Konten dari Pengguna

Saya Mendukung Guru Kreator Konten

Ravi Choirul Anwar
Seorang ASN di Kemenko Perekonomian
3 Desember 2024 17:28 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ravi Choirul Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rasanya, saya perlu menegaskan di awal bahwa saya mendukung guru untuk lebih ekspresif dan berbagi kebaikan—terutama berbagi kebenaran—yang salah satunya dilakukan melalui konten sosial media. Penegasan ini bukanlah sebentuk disclaimer, melainkan sebagai bentuk afirmasi kepada diri sendiri agar berani memulai tulisan ini. Jujur saja, eksploitasi guru oleh sistem pendidikan membuat saya bahkan tidak tega menyentuh persoalan kualitas guru.
ADVERTISEMENT
Namun, beberapa hal perlu disuarakan.
Foto oleh Photo By: Kaboompics.com: https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-perempuan-kaum-wanita-kamera-4491461/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Photo By: Kaboompics.com: https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-perempuan-kaum-wanita-kamera-4491461/
Keresahan saya mengenai Guru Kreator Konten (GKK)—sebuah istilah baru—memuncak saat saya menyaksikan salah satu konten berjudul “memilih partner duduk”. Dalam konten tersebut, sang guru berbagi ide untuk memulai kelas dengan anak laki-laki—yang secara bergantian sesuai urutan barisan—memilih anak perempuan sebagai partner duduk. Pemilihan partner dilakukan dengan menggandeng anak perempuan yang dipilih. Pada konten tersebut, guru tersebut menambahkan caption “biar semakin semangat belajarnya, sayang.”
Konten tersebut tergolong viral dengan jumlah likes mencapai 159 ribu dan mencapa jumlah komentar hingga 12 ribu lebih. Kolom komentar sendiri terbagi menjadi pro dan kontra. Banyak yang mengkritik ide tersebut, salah satunya mempertanyakan perasaan siswa yang dipilih terakhir—yang artinya tidak dipilih oleh mayoritas teman dan “terpilih” karena tidak ada pilihan lain. Namun, dari sekian banyak komentar yang kontra, guru pembuat konten hanya merespon komentar-komentar positif saja yang seakan mengafirmasi bahwa guru tersebut telah berbagi “praktik baik”.
ADVERTISEMENT
Konten tersebut bagi saya merepresentasikan lanskap maraknya guru kreator konten saat ini yang tak jarang justru mengandung unsur yang perlu dikritisi.
Pertama, konten tersebut menunjukkan potret bahwa guru bisa saja membagikan gagasan praktik baik yang minim akan riset ataupun pendekatan akademis dalam konstruksi gagasannya. Konten “memilih partner duduk” meyakinkan saya bahwa guru tersebut abai—paling tidak—terhadap perspektif psikologis, boundaries, dan gender. Bahkan saya jadi tidak yakin, apakah mereka memahami semua hak anak yang tercantum dalam Convention on The Rights of The Child.
Kedua, respon pembuat konten terhadap berbagai komentar yang masuk menunjukkan bahwa berbagi praktik baik dapat mengalami pergeseran makna menjadi sereduksionis mencari likes, viewers, ataupun traffic semata. Sementara di satu sisi, ruang dialektika nampaknya tidak terjadi.
ADVERTISEMENT
Berbagai validasi positif yang masuk seolah membuat hening berbagai kritik yang masuk dan dapat membuat content creator terjebak dalam chamber bahwa yang mereka lakukan sudah tepat dan bijak. Meminjam istilah Marx, hal seperti inilah yang mendorong mereka terjebak dalam “kesadaran palsu” sehingga menutup diri dari berbagai kritik dengan dalih “yang penting niatnya berbagi praktik baik”.
Kritik terhadap guru kreator konten sendiri sudah cukup banyak dilakukan, konteks kritik mulai dari eksploitasi murid, muatan konten yang reduktif, atau dianggap hanya sebagai ajang perlombaan citra baik tanpa menampilkan kondisi yang sesungguhnya—yang bisa saja tidak sebaik apa yang ditampilkan. Namun, berbagai kritik tersebut nampaknya tidak terlalu digubris oleh mereka, apalagi Kemendikbud sendiri justru mengafirmasi positif secara serampangan maraknya guru-guru content creator ini.
ADVERTISEMENT
Saya bahkan menemukan beberapa konten terkait respon mereka terhadap pertanyaan skeptis masyarakat mengenai “mengapa guru harus sambil menjadi content creator?”. Sebagian yang saya temui merespon dengan argumentasi bahwa pendidikan harus mengikuti zaman. Bahkan, ada yang membawa nama Ki Hajar Dewantara dengan mengutip “Ingat kata Ki Hajar Dewantara, didiklah murid sesuai zaman”. Saya takut, Ki Hajar Dewantara saat ini hanya dinukil kutipan atau quotes-nya saja, tanpa pernah diselami secara utuh alam pikiran beliau, misalnya melalui buku-bukunya.
Foto oleh Tracy Le Blanc: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-yang-memegang-iphone-menampilkan-folder-jaringan-sosial-607812/
Ada satu pertanyaan yang paling ingin saya tanyakan kepada guru kreator konten, apakah proporsi aktivitas mereka dalam membuat konten diimbangi proporsi aktivitas mereka dalam membaca?
Pertanyaan ini tentu muncul karena beberapa konten yang mereka sajikan menurut saya minim riset. Misalnya, terdapat konten-konten yang menekankan bahkan mengglorifikasi pentingnya diferensiasi gaya belajar berdasarkan gaya visual, kinestetik, dan verbal. Padahal, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa teori tersebut merupakan pseudoscience karena lack of evidence. Bahkan, pada tahun 2019, publikasi dari Center for Research and Reform in Education dari Johns Hopkins University menyatakan bahwa “There is no practical utility in knowing students’ learning styles.” Sayangnya, bahkan dalam konten mereka, tidak sedikitpun hadir referensi ilmiah ketika membahas mengenai hal-hal bersifat ilmiah.
ADVERTISEMENT
Belum lagi, konten yang marak viral lebih sering didominasi oleh konten ice breaking saja. Dalam banyak guru kreator konten, jarang saya temui konten-konten yang bermuatan materi yang sifatnya dapat membentuk apa yang disebut Freire sebagai consicentization—kesadaran kritis. Bukankah pendidikan yang memerdekakan adalah yang mampu menghasilkan murid berkesadaran kritis?
Saya tidak masalah dengan berbagai praktik konten ice breaking, yang saya masalahkan adalah apabila itu mendominasi ruang digital mereka. Saya mendambakan, misalnya, konten mengenai “Bagaimana Mengajarkan Sex Education Sesuai Usia Anak-Anak?” mengingat substansi penting ini masih belum mampu menembus jantung kurikulum.
Atau “Bagaimana Menjelaskan Pelanggaran HAM 1965-66 kepada Anak-Anak?” mengingat konten buku sekolah yang masih kental akan hegemonik dan politik diskursif. Atau contoh konkret yang sudah ada, saya mendambakan banyak kreator konten yang mampu menghasilkan konten seperti yang dilakukan Galih Sulistyaningra yang berbagi praktik cara mengedukasi anak-anak mengenai berbagai macam kekerasan terhadap mereka.
ADVERTISEMENT
Saya sangsi, jangan-jangan, hal ini disebabkan minimnya tingkat baca para content creator sendiri, sehingga konten yang dihasilkan cenderung seperti itu. Dalam esainya yang terangkum dalam Guru Gokil Murid Unyu, Johannes Sumardinata, misalnya, mengisahkan bahwa dari ribuan guru bahasa Indonesia, tak sampai 0,5% yang pernah membaca Tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Mereka bahkan tidak mengenali buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara, apalagi Paulo Freire.
Lalu, bagaimana menumbuhkan minat literasi kepada anak murid bila guru saja masih minim minat literasi? Bukankah menumbuhkan minat literasi saat ini jauh lebih penting? Ini yang saya maksud mengenai prioritas tadi.
Belum lagi menyoal sisi eksploitasi anak-anak. Banyak konten yang masih menampilkan identitas siswa secara gamblang, bukan hanya muka, tetapi juga nama dan lokasi. Sekalipun mendapat consent dari siswapun, seharusnya mereka tidak abai dengan adanya relasi kuasa.
ADVERTISEMENT
Apalagi, dalam pembelaan mereka, tak sedikit yang menyatakan bahwa konten dibuat pada jam istirahat. Bagaimana jika sebenarnya anak-anak lebih prefer untuk menikmati jam istirahat dengan kegiatan lain, tetapi karena relasi kuasa mereka akhirnya mengiyakan untuk ikut dalam konten.
Tak sedikit bahkan guru kreator konten yang sudah mendapatkan berbagai pendapatan melalui endorse. Yang sayangnya, dalam berbagai konten mereka, melibatkan murid-murid dalam konten bersifat endorsement tersebut. Ini jelas salah satu bentuk eksploitasi, seakan murid menjadi bintang iklan gratis.
Bukankah konten tidak harus menampilkan murid secara eksplisit? Bahkan, konten juga dapat dikemas dalam bentuk tulisan, verbal, dsb. Bahkan saya mendapati banyak konten yang sifatnya listikal tulisan yang tak perlu memakai background video joget-joget baren anak-anak.
ADVERTISEMENT
Saya menyadari betul bahwa banyak waktu guru tersita oleh urusan administrasi, pun perpustakaan sekolah yang masih minim koleksi. Belum lagi harus disibukkan dengan berbagai pelatihan. Waktu mereka untuk membaca atau mendalami hal tertentu, baik melalui buku, jurnal, maupun artikel tertentu sudah terenggut banyak.
Membeli buku? Membeli kebutuhan sehari-hari pun bagi sebagian guru mungkin sudah sulit. Akses jurnal? banyak jurnal yang berbayar pula.
Namun, harusnya, bukankah hal ini justru lebih penting diangkat oleh guru kreator konten? Mengenai eksploitasi sistemik dari sistem pendidikan itu sendiri. Menyuarakan kesejahteraan guru dan fasilitas yang masih sangat minim.
Ruang yang tersedia justru berisiko ketika yang ditampilkan hanya kemasan praktik baik, membuat seolah sistem pendidikan sudah membaik sementara masalah sistemik masih tak tersentuh. Guru kreator konten justru secara tidak sadar sudah dieksploitasi oleh pemerintah sebagai perpanjangan tangan dalam mem-branding sistem pendidikan untuk mendapatkan citra baik.
ADVERTISEMENT
Tak semua content creator seperti ini. Saya kenal beberapa, di antaranya Galih Sulistyaningra dan Alfian Bahri, yang saya sempat mengobrol dalam sebuah kesempatan. Menurut saya perlu lebih banyak content creator seperti mereka, yang berbagi praktik baik, tetapi tidak abai terhadap kesadaran kritis, bahkan kesadaran kelas. Menggunakan ruang yang mereka punya untuk memperjuangkan keadilan bagi guru, sekaligus berbagi praktik baik berbasis riset atau pengetahuan yang kokoh.
Guru perlu menjadi subjek yang sadar politik sehingga dapat memperjuangkan perubahan sistemik daripada hanya berbagi kemasan praktik baik yang tidak substantif, yang malah berisiko menimbulkan unintended consequences, yaitu melanggengkan status quo permasalahan sistemik yang ada.
Saya masih percaya terhadap guru. Melepaskan diri dari hegemonik, bergerak secara kolektif, dan tidak terjebak dalam perayaan semu, menurut saya akan menjadi langkah fundamental bagi reformasi sistem pendidikan.
ADVERTISEMENT
Dalam suasana perayaan hari guru, mohon maaf jika saya justru melayangkan kritik. Namun, ini sekaligus menunjukkan, bahwa saya percaya terhadap guru untuk melakukan perubahan.