Refleksi Putusan PN Jakpus soal Penundaan Pemilu: Apakah Jokowi Pemimpin Zalim?

Rayhan Ilham Firmansyah
Mahasiswa Departemen Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
21 Maret 2023 18:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rayhan Ilham Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Jokowi memimpin rapat terbatas dengan jajaran pengaman keamanan di Papua. Foto: Dok. Kris - Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi memimpin rapat terbatas dengan jajaran pengaman keamanan di Papua. Foto: Dok. Kris - Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
“Taatilah pemimpin meskipun dia bersikap zalim kepadamu."
Kira-kira seperti itu yang dikatakan oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, seorang pendakwah agama Islam yang terkenal memegang teguh ilmu Islam yang beliau pahami. Akan tetapi, setelah melihat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai penundaan pemilu, apakah Presiden Jokowi dapat dikatakan sebagai pemimpin yang zalim?
Trias Politika. Source: Olahan Penulis
Sistem pemerintahan Indonesia disusun dengan ide liberal Trias Politika. Ide ini awalnya berasal dari pemikiran John Locke (liberal dari Inggris), tetapi ide konkret yang dipakai di Indonesia adalah ide buatan Montesquieu (liberal dari Prancis).
ADVERTISEMENT
Montesquieu menulis di bukunya, De l'Esprit des Lois (The Spirit of Law), bahwa para pangeran takut kebodohannya tersebar sehingga takut untuk keluar dari istana, serta, para pangeran di zamannya sangat tidak terbiasa dengan budaya daerah pimpinannya, sehingga mereka memimpin dengan cara-cara despotik (Montesquieu, 2001). Oleh karena kecenderungan untuk bersikap despotik akibat kekuasaan yang absolut, maka Montesquieu mencanangkan sebuah “Kebebasan Politik”.
ADVERTISEMENT
Jika kita mengikuti alur pikir yang dibuat oleh Montesqueiu, berarti Indonesia sudah menganut kebebasan politik. Hal ini karena kekuasaan sudah dipecah menjadi 3 bentuk, yaitu Eksekutif (Presiden Jokowi), Legislatif (DPR dan juga Presiden to some extend), serta Yudikatif (Mahkamah Agung dan Konstitusi).
Teman saya dari Fakultas Hukum UGM pernah berkata: tidak mungkin jaksa dan hakim akan cawe-cawe kerja sama, mereka adalah 2 institusi yang berbeda. Yang satu mewakili Legislatif, yang satu lagi adalah wujud dari kekuasaan Yudikatif. Ternyata dia lebih memahami Montesquieu dibanding saya. Negara ini dibangun, setelah reformasi setidaknya, di atas trias politika, kebebasan politik.
Palu Hakim di Atas Lantai. Source: Pribadi
Tapi apa iya semua putusan pengadilan itu murni dari kekerasan dan penindasan? Menurut saya, Tentu saja iya! Iya, jika memenuhi kaidah yang sudah diatur sebelumnya. Hal ini berhubungan dengan konsep Rule of Law. Apa itu konsep Rule of Law? Pada intinya adalah konsep yang menyatakan bahwa masyarakat itu diatur oleh hukum, sehingga hukum yang ada harus dipatuhi. Konsep ini sudah hadir selama hukum dan masyarakat itu ada.
ADVERTISEMENT
Konsep ini haruslah ada sebagai jaminan negara atas individu yang hidup di dalam negara tersebut. Konsep Rule of Law hadir untuk melindungi individu dan propertinya dari kesewenang-wenangan individu lain. Jika kita percaya dengan Kontrak Sosial sebagai penyusun dari masyarakat, kita paham bahwa manusia pada awalnya Bellum Omnium Contra Omnes (Perang antara Semua melawan Semua). Carl Gottlieb Svarez, dikutip oleh Roger Bokowitz dalam buku The Gift of Science, bilang:
ADVERTISEMENT
Cicero juga pernah bilang hal yang sama. Dia bilang bahwa hukum itu adalah jaminan kebebasan kita. Yang berarti, kita harus taat pada hukum agar kebebasan individu tetap exist, tetap ada.
Ilustrasi Peradilan Umum. Source: Penulis
Oke, setelah kita meyakini konsep Rule of law, kita kembali lagi melihat masalah trias politika. Kaidah trias politika di Indonesia diatur di dalam UUD 1945 Pasal 24 A ayat (1). Penjelasan Pasal 24 ayat (1) adalah: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang “
ADVERTISEMENT
Menurut penyusun Undang-Undang Dasar, kekuasaan kehakiman itu ada dan dijaminkan, serta mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang. Salah satu peraturan yang berhubungan dengan permasalahan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini adalah Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
Sebelumnya mengenai Peraturan Mahkamah Agung, kekuatan mengikatnya diatur pada Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang 2 kali berubah hingga sekarang bernama Undang-Undang No. 3 Tahun 2009. Dikatakan pada Pasal 37:
“Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberikan petunjuk kepada Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.”
Pasal 25 ayat (1) menegaskan bahwa lingkungan peradilan umum, agama, militer, dan peradilan tata usaha negara adalah badan yang berada di dalam Mahkamah Agung. Oleh karena itu, Mahkamah Agung mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur peradilan-peradilan ini. Beleidsregel atas dasar Freies Ermessen. Source: UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Pasal 25 ayat (2) mengatur bahwa peradilan umum hanya boleh beracara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Source: UU No. 14 Tahun 1970
Kembali ke Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2019, dijelaskan bahwa pada intinya, mengenai perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan, maka pengadilan negeri yang berwenang untuk menyelesaikan permasalahan tersebut hanyalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam kasus Penundaan pemilu ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berani untuk menyelesaikan permasalahan PMH lembaga negara Komisi Pemilihan Umum (KPU).
ADVERTISEMENT
Berarti, dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat salah dalam mengambil pertimbangan dan salah dalam memutus. Oleh karena Pengadilan negeri ini tidak sesuai dengan Rule of Law yang ada, maka dapat dipastikan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini tidak murni dari “kekerasan dan penindasan”.
Dengan begitu, dapat dipastikan dan diverifikasi dengan baik, dengan definisi kenegaraan yang ada, bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah bertindak zalim. Apakah berarti Presiden Jokowi sebagai Pemimpin negara telah bertindak zalim? Kalau mengacu pada teori, tidak.