Konten dari Pengguna

UU ITE dan Tantangan Perlindungan Kebebasan Berbicara di Era Digital

Rayhan Syechul Islam
Fakultas Hukum - Universitas Pamulang
21 Maret 2023 22:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rayhan Syechul Islam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi UU ITE Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi UU ITE Foto: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital, UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) menjadi sebuah landasan hukum yang penting dalam mengatur penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik di Indonesia. Namun, di sisi lain, UU ITE juga menjadi sorotan karena dianggap sebagai ancaman bagi kebebasan berbicara dan menghasilkan penyalahgunaan yang cukup serius terhadap pengguna internet di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu masalah yang sering muncul terkait dengan UU ITE adalah ketidakjelasan mengenai batasan antara kebebasan berekspresi dan penghinaan terhadap individu atau kelompok tertentu. Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan bahwa "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik" dapat dikenakan hukuman pidana.
Namun, pasal ini seringkali diterapkan secara subjektif dan dapat menimbulkan interpretasi yang beragam terkait dengan definisi "penghinaan" dan "pencemaran nama baik". Hal ini berdampak pada banyaknya kasus pidana yang terjadi terhadap pengguna media sosial dan internet yang dianggap melanggar pasal tersebut. Padahal, di sisi lain, UUD 1945 juga menjamin hak atas kebebasan berekspresi dan pendapat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks inilah, pentingnya perlindungan hak atas kebebasan berbicara dan berekspresi dalam UU ITE menjadi sangat penting. Perlindungan hak tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang jelas dan tidak membatasi hak atas kebebasan berekspresi dan pendapat. Sebagai contoh, adanya mekanisme yang jelas untuk melaporkan pelanggaran atau penyalahgunaan UU ITE, penegakan hukum yang adil dan tidak diskriminatif, dan perlindungan terhadap hak privasi dan data pribadi.
Dalam hal ini, penegakan hukum UU ITE perlu dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan prosedur yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Apabila pasal-pasal UU ITE diterapkan dengan sembrono dan tidak berdasarkan prosedur yang tepat, maka akan menimbulkan kekhawatiran terhadap penggunaan UU ITE sebagai alat untuk mengekang kebebasan berekspresi dan berbicara di era digital.
ADVERTISEMENT
Dalam rangka memperkuat perlindungan hak atas kebebasan berbicara dan berekspresi, revisi UU ITE yang memperkuat mekanisme perlindungan dan menghilangkan ketidakjelasan dalam pasal-pasal yang terkait perlu dilakukan. Dengan cara ini, UU ITE dapat menjadi sebuah landasan hukum yang tepat dan efektif dalam mengatur penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik di Indonesia.
Meskipun Undang-Undang ITE memiliki tujuan yang baik yaitu melindungi masyarakat dari penyalahgunaan teknologi informasi, namun banyak yang berpendapat bahwa UU ITE seringkali disalahgunakan untuk menekan kebebasan berbicara di era digital.
Sejatinya, kebebasan berbicara merupakan hak asasi manusia yang dilindungi oleh Konstitusi Indonesia. Namun, dalam praktiknya, penggunaan UU ITE seringkali menghambat dan membatasi kebebasan berbicara tersebut. Terdapat banyak contoh kasus di mana seseorang dijerat hukum dengan tuduhan yang ambigu dan subjektif, seperti pencemaran nama baik atau ujaran kebencian, hanya karena menyampaikan pendapat atau kritik di media sosial.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, pada tahun 2020, seorang mahasiswa Universitas Indonesia diadukan ke polisi oleh pengusaha tanah karena mengkritiknya di Twitter. Padahal, penggunaan media sosial sebagai sarana kritik dan diskusi merupakan bentuk penggunaan hak kebebasan berbicara di era digital.
Dalam UU ITE, ada beberapa pasal yang sering dipermasalahkan terkait dengan pembatasan kebebasan berbicara, seperti Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (1). Pasal 27 Ayat (3) UU ITE menyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk menulis atau mengirimkan informasi yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Sementara Pasal 45 Ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu akan dikenakan pidana.
Ilustrasi pelanggaran UU ITE. Foto: Shutter Stock
Namun, dalam penerapannya, pasal-pasal tersebut seringkali terkesan ambigu dan dapat ditafsirkan secara luas, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan memicu penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berwenang.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi Indonesia (MK) pernah mengeluarkan putusan bahwa Pasal 27 Ayat (3) UU ITE terlalu luas dan dapat digunakan untuk membatasi kebebasan berbicara. MK juga mengeluarkan putusan yang sama terkait Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, yang dianggap mengandung kriteria tidak jelas yang dapat disalahgunakan.
Oleh karena itu, perlu ada pengawasan yang ketat dan transparan dalam penerapan UU ITE, sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan memastikan bahwa kebebasan berbicara tetap terlindungi. Selain itu, perlunya revisi atau perubahan UU ITE yang lebih jelas dan tidak memberikan ruang bagi penyalahgunaan oleh pihak yang berwenang.
Dalam kesimpulannya, kebebasan berbicara di era digital adalah hak yang harus dilindungi, namun UU ITE seringkali disalahgunakan untuk membatasi kebebasan tersebut. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengawasi dan merevisi Secara teoritis, UU ITE seharusnya dapat melindungi kebebasan berbicara di era digital, karena undang-undang ini memberikan perlindungan terhadap tindakan kriminal yang terkait dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Namun, dalam praktiknya, UU ITE sering disalahgunakan untuk menekan kebebasan berbicara dan berpendapat di media sosial.
ADVERTISEMENT
Contoh kasus yang cukup kontroversial adalah kasus terkait dengan penyebaran meme yang mengejek presiden di media sosial. Beberapa orang yang terlibat dalam kasus ini dijerat dengan UU ITE dan diancam dengan hukuman penjara yang cukup berat. Meskipun hal ini memang dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum, banyak pihak yang merasa bahwa hukuman yang diterapkan terlalu berat dan dapat menimbulkan efek jera bagi orang-orang yang ingin menyampaikan kritik atau pandangan mereka di media sosial.
Dalam hal ini, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi dalam melindungi kebebasan berbicara di era digital. Pertama, UU ITE perlu direvisi agar lebih jelas dan tidak menimbulkan tafsir yang berbeda-beda. Hal ini dapat membantu menghindari penyalahgunaan UU ITE oleh pihak yang ingin menekan kebebasan berbicara dan berpendapat.
ADVERTISEMENT
Kedua, perlu adanya pengawasan yang lebih ketat terhadap penegakan hukum terkait dengan UU ITE. Hal ini dapat membantu mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang bertanggung jawab untuk menegakkan hukum.
Ketiga, perlu adanya pendidikan dan kesadaran yang lebih tinggi mengenai pentingnya kebebasan berbicara di era digital. Hal ini dapat membantu masyarakat lebih memahami hak-hak mereka dalam menggunakan media sosial dan teknologi informasi lainnya.
Secara keseluruhan, UU ITE dan tantangan perlindungan kebebasan berbicara di era digital merupakan isu yang kompleks dan membutuhkan pendekatan yang komprehensif dari berbagai pihak terkait. Dalam hal ini, perlu ada upaya untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan terhadap hak-hak individu dan perlindungan terhadap kepentingan umum.