Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Delegitimiasi Murtad sebagai Alasan Perceraian Menurut Hukum Positif
25 November 2024 11:04 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Rayhan Gunawan Sejahtera tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hukum positif memberikan kebebasan bagi setiap warga negara Indonesia untuk memilih kepercayaan yang ia yakini. Begitujuga dengan mengganti keyakinan atau meninggalkan keyakinan sebelumnya. Jaminan kebebasan beragama tersebut tercantum dalam pasal 28E ayat 1 dan pasal 29 ayat 2.
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini fenomena murtadnya salah satu pasangan dari suami istri menjadi isu yang mengundang perhatian yang serius dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, pergeseran keyakinan ini sering kali disertai konflik nilai, ketegangan dalam komunikasi, hingga hilangnya keselarasan tujuan hidup antara pasangan. Kondisi ini memperlihatkan kompleksitas hubungan suami istri yang tidak hanya ditentukan oleh faktor pribadi, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan, tekanan sosial, dan pandangan hidup yang terus berkembang. Sehingga tak jarang juga beberapa pasangan suami istri mengajukan perceraian ke Pengadilan dikarenakan murtadnya salah satu pasangan.
Murtad merupakan istilah dalam Islam yang menunjukkan adanya perbuatan sesorang yang keluar dari agama Islam atau berpindah kepada agama lain. Secara etimologi kata murtad berasal dari kata arab “irtadda” yang artinya “kembali” atau “berbalik”. Dalam konteks yang utuh murtad berarti berpaling dari keyakinan Islam yang dianut sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Adapun murtad yang dilakukan oleh salah satu pasangan harus merupakan keinginan dan murni dari kemauan pribadi. Bukan karena paksaan atau karena mempunyai tujuan yang lain. Prinsip ini sejalan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, yang menjamin kebebasan setiap individu untuk memilih keyakinan tanpa tekanan dari pihak mana pun.
Dalam proses perpindahan agama, seseorang harus menyatakan kehendaknya secara sadar dan sukarela di hadapan pemuka agama yang bersangkutan, sebagai bukti bahwa keputusan tersebut merupakan pilihan pribadi. Paksaan dalam bentuk apa pun, baik dari keluarga, masyarakat, maupun pihak eksternal, tidak hanya melanggar hak asasi manusia tetapi juga dapat membatalkan pengakuan atas perpindahan agama secara sah. Oleh karena itu, murtad yang sah adalah proses yang mencerminkan kebebasan berkeyakinan individu sebagai hak dasar yang diakui oleh negara. Kemudian murtadnya seorang pasangan harus sah secara hukum formal yakni perpindanhan agama orang tersebut sudah tercatat resmi dalam dokumen kependudukan.
Peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara spesifik alasan perceraian disebabkan hanya karena murtad dan tidak terjadi permasalahan dalam rumah tangga. Walaupun secara agama konsekuensi dari murtadnya salah seorang baik suami atau istri menyebabkan terjadinya batalnya perkawinan (fasakh).
ADVERTISEMENT
Dalam Hukum Positif perceraian baru bisa dilegitimasi jika murtad menyebabkan ketidarukunan dalam rumah tangga. Berdasarkan pasal 116 huruf H Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan bahwa perceraian dengan alasan murtad hanya dapat dikabulkan jika murtad tersebut berdampak pada ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Dalam hal ini alasan murtad tidak dapat berdiri sendiri sebagai alasan perceraian namun juga harus terdapat alasan ketidakrukunan yang menyertainya, sehingga akibat perbuatan murtad yang dilakukan oleh salah satu pasangan menimbulkan perbedaan, perselisihan dan pertengkarn antara suami istri. Murtadnya salah satu pasangan menjadi alasan fundamentalis yang menjadi pemicu ketidakharmonisan dan retaknya rumah tangga yang tidak mungkin untuk disatukan kembali.
Adapun jika sudah memenuhi unsur ketidakrukunan dalam rumah tangga maka perceraian baru dapat diputus oleh hakim berdasarkan hak ex officio hakim. Ketidakrukunan dalam rumah tangga harus dapat dibuktikan sebagaimana murtad yang dilakukan oleh salah satu suami istri.
Apabila murtad yang dilakukan oleh salah satu pasangan tidak menimbulkan perselisihan atau keretakan, Dimana suami dan istri dalam hal ini dapat menjalin kehidupan bersama dalam rumah tangga dengan baik. Maka dalam hal ini, perbuatan murtad tidak dapat menjadi alasan dalam memutuskan perkawinan. Sehingga alasan murtad tidak memenuhi unsur pengajuan perceraian.
ADVERTISEMENT
Sumber Referensi:
Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Fajar, A Mukhtie. 1994. Tentang dan Sekitar Hukum Perkawinan di Indonesia. Malang: Penerbit Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.