Konten dari Pengguna

Mengunjungi Kembali The Great Recession: Refleksi Atas Krisis Perekonomian

Ravi Choirul Anwar
Seorang ASN di Kemenko Perekonomian
7 November 2024 11:23 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ravi Choirul Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
The Great Recession merupakan krisis terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah ekonomi kontemporer. Krisis yang bermula dari Amerika Serikat ini memperlihatkan kerapuhan wajah kapitalisme global. Pada tahun 2008, miliaran dolar lenyap, 8 jutaan orang kehilangan pekerjaan, 6 jutaan orang kehilangan rumah, dan kondisi ekonomi berbagai negara ikut runtuh akibat efek domino yang ditimbulkan.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini tidak hanya meninggalkan jejak penderitaan atau kerugian yang besar, tetapi juga berbagai pertanyaan mendasar mengenai sistem ekonomi itu sendiri. Mempelajari kembali The Great Recession dapat membawa kita lebih terbuka terhadap berbagai kelemahan kapitalisme—terutama yang menjunjung kebebasan pasar—untuk dicari solusinya sekaligus mengambil pelajaran dari sejarah ini agar kita tidak terkutuk untuk mengulanginya.
Dari American Dream Menjadi Nightmare
Keruntuhan ekonomi memang terjadi pada tahun 2008, tetapi akar masalah dari The Great Recession sudah dimulai sejak awal tahun 2000an. Pada tahun 2001, akibat peristiwa terorisme, The Fed—bank sentral AS—menurunkan suku bunga acuan cukup tajam hingga hanya 1% untuk mendorong gairah perekonomian. Dengan bunga yang rendah, diharapkan dapat mendorong pengusaha untuk mengambil kredit guna melakukan dan meningkatkan usaha, sementara masyarakat dapat meminjam uang untuk meningkatkan belanja mereka.
ADVERTISEMENT
Salah satu sektor yang tumbuh sangat tajam adalah properti. Rendahnya suku bunga ditambah dengan kebijakan federal untuk mendorong kepemilikan rumah, membuat sektor ini menjadi booming. Bahkan, terdapat KPR bernama subprime mortgage, di mana KPR dapat diberikan kepada orang yang sebenarnya tidak masuk kualifikasi. Sederhananya, masyarakat dengan penghasilan rendah, dapat dengan mudah mendapatkan KPR untuk membeli rumah.
Foto oleh Alexander Isreb: https://www.pexels.com/id-id/foto/rumah-kayu-coklat-dan-putih-1797393/
Munculnya inovasi subprime mortgage tersebut terjadi karena longgarnya regulasi dan tendensi Bank untuk mendapat profit lebih banyak ketika melihat prospek sektor properti. Dengan mendapatkan debitur lebih banyak, Bank berpotensi mendapatkan imbal balik dari bunga yang lebih banyak.
Dampak dari mudahnya masyarakat mendapatkan KPR—ditambah dengan bunga yang rendah pada saat itu—membuat permintaan masyarakat terhadap rumah meningkat. Tak ayal, harga rumah terus melambung tinggi. Belum lagi peningkatan jumlah orang yang membeli rumah sebagai investasi karena dianggap akan memberikan keuntungan di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Masih rendahnya kesadaran masyarakat akan risiko keuangan membuat banyak yang mengambil kredit ini untuk semakin cepat merealisasikan “american dream” mereka. Dari sisi perusahaan sendiri, pembangunan properti terus meningkat dengan banyaknya permintaan ini.
Bank sendiri sebagai pemberi KPR, sebenarnya bukan berarti mengabaikan risiko gagal bayar dengan memberikan kredit bagi yang tidak lolos kualifikasi. Namun, sebelum The Great Recession terjadi, bank merasa bahwa pemerintah tidak akan membiarkan mereka bangkrut—terutama bank besar. Mereka menganggap bahwa mereka bagian vital dari perekonomian sehingga akan dijaga oleh pemerintah.
Bank menggunakan asumsi risiko sistemik, di mana apabila bank bangkrut, efeknya akan menjalar ke seluruh sektor perekonomian, baik dari pebisnis hingga masyarakat. Sederhananya, bayangkan saja bank besar di Indonesia bangkrut, apa yang akan terjadi? pemerintah pasti tidak akan tinggal diam.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, bank berani mengambil risiko yang sangat tinggi. Apalagi, dengan melihat bahwa sektor properti terus melonjak, bank merasa bahwa sekalipun peminjam gagal bayar, mereka dapat menyita rumah dan bisa menjualnya dengan harga tinggi.
Untuk meningkatkan sumber pendanaan, Bank menerbitkan instrumen derivatif terkait hipotek yaitu mortgage-backed securities (MBS) dengan berbasis surprime mortgage tadi. Singkatnya, MBS ini adalah sekuritas berbasis hipotek, yang memungkinkan seseorang atau perusahaan berinvestasi di pasar perumahan tanpa harus membeli rumah secara langsung. Meskipun investor MBS berpotensi rugi apabila peminjam KPR gagal bayar, lagi-lagi harga rumah yang terus naik menjadi ilusi bagi para investor—utamanya perusahaan—untuk berani mengambil risiko ini.
Kurun waktu 2004-2006, setelah perekonomian AS menunjukan kondisi yang membaik, The Fed mulai menaikkan suku bunga untuk mengontrol inflasi. Akibatnya, pengambilan KPR turun karena kini bunga sudah naik.
ADVERTISEMENT
Subprime mortgage sendiri memiliki bunga yang fluktuatif, yang mana besarannya menyesuaikan pasar. Bila suku bunga acuan naik, bunga KPR ikut naik. Sementara, masyarakat pengambil subrpime mortgage, mayoritas memiliki pendapatan yang rendah dan stagnan. Di sinilah krisis mulai muncul ke permukaan.
Banyak masyarakat gagal bayar, sementara di satu sisi developer sudah terlanjur membangun properti dalam jumlah besar karena tren yang meningkat dalam beberapa tahun. Permintaan rumah menurun pesat di tengah banyaknya rumah yang telah dibangun, belum lagi dengan penjualan rumah sitaan oleh Bank. Hal ini membuat harga rumah pada akhirnya anjlok.
Jatuhnya harga rumah justru berdampak semakin parah terhadap perekonomian. Masyarakat yang masih terikat KPR memiliki cicilan yang lebih tinggi, sementara di satu sisi nilai rumah yang mereka punya turun drastis. Akhirnya, timbul kasus sisa utang KPR di bank lebih besar daripada harga rumah yang sudah turun tajam. Masyarakat AS mulai enggan membayar cicilan karena secara ekonomi tidak masuk akal, lebih memilih untuk mandek KPR, toh kasarnya siapa pula yang mau membayar sisa utang yang misalnya sisa sebesar 500 juta dolar AS untuk rumah yang saat itu sudah turun harganya hingga 400 juta dolar AS?
ADVERTISEMENT
Efek selanjutnya bisa ditebak: banyak rumah disita dan dijual kembali ke pasar oleh bank, akibatnya penjualan properti berlimpah ruah. Harga semakin jatuh. Di satu sisi, investor di perumahan semakin merugi. Belum lagi sekuritas MBS yang nilainya bergantung pada pembayaran debitur KPR subprime mortgage, semuanya investornya merugi. Bahkan bank investasi Lehman Brothers—perusahaan terbesar ke-4 di AS pada saat itu—tak terselamatkan alias bangkrut, salah satunya karena banyak menaruh investasi pada sekuritas MBS. Banyak bank atau lembaga keuangan yang akhirnya collapse.
Keruntuhan ini menjalar ke mana-mana, pasar saham ikut jeblok, industri sektor lain ikut terdampak, banyak terjadi PHK, dsb.
The Great Recession merupakan salah satu dampak dari fenomena bubble economy. Bubble economy sendiri merupakan penggelembungan perekonomian yang seakan terlihat sebagai pertumbuhan, padahal terjadi tanpa pijakan yang riil dan kuat, lebih banyak karena spekulasi. Ibarat sebuah bubble yang terus membesar, hanya tinggal menunggu waktu saja kapan gelembung tersebut akan pecah.
Foto oleh John Guccione www.advergroup.com: https://www.pexels.com/id-id/foto/100-uang-kertas-dolar-as-3483098/
Apa Yang Bisa Kita Pelajari
ADVERTISEMENT
Pelajaran utama yang dapat diambil dari kejadian ini adalah runtuhnya anggapan bahwa minimnya regulasi dalam perekonomian—singkatnya pasar bebas—akan selalu memaksimalkan profit. Dalam ekonomi kapitalis, pasar selalu dianggap dapat melakukan self correcting dan menemukan kembali equilibrium-nya yang optimal setiap ada gejolak. Invisible hand—meminjam istilah Adam Smith—dianggap akan selalu dapat menyelesaikan permasalahan kuantitas dan harga setiap kali muncul, sehingga dapat menghindarkan perekonomian dari krisis.
Ringkasnya, dalam konteks properti tadi, pasar dapat menentukan sendiri secara optimal berapa produksi rumah yang harus dilakukan, pada harga berapa yang optimal, dsb. Namun nyatanya, yang terjadi tidak demikian. Belum lagi ditambah dengan adanya kredit yang memungkinkan perusahaan untuk memproduksi di atas kemampuan dan memungkinkan masyarakat untuk mengkonsumsi di atas kemampuan—bahkan subrpime mortgage memberikan kredit untuk orang yang tidak masuk kualifikasi kredit.
ADVERTISEMENT
Kegagalan pasar seperti ini, disebabkan oleh perilaku spekulatif. Peminjam berspekulasi bahwa bunga tidak akan naik tinggi, perusahaan memperbanyak pembangunan properti karena berspekulasi tren akan terus meningkat, bank berani memberikan pinjaman jauh lebih longgar karena berspekulasi dapat menjual rumah sitaan dengan harga tinggi ketika gagal bayar, investor berspekulasi akan mendapatkan keuntungan dengan membeli sekuritas MBS. Ketika spekulasi salah—di mana tidak ada campur tangan/regulasi dalam keputusan spekulatif ini dari pemerintah—crash seperti itulah yang dapat terjadi.
Artinya, regulasi pasar oleh pemerintah sangatlah penting untuk melindungi masyarakat banyak. Spekulasi sendiri merupakan hal yang tidak bisa dihindari dari sistem kapitalisme.
Belum lagi, dalam menyelamatkan beberapa perusahaan besar, pemerintah harus memberikan bailout atau bantuan dengan total kucuran dana hingga 1 triliun dolar AS, yang tentunya sebagian besar bersumber dari pajak. Bayangkan, kegagalan pasar kapitalisme harus ditanggung oleh seluruh rakyat pembayar pajak, bahkan termasuk oleh mereka yang tidak merasakan manfaat ekonomi dari pasar properti yang runtuh tersebut.
ADVERTISEMENT
Pemberian pinjaman secara sangat longgar bagi pihak yang tidak masuk kualifikasi juga menjadi pelajaran tersendiri. Kredit tersebut bukan memberikan manfaat, tetapi justru dapat membuat orang terjebak dalam situasi finansial yang sulit. Apalagi, bila kita memperhatikan asumsi bahwa kesadaran akan risiko keuangan masyarakat—utamanya pada kelas tersebut—masih belum tinggi. Fenomena ini bahkan disebut sebagai predatory inclusion oleh Keenga-Yamahtta Taylor, karena bank memanfaatkan american dreams kelas pekerja dan mengambil manfaat dari posisinya yang lemah agar tertarik mengambil subprime mortgages.
Dari sini kita bisa melihat bahwa pemberian KPR yang mudah justru dapat menjadi bumerang bagi pengambilnya. American dreams dapat berubah menjadi nightmare dalam sekejap. Pengejaran profit bagi industri termasuk perbankan jangan sampai membuat adanya kredit semacam ini, harus ada regulasi yang melindungi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, The Great Recession memberikan pelajaran pentingnya regulasi untuk mereduksi moral hazard dalam sistem perbankan. Kita bisa melihat bahwa salah satu penyebab krisis terjadi mengakar pada asumsi perbankan bahwa mereka too big to fail. Regulasi perlu ditetapkan pula agar bank tidak merasa risiko mereka dibagi kepada rakyat yang membayar pajak melalui bailout ketika mereka collapse. Hal ini tentunya penting dipikirkan secara matang untuk memihak kepada rakyat banyak.
Foto oleh Adrien Olichon: https://www.pexels.com/id-id/foto/bus-di-jalan-dekat-gedung-bertingkat-3709402/
Sistem kredit memang menyumbang kontribusi pada krisis ini. Namun, akar masalah dari Great Recession sesungguhnya adalah overproduction dan overaccumulation dalam sektor properti. Produksi sebanyak-banyaknya, mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya. Keduanya sama-sama dilakukan untuk mengejar profit. Padahal di satu sisi, ketika perekonomian meningkat, gaji pegawai tidak ikut naik—atau naik pada tingkat yang lebih rendah ketimbang kenaikan profit industri.
ADVERTISEMENT
Terjadi kontradiksi ketika profit yang meningkat tidak diimbangi dengan kenaikan gaji pekerja. Katakanlah, alih-alih meningkatkan gaji, peningkatan profit justru dialokasikan untuk membuat perusahaan melakukan ekspansi, membangun pabrik baru atau melakukan aktivitas baru yang membutuhkan tambahan tenaga kerja. Hal tersebut tentunya menyerap tenaga kerja baru yang sebenarnya tentu merupakan hal positif. Namun, kontradiksi terjadi di sini, tenaga kerja baru tentunya membuat permintaan barang/jasa dalam perekonomian meningkat, yang pada akhirnya membuat harga ikut meningkat. Sementara, pekerja existing tidak mengalami kenaikan gaji. Akibatnya, kredit menjadi salah satu cara yang mau tidak mau harus diambil bagi para pekerja untuk menjaga konsumsi. Dampak lainnya bisa kita lihat juga pada kasus di atas di mana saat inflasi terjadi, tetapi gaji mereka tidak ikut naik, pekerja akan kesulitan membayar kreditnya.
ADVERTISEMENT
Perusahaan mengejar profit dengan membangun properti sebanyak-banyaknya, bank mengejar profit dengan menerbitkan pinjaman sebanyak-banyaknya. Namun, pada akhirnya, yang paling menanggung beban adalah mereka yang tidak melakukan overproduction maupun overaccumulation, yaitu kelas pekerja, rakyat miskin, dsb. Oleh karena itu, kapitalisme jangan sampai diarahkan kepada kecenderungan minimnya regulasi pemerintah. Justru, dalam sistem kapitalisme, harusnya pemerintah lah yang memainkan peran vital untuk meningkatkan kesetaraan dan melindungi dari berbagai bentuk eksploitasi.