Konten dari Pengguna

Menghapus Bunga Bank Dalam Sistem Perekonomian, Solusi atau Masalah?

Ravi Choirul Anwar
Seorang ASN di Kemenko Perekonomian
5 November 2024 11:08 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ravi Choirul Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa jadinya jika kredit atau bunga bank dihapus dari sistem perekonomian?
ADVERTISEMENT
Narasi mengenai penghapusan sistem kredit cukup sering hadir dalam berbagai ruang diskusi, terutama dari perspektif ekonomi syariah yang menganggap bunga pinjaman adalah riba. Dalam perspektif ini, bunga dianggap sebagai riba karena memiliki unsur memberatkan kepada peminjam dan dapat bersifat eksploitatif.
Diskursus mengenai evaluasi sistem kreditpun terjadi dalam kajian ekonomi konvensional karena dianggap dapat membawa perekonomian kepada krisis. Salah satu fenomena terbesarnya yaitu Great Recession di Amerika Serikat pada kurun waktu 2007-2008 yang bermuara menjadi krisis ekonomi global.
Benarkah demikian bahwa kreditlah yang menjadi sumber masalah utama?
Foto oleh Pixabay: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-yang-memegang-kartu-debit-50987/
Saya akan memulai dari tulisan ini dari kacamata Marxist, yang berpendapat bahwa krisis finansial hanyalah gejala belaka dari krisis yang lebih luas: profit. Membaca gejala ini memerlukan kita mengkaji kredit sebagai bagian fundamental dari kapitalisme kontemporer.
ADVERTISEMENT
Kredit adalah elemen esensial dalam sistem ekonomi kapitalisme. Kredit berguna baik bagi perusahaan untuk menjalankan bisnisnya, maupun bagi masyarakat untuk memulai bisnis maupun membeli suatu barang. Kredit dalam sistem ekonomi kapitalis saat ini, umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan—salah satunya yaitu Bank.
Bank sendiri merupakan bagian dari kapitalis yang juga mengincar keuntungan. Oleh karena itu, bunga merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari kredit. Tanpa bunga, sulit dibayangkan bank untuk mau memberikan pinjaman. Bayangkan saja, apakah logis suatu bank mau memberi pinjaman, katakanlah sebesar Rp100 juta dengan jatuh tempo 5 tahun tanpa bunga sama sekali.
Padahal, terdapat risiko sang peminjam gagal bayar. Selain itu, sekalipun Rp100 juta berhasil dibayarkan, pada saat jatuh tempo nilai tersebut sudah lebih kecil karena adanya inflasi. Sederhananya, mungkin saat ini uang lima ribu bisa untuk beli lima tusuk cilor, tapi 5 tahun lagi mungkin hanya bisa dapat dua tusuk cilor.
ADVERTISEMENT
Artinya, bank akan rugi apalagi sistem kredit konvensional dijalankan tanpa bunga. Kasarnya, apalagi bunga bank dihapus, bank juga akan berhenti memberikan kredit. Padahal, dalam sistem ekonomi kapitalisme, akan ada beberapa dampak yang bisa timbul bila sistem kredit musnah.
Pertama, kompetisi yang ketat antar perusahaan membuat mereka terjebak dalam situasi: berkembang atau mati. Oleh karena itu, produksi barang/jasa harus terus dilakukan secara konstan—bahkan ekspansif. Belum lagi kebutuhan untuk update teknologi, belanja modal baru, inovasi, dsb agar tidak kalah dalam persaingan. Dalam situasi ini, seringkali perusahaan butuh uang lebih banyak dari profit yang mereka hasilkan.
Kredit dari lembaga finansial seperti perbankan memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan dana tersebut. Apabila pembiayaan hanya mengandalkan dari aktualisasi profit, waktu yang hilang dalam menunggu jumlah yang cukup akan menjadi kerugian bagi perusaahan. Perusahaan dapat tertinggal dalam laju kompetisi. Artinya, tanpa adanya kredit, ekonomi berisiko akan berjalan jauh lebih lambat dan kurang inovatif.
ADVERTISEMENT
Kredit juga memungkinkan bagi seseorang atau perusahaan baru untuk memulai bisnis. Tanpa adanya kredit, seseorang—apalagi dari kelas sosial tertentu—akan membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk bisa memulai bisnis. Artinya, tanpa kredit, akumulasi modal justru akan semakin eksklusif berputar pada kelompok tertentu saja. Hal ini berisiko munculnya monopoli ataupun kartel yang dapat lebih leluasa menaikkan harga.
Dalam hal ini, penghilangan kredit berarti berdampak pula pada inflasi, di mana semakin sedikit penawaran, harga akan semakin tinggi.
Bahkan, skema suku bunga merupakan instrumen utama yang dimiliki oleh bank sentral untuk mengontrol inflasi. Semakin banyak uang beredar, semakin tinggi harga suatu barang.
Ilustrasi sederhananya seperti ini: bayangkan sebuah festival di mana setiap orang memiliki satu tiket yang bisa ditukar dengan satu makanan. Lalu, tiba-tiba panitia membagikan satu tiket tambahan kepada setiap orang. Kini setiap orang memiliki dua tiket, tetapi jumlah makanan di festival tetap. Karena sekarang semua orang punya dua tiket, banyak yang ingin menggunakan tiket tambahan untuk mendapatkan makanan kedua. Melihat permintaan yang tinggi, pedagang makanan memutuskan menaikkan “harga” makanan menjadi dua tiket per porsi, karena jumlah makanan terbatas dan tidak semua orang bisa mendapatkan dua porsi.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, suku bunga menjadi efektif untuk mengendalikan jumlah uang beredar. Apabila perekonomian sedang mengalami inflasi yang tinggi, bank sentral dapat meningkatkan suku bunga agar masyarakat memiliki insentif untuk menaruh uangnya dalam bentuk deposito maupun obligasi dan perusahaan akan lebih mempertimbangkan untuk meminjam uang ke bank. Vice versa.
Artinya, menghapus skema bunga juga menghapus pula instrumen bank sentral untuk mengendalikan inflasi. Inflasi yang tinggi tentunya dapat menyengsarakan masyarakat, utamanya kelas menengah ke bawah.
Penghapusan bunga bukan hanya menghilangkan kredit berupa pinjaman, tetapi juga menghilangkan berbagai aset finansial seperti deposito dan obligasi berbunga dari bank. Seseorang menaruh uangnya dalam deposito dan obligasi dengan harapan uang tersebut memberikan return yang lebih besar ketimbang kenaikan inflasi. Katakanlah, dalam 1 tahun, terjadi inflasi sebesar 3% dan kita mendapatkan bunga obligasi sebesar 5%. Artinya, nilai uang kita tahun depan tidak menjadi lebih kecil akibat inflasi—bahkan lebih besar karena terdapat selisih 2% atau disebut sebagai real interest. Artinya, tanpa adanya obligasi/deposito, masyarakat kehilangan salah satu alternatif untuk menjaga nilai uang yang dimiliki.
ADVERTISEMENT
Apalagi, menaruh uang dalam bentuk saham sebagai alternatif yang lain jauh lebih berisiko. Berbeda dengan obligasi yang sudah pasti memberi keuntungan, saham bisa saja memberikan kerugian—meskipun potensi keuntungan lebih besar daripada obligasi. High risk, high return. Namun, kita sepakat bahwa tidak semua orang memiliki profil investasi dengan risiko yang tinggi. Banyak masyarakat kita yang memiliki profil moderat bahkan konservatif.
Dampak lain hilangnya kredit adalah semakin sulitnya memiliki aset seperti rumah maupun kendaraan. Bayangkan saja, bagaimana masyarakat kelas menengah ke bawah bisa membeli aset mahal tersebut dengan cash? Perlu menunggu berapa lama untuk bisa terkumpul uangnya? Padahal, dalam proses menunggu tersebut, masyarakat tetap mengeluarkan uang misalnya untuk sewa rumah atau biaya transportasi.
ADVERTISEMENT
Menurunnya kemampuan masyarakat secara signifikan dalam membeli aset seperti ini, tentunya membuat higher cost industry berisiko keluar dari pasar. Turunnya daya beli akan membuat perusahaan seperti ini rugi. Keluarnya mereka dari pasar—menurunnya penawaran—akan membuat harga semakin naik. Akhirnya, semakin tidak terbeli, terjebak dalam siklus yang sulit.
Oleh karena itu, menghapus bunga yang pada akhirnya menghilangkan sistem kredit bukanlah hal yang mudah dalam sistem ekonomi kapitalis, bahkan dapat berdampak negatif bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Sementara, kalau kita cermati, permasalahan utama yang menyebabkan kredit menjadi sumber masalah adalah sistem kapitalis itu sendiri.
Sistem kapitalislah yang mendorong perusahaan untuk terus menerus melakukan produksi hingga tahap overproduction. Sistem kapitalislah yang membuat perusahaan terus mengejar profit dan kemudian mengeksploitasi buruh melalui surplus value sebagai bagian dari memaksimalkan profit. Gaji buruh yang rendah lah yang kemudian membuat mereka harus terjebak dalam pinjaman berbunga bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Atas nama profitlah industri menciptakan budaya konsumerisme di mana masyarakat merasa membutuhkan banyak barang yang sebenarnya tak semuanya ia butuhkan. Konsumerisme inilah yang pada akhirnya membuat masyarakat perlu menggunakan kredit untuk membeli barang-barang di atas kemampuannya. Benar, konsumen adalah raja, tetapi industri adalah pemain catur handal yang mampu mengontrol raja tanpa disadari.
Untuk menutup tulisan ini, saya akan mengutip tulisan Hadas Thier dalam bukunya A People’s Guide to Capitalism (2008):
Blame lies with a system that is based on low-wage and precarious labour, where people work hard all their lives, and still find that basic needs like decent shelter are luxuries for the rich
Foto oleh David McBee: https://www.pexels.com/id-id/foto/bidikan-sudut-tinggi-dari-lingkungan-suburban-1546168/