Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perubahan Persepsi Citra Maskulin di Tren Fashion Busana Pria Tahun 2022
2 Juli 2021 14:00 WIB
·
waktu baca 1 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:53 WIB
Tulisan dari Rayoga Akbar Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelan jas warna pink dan neon, leotard dan bahkan dress dihadirkan para desainer kenamaan untuk tren fashion busana pria musim semi tahun 2022, yang seolah merefleksikan perubahan persepsi akan citra maskulin. Meski para desainer tersebut dalam keterangan pers nya menyebut koleksinya yang berani dan penuh ledakan warna ini sebagai spirit optimis akan situasi pandemi, namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa selera berpakaian pria telah berkembang.
ADVERTISEMENT
Virgil Abloh dalam rancangannya untuk lini busana pria Louis Vuitton menyebutnya sebagai “permainan catur” dan tampilan model yang memakai rok panjang tak ubahnya pion Ratu dalam permainan tersebut.
Sementara Kim Jones, desainer Dior Men yang memang kerap menginjeksi unsur feminin dalam rancangannya, dalam koleksi terbarunya menggandeng rapper Travis Scott sebagai kolaborator. Setelan jas masih mendominasi namun kini hadir dalam warna blush pink dan neon.
Gaya lebih edgy dihadirkan oleh Rick Owens yang tak ragu untuk menawarkan leotard detail cut-out dalam koleksi busana prianya. Begitu juga dengan Jonathan Anderson untuk label pribadinya JW Anderson dan Loewe menghadirkan dress. Kedua desainer ini memang memiliki ciri khas estetis bernuansa lintas gender.
Perkembangan gender dan preferensi seksual
Lantas apakah para pria memang sudah siap dan berani untuk memakai dress? Perdebatan apakah pakaian masih perlu dilabelkan berdasarkan gender memang bukanlah isu baru. Namun seiring dengan besarnya atensi industri fashion pada generasi Millennials dan Gen Z yang disebut lebih berpikiran terbuka dalam hal self-expression memicu ketertarikan lebih besar terhadap topik ini.
ADVERTISEMENT
Katalis lainnya adalah industri hiburan. Harry Styles tak ragu untuk mengenakan gaun ketika tampil menghiasi cover majalah Vogue. Ia bahkan memadukan setelan jas dengan selendang bulu dan tas tangan Gucci ketika tampil di karpet merah. Penyanyi mantan anggota One Direction tersebut memang bukan pria pertama yang berani memakai baju feminin. Namun yang membuat para konservatif terkejut adalah karena Harry Styles seorang heteroseksual.
Bagi pria, ketertarikan fashion memang kerap diasosiasikan dengan preferensi seksual. Penulis dari abad 19, Anatole France pernah berujar “Only men who are not interested in women’s clothes. Men who like women never notice what they wear”. Pemikirannya tersebut memang masih mewakili sebagian besar masyarakat. Padahal definisi maskulin berbeda di setiap budaya serta berkembang.
ADVERTISEMENT
Jika pria memakai rok dianggap bukan sebagai seorang pria sejati, bagaimana dengan budaya Skotlandia dimana kilt yang serupa dengan rok adalah busana khas pria? Bahkan konon sepatu high-heels pertama yang berasal dari abad ke-15 awalnya dikenakan prajurit Persia untuk membantu mereka ketika berkuda. Di Korea Selatan, para pria modern memakai makeup adalah sesuatu yang wajar dan Chanel bahkan telah meluncurkan lini makeup khusus pria yang terdiri dari foundation, concealer, pensil alis hingga cat kuku.
Tuntutan akan perlunya perubahan persepsi maskulin mulai giat lewat ramaianya pembahasan mengenai toxic masculinity. Media sosial menjadi ruang sekaligus pemicu generasi muda untuk tak malu mengekspresikan dirinya dalam hal fashion. Pemahaman akan perbedaan gender juga mulai meluas. Sebagian tak lagi membedakan antara pria dan wanita tapi juga berkembang menjadi non-binary, transgender, intersex dan lainnya. Begitu juga dengan preferensi seksual yang bukan hanya tentang heteroseksual dan homoseksual tapi mulai beragam semisal asexual dan sapiosexual.
Sudah saatnya para pria dan juga mereka yang masih terjebak dalam pemikiran toxic masculinity untuk mulai terbuka dan bertoleransi terhadap sesama. Karena ideologi bahwa pria yang menyukai fashion itu tidak maskulin adalah pemikiran usang. Mark Bryan seorang cis male, heteroseksual, telah menikah dan memiliki tiga anak, kerap memakai rok dan heels kala bekerja atau beraktivitas sehari-hari. Pria berusia 61 tahun yang merupakan robotic engineer dan tinggal di Jerman mengaku, “Pakaian tidak memiliki gender, namun saya memakai kemeja pria tidak mengenakan blus. Bahkan jika saya mengatakan bahwa saya memakai kemeja pria dan sebuah rok wanita dan heels, itu adalah sebuah pakaian non-gender bagi saya,” terangnya.
Pandangan lain dikemukakan oleh penulis fashion Eugene Rabkin, seorang laki-laki straight dan telah menikah, dalam tulisan nya berjudul How I Stopped Worrying And Learned To Love Women’s Clothes menuliskan bahwa membeli pakaian wanita memberinya lebih banyak opsi dalam hal berpakaian. Sebelumnya ia telah membeli sepatu boots rancangan Ann Demeulemester.
ADVERTISEMENT
Esensi lain yang perlu dipahami adalah fashion adalah sesuatu yang personal. Disesuaikan dengan selera masing-masing. Jika Anda belum tertarik memakai rok atau dress, tak masalah. Setidaknya mulai berani memakai warna-warna pastel dapat menjadi pilihan. Kehadiran busana feminin di ranah menswear tak hanya hadir untuk mengubah definisi maskulin atau sebatas tren semata tapi juga menunjukan sensibilitas desainer akan segmentasi pasar busana pria yang kini lebih luas dibanding sebelumnya.