Konten dari Pengguna

Kelas Menengah yang Terabaikan

Rayung Sekar
Mahasiswa Jurusan Statistika Universitas Islam Indonesia
28 Januari 2025 16:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rayung Sekar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: canva
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: canva
ADVERTISEMENT
Istilah kelas menengah kembali ramai digunakan di Indonesia belum lama ini. Hal tersebut dikarenakan munculnya berita-berita mengenai menurunnya jumlah kelas menengah di Indonesia yang meriuhkan. Berdasarkan data dari BPS, jumlah kelas menengah di Indonesia menunjukkan penurunan dari tahun 2019, yang semula berjumlah 57,33 juta jiwa menjadi hanya 47,85 juta jiwa di tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Kelas menengah kerap kali digadang-gadang sebagai penggerak ekonomi di suatu negara. Mereka memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas ekonomi baik melalui konsumsi, investasi, maupun kontribusi pajak. Namun, peran tersebut terasa semakin berat bagi kelas menengah karena kondisi negara yang tampaknya belum sepenuhnya menyadari pentingnya menjaga keberlanjutan kelas menengah sebagai penggerak ekonomi negara. Menjadi bagian dari kelas menengah di Indonesia kini ibarat berjalan di pinggir jurang yang curam—salah langkah sedikit saja, mereka bisa jatuh terjerembab. Kenyataan yang dihadapi saat ini menunjukkan bahwa mereka yang dikategorikan sebagai kelas menengah sering kali tidak berada jauh dari jurang kemiskinan.
Fenomena menurunnya jumlah kelas menengah ini tidak muncul begitu saja. Faktor-faktor mulai dari tekanan ekonomi global hingga kebijakan lokal yang kurang berpihak pada mereka berperan dalam membuat semakin rapuhnya kelompok ini. Misalnya, harga kebutuhan pokok yang melonjak, tetapi penghasilan mereka yang stagnan, bahkan dalam beberapa kasus menurun karena ketidakstabilan pasar kerja.
ADVERTISEMENT
Salah satu masalah utama yang dihadapi kelas menengah ialah minimnya perlindungan sosial. Jika kelompok miskin mendapat bantuan sosial dan kelompok kaya memiliki akses ke sumber daya yang melimpah, kelas menengah justru terjebak di tengah-tengah tanpa perlindungan memadai. Mereka tidak cukup miskin untuk mendapat subsidi, tetapi juga tidak cukup kaya untuk bertahan tanpa kesulitan di tengah krisis.
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini? Pertama, pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang lebih inklusif untuk mendukung kelas menengah. Kedua, meningkatkan akses terhadap layanan keuangan. Selain itu, penting juga untuk meningkatkan literasi keuangan di kalangan kelas menengah. Dengan literasi keuangan yang lebih baik, mereka dapat mengambil keputusan ekonomi yang lebih bijak, sehingga lebih siap menghadapi ketidakpastian.
ADVERTISEMENT
Jangan melihat kelas menengah hanya sebagai statistik, tetapi sebagai individu dan keluarga yang juga berjuang untuk stabilitas dan kesejahteraan. Kelas menengah juga berhak mendapatkan keuntungan yang sebanding dengan kontribusi mereka kepada negara. Kelas menengah berhak mendapatkan dukungan yang lebih nyata dari pemerintah, bukan hanya diharapkan untuk terus memberikan tanpa ada perhatian yang cukup. Jika perlindungan bagi kelas menengah gagal diberikan, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh mereka, tetapi juga akan memperburuk ketimpangan sosial yang ada, yang pada akhirnya dapat mengancam kestabilan ekonomi dan sosial negara.
Melindungi kelas menengah bukan hanya soal menjaga stabilitas ekonomi, tetapi juga soal menjaga harapan. Harapan bahwa kerja keras akan membawa hasil, bahwa pendidikan dapat membuka pintu menuju kehidupan yang lebih baik, dan bahwa mereka yang berada di tengah-tengah tetap memiliki masa depan yang cerah. Karena jika harapan itu hilang, apa lagi yang bisa dipegang sebagai tujuan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik di masa depan?
ADVERTISEMENT