Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
JICA, Potensi Ekspansi Soft Power Jepang Pasca Dibekukannya USAID
22 April 2025 16:52 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Razade Permadi Wicaksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengisi ruang kosong yang ditinggalkan Amerika Serikat dengan pendekatan cerdas berbasis soft power

ADVERTISEMENT
Pada 24 Januari 2025, berdasarkan arahan U.S. Department of State, agensi bantuan internasional Amerika Serikat, dikenal dengan USAID, secara fungsionalitas dan operasional efektif dinonaktifkan. Lembaga pengembangan internasional, yang telah menjadi garis depan diplomasi pembangunan AS terhadap banyak negara berkembang telah meninggalkan kerja sama yang menyisakan status quo di berbagai bidang layaknya pengembangan kapasitas lokal, revitalisasi alam, akses air bersih, hingga hingga pembangunan kelembagaan di berbagai negara berkembang.
ADVERTISEMENT
Di tengah kevakuman yang meninggalkan jejak kritis untuk banyak negara, Japan International Cooperation Agency, atau JICA, muncul sebagai aktor tidak mencolok tetapi memberikan dampak konsisten dan berkelanjutan. Lembaga bantuan pengembangan internasional dari Jepang ini kini memiliki potensi besar sebagai respons strategis Jepang dalam pembangunan skala global.
Teruntuk Indonesia, JICA bukanlah sebuah hal baru. Kooperasi yang terjalin sejak tahun 1954 membuahkan banyak hasil strategis, seperti proyek kolaboratif monumental Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta, di mana sebagian besar dibiayai pinjaman lunak skema Official Development Assistance (ODA). Keterlibatan lebih jauh JICA dalam pembangunan MRT Jakarta dilakukan dalam bentuk transfer teknologi, penguatan tata kelola kelembagaan, dan pelatihan SDM operator lokal.
Model keterlibatan ini mencerminkan filosofi pendekatan Jepang dalam bantuan, di mana bantuan tidak hanya difokuskan dalam pembangunan fisik, tetapi penguatan kapabilitas jangka panjang. Kemampuan JICA melalui pendekatan partisipatif yang berorientasi solusi nyata berkesinambungan menjadi contoh nyata kapabilitas JICA dalam dalam menjawab kebutuhan lokal, berbeda dengan praktik bantuan luar negeri konvensional yang top-down dan birokratis.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan JICA tidak hanya terbatas di Indonesia. Program Project for Strengthening Mathematics and Science Education (SMASE) yang dilaksankan sejak tahun 1998 telah meningkatkan kualitas pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) di berbagai negara di benua Afrika, seperti Kenya dan Rwanda. Di Bangladesh, pembangunan Jamuna Multipurpose Bridge menjadi proyek strategis nasional yang didampingi JICA dari awal perencanaan hingga pengawasan kualitas.
Di negara Thailand, bidang akuatik menjadi subjek keberhasilan JICA dalam proyek meningkatkan ketahanan pangan melalui Coastal Aquaculture Technology and Innovation Research and Development Center (CATIRDC), dengan salah satu bidang riset dan pengembangan dalam bioteknologi untuk sistem akuakultur berkelanjutan. Berbagai kerangka kerja sama serta keberhasilan berikut merupakan bukti bahwa JICA bukan hanya penyandang dana, tetapi juga menjadi mitra pembangunan yang bekerja dengan nilai-nilai co-creation dan keberlanjutan.
ADVERTISEMENT
Pendekatan JICA sangat relevan dengan konsep soft power yang digagas oleh Joseph Nye (2004), di mana kekuatan yang muncul dari daya tarik, kepercayaan, dan nilai, bukan dari tekanan atau dominasi. JICA bukan hanya alat kebijakan luar negeri Jepang, namun juga representasi kekuatan sipil Jepang yang menjangkau masyarakat dari bawah ke atas, dari operator MRT hingga guru matematika tingkat desa. Dibandingkan dengan pendekatan Belt and Road Initiative (BRI) milik Tiongkok yang berfokus pada infrastruktur masif dengan risiko utang dan keterikatan politik, Jepang, melalui JICA, menawarkan alternatif dengan model pembangunan yang memperkuat otonomi lokal tanpa jebakan ketergantungan.
Tidak hanya relevan secara nilai, pendekatan ini juga berkaitan dengan teori liberal institutionalism dari Robert Keohane (1984) yang menekankan pentingnya institusi internasional sebagai mekanisme kerja sama jangka panjang. JICA sebagai lembaga negara hadir bukan hanya untuk menyediakan solusi ad hoc, namun membantu menciptakan institusi lokal yang resilien melalui pelatihan, asistensi kebijakan, dan rekayasa sosial berbasis lokalitas. Ketika USAID telah kehilangan peran geopolitiknya, JICA hadir sebagai penghubung antara pembangunan dan stabilitas regional, antara kerja sama dan legitimasi.
ADVERTISEMENT
Tantangan paling signifikan ke depan yakni bagaimana Jepang mengelola momentum ini secara strategis. Jika selama ini operasional JICA mungkin kurang dikenal oleh publik dibandingkan dengan USAID, maka momentum yang sesuai sudah tiba untuk melangkah ke garis depan dengan memperluas mandat kelembagaan, mempercepat respons terhadap kebutuhan lokal, dan membuka kolaborasi multi-aktor, termasuk dengan CSO, universitas, dan sektor swasta lokal. Perluasan operasi ke wilayah seperti Karibia, Sahel, dan Asia Tengah dapat menjadi bukti kesiapan Jepang untuk memimpin global development diplomacy di era baru.
Dalam dunia yang sedang mencari kepemimpinan moral dan kredibilitas institusional, Jepang melalui JICA memiliki segala elemen untuk menjawabnya. Bukan dengan meniru USAID, melainkan dengan menyusun model baru yang lebih etis, adaptif, dan menghormati martabat negara mitra. Dalam satu sisi, JICA mungkin tidak tampil dengan tajuk utama, namun di dalam medan pembangunan global, JICA telah bekerja dalam senyap membangun masa depan banyak negara. Ketika aktor-aktor besar kehilangan kepercayaan, lembaga seperti JICA menjadi simbol bahwa diplomasi tidak harus bersenjata, melainkan dengan menunjukkan keahlian, empati, dan semangat untuk kolaborasi jangka panjang.
ADVERTISEMENT