Konten dari Pengguna

Kondisi Utang Indonesia: Utang Untuk Bayar Utang

Ravi Choirul Anwar
Seorang ASN di Kemenko Perekonomian
3 Oktober 2024 5:46 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ravi Choirul Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Membahas mengenai utang negara selalu menjadi pembicaraan yang menarik, tetapi di satu sisi dibutuhkan pembacaan yang lebih kritis sehingga tidak mudah terbawa arus dalam narasi-narasi pemerintah yang tentu saja akan selalu mencoba menampilkan sisi positifnya. Kita juga perlu tahu dampak utang yang tidak terkendali terhadap kehidupan masyarakat. Apalagi, baru-baru ini DPR telah mengesahkan UU APBN tahun 2025 yang mana rencana anggaran pemerintah untuk membayar bunga utang negara mencapai rekor tertinggi hingga Rp 552,8 triliun—lebih besar dari pada anggaran untuk pos pendidikan (Rp 270,7 triliun) dan kesehatan (Rp130,9 triliun).
ADVERTISEMENT
Mengapa Negara Berutang? Bisakah Negara Hidup Tanpa Utang?
Dalam menjalankan sebuah pemerintahan, negara tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Mulai dari pembangunan, pemberian bantuan sosial, pendidikan gratis, subsidi, dsb. Sementara pendapatan negara—yang mana mayoritas berasal dari pajak—belum tentu cukup untuk meng-cover berbagai kebijakan pemerintah tersebut. Belum lagi bagi negara berkembang seperti Indonesia yang mana aktivitas ekonomi masih dalam tahap berkembang dan belum cukup untuk menopang finansial negara—dengan meningkatnya pajak atau menarik banyak investor sebagai alternatif pendanaan. Oleh karena itu, utang menjadi salah satu opsi untuk membiayai berbagai program maupun kebijakan pemerintah.
Utang sendiri secara konvensional dipandang sebagai transfer resources dari masa depan ke masa sekarang sehingga manfaat ekonomi bisa segera dirasakan tanpa menunggu waktu lebih lama. Contoh sederhananya seperti ini, ketika negara berutang untuk membangun infrastruktur jalan tol, negara berharap manfaat ekonomi dari pembangunan ini segera bisa dirasakan, mulai dari pembayaran tol oleh masyarakat hingga peningkatan industri dan performa logistik—dengan lebih mudahnya distribusi barang. Belum lagi adanya multiplier effect, yang sederhananya adalah dampak yang ikut dirasakan sektor lain dengan meningkatnya sektor tertentu. Misalnya, naiknya profit perusahaan yang didapat akibat pembangunan infrastruktur, akan berdampak positif pula ke sektor lain, bahkan dapat berpengaruh terhadap gaji pegawai. Peningkatan distribusi bahan pangan juga misalnya, tentunya akan meningkatkan keuntungan supplier bahan pangan sehingga meningkatkan aktivitas ekonomi pertanian.
ADVERTISEMENT
Apabila menunggu untuk bisa membangun dengan dana sendiri, mungkin dibutuhkan jangka waktu tahunan bahkan puluhan tahun untuk bisa membiayai pembangunan tersebut, sehingga aktivitas perekonomian kehilangan kesempatan untuk mendapat berbagai manfaat seperti yang telah disebutkan—atau dalam ekonomi disebut sebagai opportunity cost. Penggunaan utang untuk aktivitas yang produktif seperti ini diharapkan akan dapat menghasilkan manfaat ekonomi yang nilainya mampu melampaui beban yang timbul dari utang itu sendiri, sehingga negara tidak terbebani oleh utang atau bahkan justru merasakan keuntungan dari utang tersebut.
Dengan berbagai pertimbangan di atas, negara—terutama negara berkembang—akan sulit untuk bisa berjalan tanpa utang. Bahkan, negara maju seperti AS dan Jepang justru mempunya rasio hutang yang paling tinggi, hal ini dilakukan untuk terus mendorong perekonomian dan menjaga momentum pertumbuhan. Negara-negara yang tidak memiliki utang luar negeri—seperti terhadap IMF—seperti Makau, Brunei Darussalam, dan Turkmenistan, merupakan negara-negara kaya yang memiliki pendapatan per kapita yang tinggi. Pun negara seperti Brunei Darussalam dan Turkmenistan, tetap memiliki utang nasional dengan rasio yang rendah, bukan tanpa utang sama sekali.
ADVERTISEMENT
Indonesia sendiri, nampaknya sangat utopis untuk bisa berjalan tanpa utang. Bukan hanya aktivitas ekonomi yang terdampak, bahkan negara akan kesulitan untuk menjalankan program-program seperti pendidikan gratis, bantuan sosial, subsidi, impor bahan pokok, dsb. Belum lagi janji-janji kebijakan presiden terpilih yang butuh untuk segera mengimplementasikan programnya dalam kurun waktu periode 5-10 tahun.
Kondisi Utang Indonesia: Butuh Utang Bahkan Untuk Membayar Bunga Utang
Terdapat beberapa indikator untuk mencerminkan apakah utang yang dimiliki sebuah negara berada dalam kondisi yang sehat atau tidak. Salah satunya yaitu debt to GDP ratio, yang sering dipakai pemerintah untuk defense mechanism terhadap berbagai kritik terhadap jumlah utang negara. Pemilihan rasio terhadap GDP atau Produk Domestik Bruto—sederhananya: pertumbuhan ekonomi—dilakukan karena GDP menggambarkan aktivitas ekonomi sebuah negara yang berarti mencerminkan potensi pendapatan negara. Misalnya, semakin besar aktivitas ekonomi sebuah negara, semakin besar pula potensi penerimaan pajak.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, ketika rasio utang terhadap GDP masih dalam batas aman, yaitu di tidak lebih dari 60%—sesuai konsensus internasioal yang kemudian diadopsi dalam UU Nomor 17 tahun 2023, pemerintah dapat membangun narasi bahwa utang negara masih dalam tahap terkendali. Apalagi, rasio utang terhadap GDP Indonesia masih sebesar 38,59%—jauh lebih baik bahkan dibanding dengan negara maju seperti Jepang dan AS yang masing-masing menembus angka 200% dan 100%.
Akan tetapi, angka ini perlu dicermati lebih lanjut, apakah benar mencerminkan kondisi utang kita yang terkendali dan comparable dengan rasio yang dimiliki Jepang dan AS. Perlu diingat bahwa GDP hanya mencerminkan potensi penerimaan, bukan penerimaan sesungguhnya, sehingga rasio ini tidak dapat berimplikasi langsung pada kemampuan Indonesia membayar utang. Salah satu indikator yang perlu kita cermati adalah tax ratio, yaitu rasio penerimaan pajak terhadap GDP, di mana Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada publikasinya Revenue Statistic in Asia and the Pacific 2024 mencatat tax ratio Indonesia pada 2022 hanya sebesar 12,1%, lebih rendah dari rata-rata tax ratio di Asia Pasifik yang sebesar 19,3%. Hal ini salah satunya menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu mengoptimalkan sisi perpajakan, terutama ketaatan pajak korporasi besar. Hal ini didukung pula dengan program pemerintah seperti tax amnesty yang memperkuat indikasi masih rendahnya ketaatan pajak korporasi besar. Artinya, kemampuan membayar utang negara kita masih rendah dan perbandingan rasio debt to GDP terhadap negara maju tidak apple to apple.
ADVERTISEMENT
Dalam mencermati pembayaran utang negara, kita perlu mengenal apa yang disebut sebagai primary balance atau keseimbangan primer, yaitu selisih total pendapatan negara dikurangi dengan belanja negara selain pembayaran utang. Artinya, apabila primary balance mencatatkan minus, negara harus berutang untuk membayar utang yang jatuh tempo. Selama pemerintahan Jokowi sendiri Indonesia hanya satu kali mencatatkan primary balance positif, yaitu pada realisasi APBN tahun 2023 sebesar Rp92,2 triliun, sementara sisanya negatif. Dalam postur RAPBN tahun 2024 sendiri keseimbangan primer tercatat negatif sebesar Rp25,5 triliun dan dalam RPABN tahun 2025 yang baru saja disahkan dalam UU keseimbangan primer juga tercatat negatif sebesar Rp63,3 triliun. Padahal, tahun 2025 nanti, utang bunga—belum termasuk jatuh tempo utang pokok—mencatatkan rekor terbesar dengan Rp552,8 triliun, atau lebih dari 15% sendiri dari belanja negara. Artinya, negara harus berutang dengan angka yang tidak sedikit bahkan hanya untuk membayar bunga utang.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut mengindikasikan bahwa selain penerimaan pajak yang belum optimal, utang Indonesia yang terus bertambah pada masa pemerintahan Jokowi tidak menunjukkan dampak yang signifikan pada aktivitas ekonomi. Utang luar negeri sendiri padahal terus mengalami peningkatan sebagaimana tercermin dalam grafik berikut.
Sumber: Bank Indonesia, diolah.
Pembangunan infrastruktur yang menjadi kebanggaan pemerintah dalam periode pemerintahan ini harusnya sudah menunjukkan outcome-nya di tahun-tahun sekarang. Namun ternyata, untuk membayar utang bunga saja harus melakukan utang. Bahkan, Indeks Kinerja Logistik (Logistic Performance Index/LPI) Indonesia pada tahun 2023 malah mengalami penurunan ke angka 3,0 dari LPI 2018 sebesar 3,15, sehingga turun peringkat ke 61 dari peringkat 46. Indeks ini mengukur aspek-aspek penting logistik seperti infrastruktur transportasi, layanan logistik, peraturan, dan efisiensi proses bisnis.
ADVERTISEMENT
Selain itu, aktivitas ekonomi juga dapat kita lihat dari data neraca perdagangan Indonesia. Utang negara, terutama utang luar negeri, harusnya mampu mendorong aktivitas ekspor sebuah negara. Apalagi, surplus perdagangan dibutuhkan untuk menambah devisa guna membayar berbagai utang dan menjaga stabilitas nilai tukar. Namun, dari series data tahun 2019 hingga kuartal II 2024, pertumbuhan ekspor dan surplus neraca perdagangan malah menunjukkan tren penurunan dari tahun 2021. Peningkatan dari tahun 2019 pun tidak dapat dipungkiri karena momentum pemulihan aktivitas ekonomi yang sempat crash akibat Covid-19.
sumber: BPS, diolah.
Hal ini menunjukkan bahwa utang negara belum mampu dikelola dengan baik untuk bisa meningkatkan sisi produksi dalam jumlah yang signifikan. Memang, Indonesia belum pernah default atau gagal bayar, tapi sayangnya, pembayaran utang bunga saja ternyata harus dilakukan dengan berutang kembali. Belum lagi apabila utang kembali tersebut dilakukan saat suku bunga sedang tinggi seperti saat ini. Artinya, bisa saja Indonesia harus membayar utang bunga dengan jumlah lebih besar ke depan hanya untuk mampu melunasi utang bunga.
ADVERTISEMENT
Implikasi Utang Negara dan Dampaknya Terhadap Masyarakat
Utang—termasuk menambah jumlah utang—tidak akan membawa masalah apabila dikelola dengan baik. Menurut Michael Pettis (2022), “rising debt is not a problem when it causes the supply of goods and services to rise along with the demand it creates.” Apabila digunakan untuk aktivitas produktif, utang tidak akan menimbulkan masalah yang signifikan apabila dikelola dengan baik dan hati-hati. Masalah akan timbul ketika utang tumbuh lebih cepat atau lebih tinggi dari pada kemampuan negara membayar utang. Hal ini terjadi ketika utang mendorong sisi permintaan barang dan jasa tanpa secara langsung maupun tidak langsung mendorong secara ekuivalen sisi produksinya.
Mari kita perjelas dengan contoh sederhana. Anggaplah pemerintah menggunakan utang untuk pembangunan infrastruktur. Namun ternyata, dari pembangunan tersebut, return on investment-nya tidak sesuai yang diharapkan karena pembangunan tidak efisien atau tepat sasaran, sehingga: profit industri tidak meningkat signifikan, lapangan pekerjaan tidak meningkat banyak, atau kinerja ekspor tidak menunjukkan peningkatan. Implikasinya, tingkat penerimaan negara tidak meningkat signifikan sehingga terjadi defisit APBN. Defisit APBN harus ditutup dengan utang lagi.
ADVERTISEMENT
Hal ini berdampak pada menyempitnya ruang fiskal negara, di mana negara tidak punya cukup dana tersedia untuk melalukan berbagai kebijakan, termasuk memberi stimulus terhadap perekonomian. Namun, karena negara tidak bisa memangkas anggaran begitu saja, akibatnya ada langkah-langkah yang harus diambil, seperti pengurangan subsidi—bahkan penghapusan—dan harus mencari alternatif pembiayaan lain untuk bisa melanjutkan kebijakan, belum lagi untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan baru.
Salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah meningkatkan tarif pajak, seperti skema PPN 12% yang diperlukan untuk membiayai berbagai kebijakan, tak terkecuali untuk program makan siang gratis yang porsinya sangat membebani APBN. Dari sini dapat kita lihat, bahwa implikasi pengelolaan utang yang tidak baik akan berdampak pada masyarakat, tak terkecuali masyarakat kelas menengah ke bawah. Apalagi, seringkali kebijakan pemerintah lebih berpihak kepada korporasi. Misalnya, rencana Tapera 3% di mana korporasi hanya menanggung 0,5% sementara pegawai menanggung sisanya. Peningkatan pajak sendiri seringkali lebih menyasar ke pada individu ketimbang korporasi, terlihat dari pajak penghasilan badan yang justru terus diturunkan hingga 20% pada tahun 2023 kemarin sementara PPN terus meningkat.
ADVERTISEMENT
Tidak meningkatnya pertumbuhan ekspor secara signifikan yang menyebabkan surplus perdagangan yang rendah atau bahkan defisit juga secara tidak langsung memengaruhi kita semua. Utang luar negeri harus dibayar dengan valuta asing—seperti dolar AS, yang mana apabila terjadi defisit perdagangan atau surplus yang kecil, mengharuskan negara menggunakan cadangan devisanya. Padahal cadangan devisa penting untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Akibatnya, rupiah lebih volatile terhadap dolar AS, misalnya ketika perekonomian global sedang tidak baik seperti saat ini terjadinya tensi geopolitik timur tengah. Peningkatan dolar AS tentunya memengaruhi masyarakat semua lapisan. Kita mungkin tidak memegang dolar AS, tapi beras, gandum, dan berbagai kebutuhan pokok lainnya harus kita impor—yang tentunya menggunakan mata uang asing. Akibatnya, kenaikan dolar AS akan kita rasakan salah satunya dalam bentuk kenaikan harga-harga barang pokok.
Foto oleh Nataliya Vaitkevich: https://www.pexels.com/id-id/foto/waktu-pemerintah-jam-tenggat-waktu-6863259/
Masyarakat memang tidak langsung menanggung utang pemerintah dengan menjadi pembayar. Namun, kita secara tidak langsung ikut menanggung utang pemerintah, dengan membayar pajak gaji kita, membayar PPN yang terus meningkat ketika belanja di supermarket, hingga membayar pajak yang tinggi hingga 40% ketika ingin menghibur diri berkaraoke di akhir pekan.
ADVERTISEMENT