Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Dilematik Keadilan Restorative Justice dalam Kasus Pelecehan Seksual
5 November 2024 17:22 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Rayhan Gunawan Sejahtera tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keadilan restorative justice merupakan upaya mencapai keadilan yang terkonsentrasi pada pemulihan hak-hak korban. Cita-cita keadilan yang diinginkan dalam keadilan ini ialah pemulihan kembali kepada keadaan semula yang disebut dengan restutio in tegrum. Penyelesaian mengusung tranparansi antara pelaku dan korban dan mencari titik terang kesepakatan dengan mengembalikan dan memulihkan kerugian baik dari segi materil ataupun imateril dari korban. Pendekatan ini berupaya mewujudkan rekonsiliasi antara pelaku dan korban disbanding berfokus pada pemberian sanksi kepada pelaku atau hukuman yang bersifat retributive.
ADVERTISEMENT
Mekanisme Restorative Justice
Restorative justice bisa diwujudkan dalam beberapa bentuk, antara lain:
• Mediasi: Mediasi dilakukan dalam suasana yang terstruktur dan aman, dengan dipandu oleh fasilitator atau mediator yang independen. Tujuan utamanya adalah memberikan kesempatan bagi korban untuk menyampaikan dampak yang dialaminya, serta bagi pelaku untuk mengakui kesalahan dan mengekspresikan penyesalan. Proses ini juga bisa melibatkan keluarga atau pihak terkait untuk mendukung pemulihan korban.
• Kompensasi atau Restitusi: Pelaku dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian yang dialami korban secara finansial atau melalui tindakan tertentu.
• Pelayanan Masyarakat (Community Service): Sebagai bentuk pertanggungjawaban, pelaku mungkin diberikan kewajiban untuk terlibat dalam kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.
• Konferensi Restoratif: Sesi pertemuan yang melibatkan korban, pelaku, dan perwakilan komunitas untuk membahas dampak tindak pidana dan mencapai kesepakatan pemulihan. Mediator atau fasilitator memastikan bahwa pelaku memenuhi komitmennya dan korban mendapatkan dukungan berkelanjutan. Jika ada pelanggaran kesepakatan, kasus dapat dipertimbangkan untuk diproses melalui jalur hukum formal.
ADVERTISEMENT
Pendekatan restorative justice sangat cocok dan menghasilkan hasil yang baik dan berakhir damai dalam beberapa kasus. Namun penerapan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana pelecehan seksual menuai pertentangan antara keinginan untuk mendukung pemulihan korban secara holistik dan tuntutan berupa supremasi hukum yang tegas dalam mewujudkan kepuasan sosial. Hal itu karena dalam konteks pelecehan seksual, restorative justice mengalami konfrontasi di dalam sosiologi kultural dan emosional yang secara tidaklangsung memasuki ranah dimensi sosial yang melibatkan persepsi, stereotipe, sentiment dan stigma Masyarakat.
Dilematik penerapan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana pelecehan seksual memicu konfrontasi antara pemulihan dan perlindungan korban, penegakan hukum yang efektif, dan harapan masyarakat akan keadilan yang tegas. Dalam konteks pelecehan seksual, restorative justice menjadi isu yang kompleks karena jenis kejahatan ini meninggalkan dampak emosional yang mendalam bagi korban, serta memiliki dimensi sosial yang melibatkan persepsi dan stigma masyarakat. Berikut adalah beberapa aspek dilematik yang muncul dalam pendekatan ini:
ADVERTISEMENT
1. Dualisme antara Pemulihan dan Trauma
Restorative justice menempatkan korban sebagai pusat dari proses penyelesaian, dengan memberi ruang bagi korban untuk menyuarakan perasaan, mendapatkan pengakuan dari pelaku, serta pemulihan psikologis melalui dialog langsung. Proses ini bisa efektif dalam beberapa kasus, terutama jika korban merasa lebih berdaya dengan konfrontasi dan pelaku menunjukkan penyesalan tulus.
Namun, dalam konteks pelecehan seksual, proses konfrontasi dengan pelaku bisa memperburuk trauma korban. Pengalaman ini bisa mengulang kembali pengalaman traumatis atau menciptakan tekanan emosional yang tidak perlu, terutama jika pelaku belum menunjukkan penyesalan yang cukup. Beberapa korban merasa restorative justice malah membawa trauma tambahan daripada pemulihan, yang mengganggu proses penyembuhan mereka.
Misalnya, dalam kasus seorang remaja perempuan yang menjadi korban pelecehan dari tetangganya sendiri, penerapan restorative justice dapat melibatkan pertemuan korban dengan pelaku untuk mendapatkan pengakuan bersalah dan permintaan maaf dari pelaku. Akan tetapi, jika korban mengalami kecemasan atau ketakutan yang parah ketika bertemu pelaku, ini justru bisa menyebabkan trauma lebih lanjut. Korban mungkin akan merasa tidak nyaman atau tertekan oleh kehadiran pelaku, dan pengalaman ini bisa menjadi beban tambahan pada proses penyembuhannya.
ADVERTISEMENT
2. Pentingnya Eksistensi Keadilan Retributif
Restorative justice berfokus pada pemulihan kerugian dan pemulihan sosial melalui dialog dan perdamaian. Bagi korban yang mencari solusi damai dan rehabilitasi pelaku, pendekatan ini bisa memberikan kelegaan serta memperbaiki hubungan sosial.
Dalam sisi lain pelecehan seksual sering kali dipandang sebagai tindak pidana serius yang melanggar martabat korban dan norma sosial, sehingga banyak pihak merasa bahwa hukuman yang tegas harus dijatuhkan pada pelaku. Pendekatan retributif atau hukuman dianggap sebagai cara untuk menegakkan keadilan yang lebih kuat dan tegas, serta memberi efek jera yang lebih besar bagi pelaku dan masyarakat. Dalam hal ini, restorative justice dianggap terlalu ringan dan tidak mewakili tuntutan keadilan masyarakat serta kebutuhan akan hukuman yang setimpal.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran sering muncul bahwa restorative justice mungkin tidak memberi efek jera yang cukup kuat, sehingga pelaku tidak benar-benar belajar dari tindakannya. Dalam beberapa kasus, pelaku mungkin beranggapan bahwa penyelesaian damai dapat menjadi "jalan keluar" tanpa konsekuensi yang setimpal, yang berpotensi membuka peluang terjadinya pelanggaran serupa di masa depan.
Bayangkan kasus seorang pelaku yang hanya diberi sanksi sosial atau diwajibkan menghadiri konseling tanpa harus menjalani hukuman penjara karena berpartisipasi dalam program restorative justice. Korban mungkin merasa kecewa dan tidak puas karena pelaku dianggap “terlalu ringan” untuk pelanggaran serius yang dilakukan. Dalam kasus pelecehan seksual, dan tentunya pelaku berpotensi akan melakukan perbuatan tersebut pada lain waktu karena pelaku belum mendapatkan efek jera atas tindakannya.
ADVERTISEMENT
3. Ekspektasi Sosial
Restorative justice memungkinkan korban merasa berperan aktif dalam proses penyelesaian, yang bisa meningkatkan kepuasan korban terhadap hasil yang dicapai. Dalam beberapa kasus, korban merasa lebih puas jika pelaku benar-benar menyadari kesalahannya dan mengakui kerugian yang dialami korban.
Dalam konteks sosial, masyarakat sering mengharapkan hukuman yang keras dan jelas sebagai upaya untuk menekan kasus pelecehan seksual. Restorative justice, yang cenderung lunak, kadang dianggap tidak cukup untuk memberi efek jera kepada pelaku dan mengurangi risiko pengulangan tindak pidana. Ini menimbulkan dilema antara memenuhi keinginan korban dan memenuhi tuntutan publik.
4. Stigma Sosial
Korban Restorative justice bertujuan untuk mengurangi stigma sosial bagi pelaku yang benar-benar menyesal dan ingin berintegrasi kembali ke dalam masyarakat. Dengan proses dialog dan perdamaian, diharapkan pelaku dapat mengurangi beban stigma sosial dan memulai kehidupan baru yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Bagi korban, terutama dalam kasus pelecehan seksual sangatlah susah untuk dihilangkan, stigma sosial menciptakan beban emosional tambahan bagi korban, karena selain harus menghadapi trauma dari pelecehan itu sendiri, mereka juga harus menghadapi reaksi negatif dari masyarakat. Stigma ini memiliki dampak yang serius bagi korban dalam jangka panjang, terutama pada kesehatan mental, kepercayaan diri, dan keinginan mereka untuk mencari keadilan.
Pendekatan restorative justice dalam menangani kasus pelecehan seksual memunculkan dilematik yang kompleks. Di satu sisi, pendekatan ini memberikan ruang bagi korban untuk mendapatkan pemulihan emosional dan sosial, serta mendorong rehabilitasi pelaku. Namun, di sisi lain, restorative justice menghadapi kritik karena tidak memberikan efek jera yang cukup kuat, kurang memenuhi ekspektasi masyarakat terhadap keadilan yang tegas, dan berpotensi menciptakan ketidakpuasan bagi korban.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri pelecehan seksual sering sekali ditemukan baik terpantau oleh publik maupun tidak, baik terjangkau oleh hukum dan diadili maupun selesai hanya dalam ranah kekeluargaan. Contoh sebagaimana yang terjadi pada pria pelaku pelecehan seksual di Jalan Utama Cengkareng Jakarta Barat yang babak belur dihajar oleh massa yang tersulut emosi kelakuannya yang melecehkan 6 anak laki-laki dibawah umur. Dan akhirnya pelaku berhasil diamankan oleh polisi. Pemulihan terhadap psikis dan mental korban serta pemulihan hak-hak korban sangatlah penting karena memengaruhi bagaimana korban menjalankan hidup lebih baik kedepannya, namun amarah keluarga dan warga setempat yang tersulut oleh tindakannya, mereka ingin pelaku mendapatkan ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya dari pada hanya permintaan maaf atau restitusi dari pelaku.
ADVERTISEMENT
Dalam hal demikian diperlukan pendekatan hibrid yang menggabungkan unsur-unsur restorative justice dengan aspek retributif, seperti hukuman yang lebih tegas bagi pelaku yang tidak kooperatif, mungkin dapat menjadi solusi yang lebih efektif. Kombinasi ini diharapkan dapat memberikan keseimbangan antara pemulihan korban, perlindungan masyarakat, dan penegakan hukum yang setara.
Sumber Referensi :
Braithwaite, John. 2002. Restorative Justice and Responsive Regulation. Oxford University Press.
Mudzakkir. 2017. Keadilan Restoratif dalam Hukum Pidana Indonesia. Depok: Univ. Trisakti
Redemptus Elyonai Risky Syukur. Diduga lecehkan enam anak, seorang pria babak belur dihakimi massa, https://www.antaranews.com/berita/4096719/diduga-lecehkan-enam-anak-seorang-pria-babak-belur-dihakimi-massa