu minggu. Dalam kata lain, mereka hanya menerima upah yang seharusnya untuk satu minggu, tetapi harus bekerja selama satu bulan.
ADVERTISEMENT
Upah layak buruh inilah yang sering menjadi korban di tengah terjadinya persaingan harga di antara perusahaan yang membuat perusahaan harus memikirkan cara mereduksi biaya produksi. Apalagi, profit adalah tujuan mutlak dan seringkali merupakan segala-galanya bagi perusahaan. Mekanisme seperti inilah yang pada akhirnya mengarah pada praktik eksploitasi buruh.
Bahkan, oleh para pemikir muslim modernis, adanya surplus value dan praktik eksploitasi ini dapat ditafsirkan sebagai praktik ribawi. Para pemikir seperti Abdul Mun’im, Abdullah Yusuf Ali, hingga Asghar Ali Engineer, menafsirkan riba lebih kepada aspek moralitasnya daripada legal formalnya. Mereka secara umum berpendapat bahwa illat dasar dari pelarangan riba adalah Ad’afan Mudha ‘Afah (berlipat ganda) dan La Tadhlimun Wala Tudhlmun (tidak dianiaya dan teraniaya). Bahkan Asghar dalam Islam and Libertion menyatakan bahwa “dalam ekonomi industrial, profit lebih eksploitatif daripada bunga.”
ADVERTISEMENT
Kita bisa lihat bahwa surplus value dalam proses produksi dapat ditafsirkan sebagai riba dalam hukum islam, di mana profit produksi dilipatgandakan melalui eksploitasi tenaga kerja dan kemudian profit tersebut sebagian besar hanya dinikmati oleh para pemilik modal. Atas dasar illat inilah para revivalis menganggap riba yang sebenarnya bukanlah bunga bank, melainkan mekanisme profit yang tidak adil dalam industri.
Eksploitasi ini juga akan berujung pada ketimpangan yang semakin besar, di nama porsi profit terakumulasi di kelompok borjuis. Adanya relasi kuasa, timpangnya bargaining power, privilese yang tidak merata, dsb, akan berujung pada pemupukan kekayaan pada segelintir orang saja. Sebuah publikasi dari World Bank (2015) sendiri menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia mayoritas hanya dinikmati oleh 20% kalangan atas saja. Padahal, pemupukan kekayaan seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam Al-Hasgyr ayat 7, “…agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Islam sendiri merupakan agama yang berpihak dan melindungi golongan lemah. Oleh karena itu, upah harus dikaji dan diberikan secara layak. Upah bukan sebatas imbalan kepada buruh, melainkan mengandung unsur moralitas dan kemanusiaan. Pemberi kerja seharusnya dalam menetapkan upah tidak melakukan kedzaliman terhadap buruh maupun didzalimi oleh buruh (Al Baqarah [2]: 279). Pemberi kerja seharusnya memberikan hak yang selayaknya kepada para pekerja, apabila tidak, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai bentuk memakan harta orang lain secara bathil, yang mana dilarang dalam Al Baqarah ayat 188, “dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebaian yang lain dengan jalan yang bathil…”.
ADVERTISEMENT
Islam tidak melarang praktik jual beli maupun pengambilan keuntungan. Islam juga tidak melarang sistem ekonomi kapitalis secara keseluruhan. Namun, praktik dari sistem ekonomi harus dilakukan secara fair dan tidak mengingkari prinsip-prinsip keislaman. Apalagi, negara kita sendiri secara prinsip telah sesuai dengan semangat perjuangan yang ada dalam ekonomi islam, yaitu meraih keadilan sosial.