Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
PPN Tetap 11 Persen! Mengurai Kesalahpahaman Yang Masih Beredar
2 Januari 2025 9:21 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Muhammad Rayhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hore! Pemerintah secara mengejutkan pada malam sebelum tahun baru secara resmi tidak menaikan PPN menjadi 12%. Perdebatan publik tentang kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% banyak menimbulkan keresahan dan reaksi negatif di masyarakat, bahkan hingga menandatangani petisi penolakan terhadap kebijakan ini. Hal ini tentu wajar karena kenaikan pajak terutama PPN akan menjadi tambahan beban bagi masyarakat. Namun, seperti dua sisi mata uang, tentu kebijakan ini juga menyimpan potensi dalam menciptakan kemandirian ekonomi yang lebih kuat bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebelum beranjak lebih jauh, penting untuk mengetahui definisi dari PPN itu sendiri. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat dalam setiap jalur produksi dan distribusi. PPN merupakan pajak tidak langsung karena pembayaran atau pemungutan pajaknya disetorkan oleh pihak lain yang bukan penanggung pajak. Saat ini Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan.
Pajak Pertambahan Nilai juga memiliki beberapa unsur yang menjadi karakteristik jenis pajak ini, yaitu.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian perlu dipahami jika salah satu unsur yang terdapat dalam PPN itu adalah pengenaan pajak jenis ini hanya dikenakan kepada konsumen akhir yang dihitung berdasarkan nilai tambah. Sistem ini dirancang untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda (double taxation) dan memastikan bahwa beban pajak akhirnya jatuh pada konsumen.
Sebagai ilustrasi akan digunakan tarif PPN sebesar 10% agar perhitungan semakin mudah, dapat dilihat jika pada akhirnya nilai PPN akan dibebankan seluruhnya kepada konsumen akhir. Namun, proses pemungutannya berjalan secara bertahap di sepanjang rantai produksi dan distribusi. Setiap produsen dan penjual dalam rantai tersebut awalnya menyetorkan PPN ke Kas Negara (KN), produsen membayar sebesar harga dasar barang dan kemudian penjual hanya membayar sebesar selisih antara PPN yang mereka pungut (pajak keluaran) dengan PPN yang telah mereka bayarkan sebelumnya (pajak masukan). Ilustrasi ini menggambarkan bahwa PPN hanya dikenakan atas nilai tambah yang tercipta pada setiap tahapan.
ADVERTISEMENT
Rencana tidak mengenakan PPN untuk seluruh barang yang terkena tarif 11% awalnya telah dipertimbangkan dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR RI , bahwa rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% akan diprioritaskan untuk barang-barang yang tergolong mewah. Keputusan ini diambil sebagai upaya berpihak kepada rakyat untuk melindungi daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.
Memanasnya diskusi publik tentang rencana kenaikan PPN diikuti dengan beredarnya narasi yang di antaranya cenderung melebih-lebihkan dampak kebijakan ini. Ironisnya, masih terdapat kritik dan isu yang berkembang muncul dari pihak-pihak yang masih memiliki kesalahpahaman tentang mekanisme dan prinsip PPN itu sendiri. Beberapa isu-isu yang menjadi hangat dibahas terkait PPN diantaranya sebagai berikut.
Memang jika dilihat terdapat penurunan terhadap konsumsi rumah tangga, terutama ketika dan setelah COVID-19 masuk di Indonesia. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani , stabilitas daya beli berdasarkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks Penjualan Riil (IPR) masih terjaga. Namun, memang adanya tantangan yang dibuktikan dengan tren PHK yang meningkat sejak 2022, penurunan rasio disposable income terhadap PDB dalam 10 tahun terakhir, dan deflasi selama lima bulan berturut-turut yang dianggap tidak normal. Fenomena ini terjadi akibat dampak berkelanjutan dari pandemi, perubahan struktur ekonomi, dan dinamika pasar kerja. Perubahan ini menunjukkan bahwa fluktuasi daya beli lebih dipengaruhi oleh faktor struktural ekonomi dibandingkan faktor pajak semata.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) di Indonesia menerapkan prinsip negative list, artinya bahwa secara umum seluruh barang dan jasa yang beredar merupakan objek PPN, kecuali yang secara khusus disebutkan sebagai pengecualian dalam UU. Pengaturan mengenai barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN ini tertuang dalam Pasal 4A Ayat 2 UU PPN . Daftar pengecualian tersebut mencakup beberapa kategori, seperti barang kebutuhan pokok yang vital bagi masyarakat luas, hasil pertambangan yang belum diolah dan diambil langsung dari sumbernya, serta berbagai jasa seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial.
Hal ini kemudian dipertegas dengan kabar yang menggembirakan pada Selasa, 31 Desember 2024. Pemerintah melalui Menteri Keuangan mengatakan jika PPN 12% hanya dikenakan untuk barang mewah saja sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/2023 dan PMK 42/2022.
ADVERTISEMENT
Jelang pergantian tahun 2025, sejumlah komoditas di pasar telah mengalami kenaikan harga pada bulan Desember 2024. Banyak masyarakat mengatakan bahwa kenaikan yang terjadi akibat efek naiknya PPN. Meski pada saat itu PPN masih berada di angka 11%, tetapi harga barang telah terlanjur naik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor ekspektasi yang telah beredar di masyarakat, faktor seperti ketakutan PPN akan berdampak terhadap segala kegiatan produksi, isu efek domino yang akan ditimbulkan, dan hoaks yang beredar oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Selain itu, harga barang yang naik juga disebabkan oleh siklus bisnis tahunan (seasonal business cycle) yang merupakan kejadian secara berulang. Kenaikan harga pada momen-momen tertentu seperti menjelang Natal, Tahun Baru, Idul Fitri, dan Idul Adha menggambarkan teori permintaan dan penawaran (supply and demand). Pada momen-momen tersebut biasanya permintaan (D) mengalami peningkatan secara signifikan sementara penawaran (S) relatif stabil. Fenomena ini akan menyebabkan pergeseran kurva permintaan ke kanan akibat kuantitas (Q) yang meningkat sehingga berdampak terhadap harga (P) keseimbangan baru yang bergeser lebih tinggi.
Teori elastisitas harga juga dapat menjelaskan mengapa hal tersebut terjadi, permintaan terhadap barang pokok bersifat inelastis, hal ini berarti permintaan konsumen akan suatu barang akan tetap atau tidak akan berubah signifikan meskipun harga mengalami kenaikan atau penurunan, ini dapat terjadi dikarenakan konsumen tidak mungkin berhenti mengonsumsi sama sekali terhadap kebutuhan pokok.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat pemerintah sebenarnya masih memiliki alternatif selain melakukan kenaikan PPN yang secara jelas akan membebankan seluruh lapisan masyarakat. Fasilitas keringanan dan kemudahan pajak yang diberikan pemerintah seringkali dijadikan Tax Avoidance bagi oknum yang enggan membayar pajak, salah satunya adalah fasilitas tarif PPh Final untuk UMKM sebesar 0,5% dari pendapatan bruto bagi yang memiliki omzet tahunan dibawah 4,8 miliar. Seringkali fasilitas ini dijadikan celah pengusaha dengan cara membuat usaha lain dengan menggunakan nama keluarga atau teman agar perputaran uang yang terjadi tetap dapat dikontrol di bawah 4,8 miliar. Fakta ini dapat menjadi salah satu upaya pemerintah untuk men-trace dan menarik pajak dari mereka yang sebenarnya mampu selain menarik pajak dari masyarakat menengah kebawah.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan PPN menjadi 12% menunjukkan kepekaan terhadap kondisi ekonomi masyarakat terutama masyarakat menengah kebawah. Diharapkan pemerintah terus mengembangkan kebijakan fiskal yang semakin berkeadilan kepada seluruh lapisan masyarakat. Kebijakan paket ekonomi yang dikeluarkan Kemenkeu juga perlu diapresiasi karena tetap berkomitmen menjaga stabilitas serta menstimulus perekonomian nasional. Selain itu, tentunya peran aktif masyarakat sangat diperlukan dalam membantu mengawasi setiap kebijakan pemerintah secara konstruktif dan tentunya dengan pemahaman yang baik mengenai isu beredar tanpa termakan hoaks. Dengan begitu semoga kebijakan yang diambil diharapkan dapat kembali memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat sesuai amanat UUD 1945 dan cita-cita pendiri bangsa.
Live Update