Ketegaran untuk Papa: Kisah Keluarga Pendamping Penderita Dimensia

Ririn Dwi Fitriani
A mid-career diplomat who likes to dream Big but think Simply
Konten dari Pengguna
22 Februari 2018 16:03 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ririn Dwi Fitriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketika rapat tengah berlangsung, ponsel saya berdering beberapa kali, biasanya memang saya tidak pernah mengangkat telpon ketika rapat, namun ketika melihat nama “Papa” yang muncul di layar ponsel, saya pun bergegas keluar ruangan dan menerima panggilan telpon tersebut.
Dengan suara lirih dan sangat lemas, Papa saya berucap “Kamu dimana, Papa ngga bisa bangun…” kontan hati saya tidak karuan, badan gemetar dan hati terasa sesak. Tanpa pikir panjang, saya sampaikan ke Papa bahwa saya akan segera pulang dan membawa Papa ke rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Kebetulan saat itu saya rapat di Bogor yang memang merupakan kota tinggal kedua orang tua saya, sehingga posisi saya merupakan yang tercepat untuk bisa pulang dibandingkan kakak saya. Dengan sedikit bergetar, saya pamit kepada pimpinan rapat dan segera menuju rumah.
Setibanya di rumah, Papa hanya bisa manatap kosong dan terlihat lemah sekali, tapi beliau menyempatkan tersenyum tipis melihat saya, seolah ingin menyampaikan bahwa secercah harapan telah tiba baginya. Saya pun segera membawa Papa ke rumah sakit sambil terus berdoa kondisi Papa akan baik-baik saja.
Singkat cerita, kejadian di bulan Agustus 2017 itu merupakan awal dari kondisi Papa divonis menderita dimensia. Rupanya penyakit gula dan darah tinggi yang dideritanya selama ini menyebabkan fisik beliau menjadi lemah dan dengan sendirinya memicu beliau menderita dimensia.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, kondisi Papa semakin menurun dari hari ke hari. Sosok gagah nan mandiri yang terbiasa pergi kemana-mana tanpa didampingi, semakin memudar. Tidak hanya fisik, obrolan kami pun semakin tidak nyambung karena beliau sering sekali lupa dan meracau. Di usianya yang memasuki 80 tahun, Papa lebih sering mengingat peristiwa yang dialaminya ketika remaja ketimbang kenangan-kenangan bersama anak-anaknya.
Tidak jarang sikap dan perilaku Papa benar-benar kembali seperti anak kecil, yang merengek ingin dipijat, yang marah-marah karena merasa uangnya habis ataupun yang tiba-tiba nangis karena pusing tidak bisa istirahat.
Kini, setiap sabtu-minggu, anak-cucu Papa selalu berkunjung ke Bogor, menemani Papa, mendampingi Papa dan memenuhi keinginan-keinginan kecil Papa seperti ingin makan martabak, sate padang ataupun sekedar es krim.
ADVERTISEMENT
Disinilah saya merasa kekompakkan dan kekuatan keluarga kami sedang diuji. Jujur saja, sebagai manusia biasa, terkadang kami sekeluarga merasa lelah dan terpancing emosinya dengan sikap dan perilaku Papa. Tapi saya, kakak dan mama harus selalu berupaya tegar, kami tidak boleh menunjukkan kami sedih apalagi emosi sama Papa, kami harus saling menguatkan dan menunjukkan ke Papa, bahwa kami siap melindungi Papa dan setia mendampingi Papa dalam kondisi apapun.
Dari berbagai bacaan yang saya telusuri, dimensia memang penyakit yang tidak bisa dilawan dan tidak dapat diobati. Penderita dimensia seringkali merasa lemah dan tak berdaya, bahkan cenderung merasa tidak lagi dibutuhkan. Emosi-emosi yang timbul dari penderita dimensia terkadang cukup berat untuk bisa kita diterima, karena terkadang tanpa disadari sang penderita, emosi-emosinya menjadi tidak terkontrol dan menimbulkan sakit hati.
ADVERTISEMENT
Untuk itulah, keluarga menjadi kekuatan utama bagi penderita dimensia. Pendampingan dan pengabdian keluarga dengan penuh kesabaran serta ketelatenan merupakan hal yang paling berharga yang dibutuhkan oleh penderita dimensia.
Saya hanya bisa berharap, semoga di penggalan waktu saya yang terbatas ini, saya tetap bisa memberikan perhatian dan curahan kasih sayang saya yang sebaik-baiknya untuk Papa… I’m not your little girl anymore Dad, I’m now your guardian angel…