Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mempertanyakan Eksistensi Sekolah Kedinasan
23 Oktober 2024 14:58 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ravi Choirul Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai alumni PKN STAN, saya ingin mengajak pembaca ikut melakukan refleksi bersama mengenai apakah kampus saya dan sekolah kedinasan lainnya masih relevan untuk tetap ada.
ADVERTISEMENT
Saya ingin membuka dengan beberapa pertanyaan pemantik yang dari beberapa waktu lalu cukup menjadi concern saya. Pernahkah terpikirkan, berapa banyak uang negara dihabiskan untuk membiayai sekolah kedinasan? Apakah eksistensi sekolah kedinasan masih relevan di tengah banyaknya lulusan perguruan tinggi negeri dan swasta?
Proporsi Anggaran Perguruan Tinggi
Diskursus awal mengenai eksistensi sekolah kedinasan dapat dimulai dari pembiayaannya. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sekolah kedinasan bersifat gratis, bahkan terdapat beberapa kampus yang memberikan fasilitas seperti asrama secara cuma-cuma.
Tentunya biaya yang timbul dari operasi sekolah kedinasan dibebankan pada negara melalui APBN, di mana salah satu sumber terbesarnya adalah pajak yang kita bayar. Artinya, kita yang membayar pajak urun rembuk dalam membiayai secara gratis kuliah mahasiswa sekolah kedinasan.
ADVERTISEMENT
Pembiayaan dari pajak kita tentunya tidak masalah apabila dialokasikan secara tepat sasaran. Misalnya, membiayai pendidikan bagi mereka yang kurang mampu. Toh, memang begitu tujuan pajak: redistribusi pendapatan.
Dari sini kita bisa lihat lebih dalam, bahwa berbeda dengan UKT yang tingkatannya menyesuaikan kemampuan finansial dari mahasiswa, pembiayaan oleh negara hingga taraf gratis diberikan kepada seluruh mahasiswa dengan berbagai kelas sosial—tanpa terkecuali.
Seleksi masuk sekolah kedinasan sendiri tak beda jauh dengan PTN di mana meritrokasi menjadi basisnya. Sementara, meritrokasi seperti ini tak jarang cukup menguntungkan pihak dengan resource yang lebih. Contohnya, kita bisa lihat laris manisnya bimbel untuk masuk kedinasan, bahkan dengan harga yang cukup fantastis dalam program tertentu seperti program karantina.
ADVERTISEMENT
Artinya, bisa saja pembiayaan gratis ini diberikan kepada mahasiswa dari kelas sosial menengah ke atas. Padahal, seperti yang kita tahu, UKT di PTN terus naik, masyarakat terus menjerit.
Pencarian saya mengenai seberapa besar anggaran negara untuk sekolah kedinasan membawa saya kepada refleksi yang lebih mendalam. Temuan KPK yang disampaikan oleh Deputi Pencegahan dan Monitoring, Pahala Nainggolan, menunjukkan bahwa anggaran kampus yang dikelola kementerian/lembaga—sebagian berupa sekolah kedinasan—jauh lebih besar dibanding untuk PTN. KPK menemukan bahwa anggaran Kemendikbudristek dalam pos perguruan tinggi, Rp32,8 triliun dialokasikan untuk sekolah kedinasan, sementara hanya Rp7 triliun yang dialokasikan untuk PTN.
Sekolah kedinasan sendiri tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, karena semua serba gratis, mulai dari kuliah, seragam, hingga fasilitas seperti asrama. Sementara alokasi yang lebih kecil untuk PTN itu, harus dibagi untuk seluruh PTN, yang mana menurut Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) berjumlah hingga 127.
ADVERTISEMENT
Is it fair? Kita perlu terus mempertanyakan sebagai peratanggungjawaban negara atas pemakaian uang pajak kita.
Bisakah Kebutuhan Kementerian/Lembaga Tercukupi oleh Lulusan PTN/PTS?
Salah satu benefit sekolah kedinasan adalah adanya jaminan atau kesempatan yang lebih besar untuk menjadi PNS setelah lulus kuliah. Jadi memang sekolah kedinasan di-design untuk memenuhi kebutuhan kementerian/lembaga terkait. Di sinilah kita bisa mempertanyakan, “memangnya, gabisa kebutuhan PNS itu diisi orang-orang dari PTN/PTS saja?”
Bisakah pegawai pajak di Kementerian Keuangan diisi oleh lulusan FEB kampus negeri/swasta? Bisakah pegawai Kemendagri dapat diisi oleh jurusan administrasi, tidak harus dari IPDN?
Sebagai orang yang pernah menempuh pendidikan akuntansi di PKN STAN, saya bisa bilang apa yang dipelajari oleh kami tidak beda jauh dari kurikulum akuntansi di PTN/PTS. Memang, ada pendalaman terhadap matkul tertentu yang mungkin hanya didapatkan di kampus kami, tapi bukankah kurikulum PTN/PTS bisa disesuaikan? Hanya sedikit kok yang beda.
ADVERTISEMENT
Untuk pekerjaan yang saya lakukan di instansi saya saat ini—to be honest—dapat dikerjakan oleh lulusan akuntansi atau ekonomi kampus manapun. Saya yang masuk dalam dua puluh besar peringkat IPK dalam satu angkatan, bahkan merasa inferior dibanding rekan-rekan saya yang berasal dari PTN.
Pada level eselon 1 maupun eselon 2 sendiri pun di instansi saya hampir semuanya diisi oleh mahasiswa lulusan PTN/PTS, bukan sekolah kedinasan.
Jadi, adakah hal yang spesial dari kami? Apa bedanya lulusan kedinasan dengan lulusan PTN/PTS?
Jebakan Hegemoni dan Politik Balas Budi
Benar bahwa mahasiswa atau lulusan sekolah kedinasan mendapat stigma tidak kritis terhadap pemerintah. Saya tidak akan membela, cukup banyak benarnya. Sekalipun bukan berarti semuanya seperti itu. Namun, itu tidak bisa disalahkan secara penuh kepada mahasiswa, kita perlu mengkaji dengan meminjam pisau analisis dari Antonio Gramsci.
ADVERTISEMENT
Gramsci memperkenalkan apa yang disebut hegemoni. Hegemoni sendiri dipahami sebagai cara suat kelompok sosial memeroleh pengaruh melalui persuasi, dengan menggiring kelompok sosial lain untuk bertindak sesuai keinginan mereka yang seolah-olah tanpa paksaan. Beginilah yang dapat dilakukan pemerintah melalui sekolah kedinasan.
Narasi pengetahuan yang dibentuk di lingkungan sekolah kedinasan, banyaknya peraturan ketat, sosialisasi terus menerus mengenai baiknya kebijakan pemerintah yang sedang diimplementasikan, pada akhirnya dapat menjadi hegemoni untuk memangkas ruang kritis secara persuasif.
Hal-hal seperti itu mendominasi ruang intelektual kami, misalnya dalam kelas atau kuliah umum. Kita bisa baca berita ini . Narasi Sri Mulyani tentunya membawa pengaruh sendiri terhadap attitude dan sikap kami dalam bereaksi terhadap berbagai kebijakan negara. Bahkan, Sri Mulyani menegaskan bahwa mahasiswa PKN STAN memiliki utang terhadap negara karena sudah diberi kuliah gratis. Sebuah kultur politik balas budi yang membatasi ruang gerak kami.
ADVERTISEMENT
Saya harus akui juga ruang kelas kami sepi akan diskursus yang kritis terhadap kebijakan. Kami lebih banyak belajar prosedural ketimbang analisis mendalam terhadap kebijakan-kebijakan yang dijalankan. Misalnya, kami lebih banyak belajar bagaimana menghitung pajak ketimbang mempertanyakan keadilan pajak.
Dosen pun terasa seperti memiliki keterbatasan ruang untuk mengajak mahasiswanya berpikir dalam dan kritis. Sungguh benarlah bahwa kritik itu membutuhkan jarak terhadap sesuatu yang dikritisi. Kritik sulit dilakukan di kampus yang memang sudah berada di bawah budaya kementerian/lembaga tertentu.
Belum lagi, adanya asrama dengan jadwal rutin yang cukup ketat akan membatasi ruang gerak mahasiswa, utamanya dalam bersentuhan dengan grass root. Mahasiswa seakan hidup dalam bubble-nya sendiri. Terus menerus mempelajari prosedural cara menjalankan tugas-tugas pemerintah, tetapi tidak cukup mendengar suara akar rumput yang menjerit akibat kebijakan-kebijakan tersebut. Apalagi, di kampus saya dan sekolah kedinasan yang lain, tidak ada yang namanya KKN. Kita dapat terjebak dalam echo chamber bahwa kebijakan pemerintah sudah baik dan tepat.
ADVERTISEMENT
***
Jadi, kalau menurut kalian, apakah diorama ini sudah menunjukkan keadilan pendidikan? Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah ke depan terhadap sekolah kedinasan?
Kita semua berhak menanyakan ini kepada negara. Toh, gratisnya sekolah kedinasan sebagian besarnya dibiayai dari pajak yang kita bayar. Tanyakan. Terus tanyakan.
Misalnya, apakah lebih baik skema pembiayaan disusun ulang, misalnya yaudah sama saja pakai skema UKT seperti di PTN?
Atau, apakah sekalian lebih baik dibubarkan? Maksimalkan saja PTN/PTS misalnya.