Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
China sebagai Mediator Arab Saudi-Iran: Strategi Hegemoni Baru di Timur Tengah
6 Juni 2023 14:27 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rebecca Angeline Davinia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mungkin, sebagian orang sering bertanya tentang sejauh mana hubungan China dengan Amerika Serikat saat ini? Terlebih lagi, pasca perang dagang yang mereka jalani tentunya membuat kancah internasional merasakan dampak cukup nyata, terutama terhadap perdagangan di negara tertentu yang menimbulkan spillover effect.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara maju yang memiliki cukup power di dunia internasional, China berhasil menjadi lawan bagi Amerika Serikat khususnya di bidang perekonomian. Tak lain, hal ini disebabkan oleh jiwa pebisnis hebat yang dimiliki oleh keturunan Tionghoa di sana.
Demi mengungguli China, Amerika Serikat pun berupaya keras mencari alternatif lain dengan memanfaatkan keadaan ketika pandemi Covid-19 berlangsung, seperti menyebarkan hoax terkait ladang virus Covid-19 dari laboratorium di Wuhan, menangkis invasi ke Taiwan, dan lain-lain.
Tidak mau diam begitu saja, China juga mencari cara untuk melawan Negeri Paman Sam tersebut, yakni salah satunya dengan menjalin kerjasama di kawasan tertentu. Hingga saat ini, kita ketahui bahwa China menjalin hubungan sangat kuat dengan Arab Saudi, yang mendorong perubahan geopolitik dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, Arab Saudi juga bekerjasama dengan Amerika Serikat, dalam hal keamanan karena persenjataan mereka masih mendapatkan pasokan dari Amerika Serikat. Hal tersebut membuat Arab Saudi tidak dapat hengkang dari hubungan dengan salah satu negara tersebut. Akan tetapi, jika dari segi kepentingan ekonomi, China menduduki posisi paling penting dengan Arab Saudi.
Rekonsiliasi Arab Saudi-Iran dengan Mediator China
Berbicara tentang kepentingan China di kawasan Timur Tengah, baru-baru ini Arab Saudi mengalami perdamaian hubungan dengan Iran. Sejak Januari 2016, Arab Saudi memustuskan hubungannya dengan Iran pasca para pengunjuk rasa menyerbu pos-pos diplomatik Saudi yang ada di Teheran. Hal ini dikarenakan masyarakat Iran merasa marah atas keputusan Arab Saudi mengeksekusi Sheikh Nimr al-Nimr—ulama Muslim Syiah—atas tuduhan keterlibatannya dalam aksi terorisme.
ADVERTISEMENT
Sebagai musuh bebuyutan, Arab Saudi pun enggan melakukan kerjasama dengan Iran, hingga akhirnya China pun menjadi mediator di antara keduanya. Kehadiran China di kawasan Timur Tengah sejatinya bukanlah fenomena baru. Tetapi, keputusan China memediasi hubungan Arab Saudi-Iran menjadi sebuah pertanyaan, apakah ada kepentingan lain?
Pada Jumat, 10 Maret lalu, rekonsiliasi Arab Saudi-Iran dengan mediasi China resmi diumumkan di Beijing, yang mengguncang dunia internasional, khususnya kawasan Timur Tengah. Hasil dari mediasi tersebut Arab Saudi-Iran sepakat untuk membangun hubungan diplomatik yang sempat luntur dengan kembali mengoperasikan kantor kedubes serta konsulat di negara bersangkutan dalam kurun waktu dua bulan ke depan.
Tak hanya itu, Arab Saudi-Iran juga berniat untuk menjalankan lagi kesepakatan antarnegara yang telah dibentuk sebelumnya. Di samping menjadi mitra strategis Arab Saudi, kepentingan yang dimiliki China juga dapat menjadi alasan kuat negara tersebut memutuskan untuk menjadi mediator dalam proses normalisasi hubungan Arab Saudi-Iran. Meskipun belum sepenuhnya terbukti, tindakan China ini sangat terlihat jelas karena didasari oleh motivasi kuat untuk mencapai tujuan kepentingan ekonomi, baik dengan Arab Saudi-Iran maupun negara lain di kawasan Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
Sederhananya, apabila perseteruan antara Arab Saudi dengan Iran dibiarkan terus berlanjut, tentu saja dapat menjadi hambatan bagi China dalam mengekspansi pasarnya di Timur Tengah. Maka dari itu, China berupaya menjaga stabilitas kedua negara tersebut demi mempertahankan posisinya di kawasan.
Kepentingan lainnya juga dapat dilihat dari adanya kaitan dengan ingin mengungguli Amerika Serikat. Pasalnya, posisi Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah juga memiliki potensi cukup besar, di mana Amerika Serikat dapat memanfaatkan sumber daya alam mereka seperti minyak mentah. Selain itu, Amerika Serikat juga memperoleh posisi berkat dukungan dan intervensinya terhadap Israel.
Mengapa demikian? Tentu saja karena dengan bersatunya negara Arab akan mendorong kemerdekaan Palestina, sehingga membuat Israel semakin terpojokkan. Selain itu, China juga akan memperkuat hubungan perekonomiannya dengan Arab Saudi, yang cepat atau lambat akan menggantikan posisi Amerika Serikat sebagai mitra Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
Dengan menggulingkan Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah, tentu saja China dapat dengan mudah menguasai dunia internasional. Strategi hegemoni yang dilakukannya tersebut juga sangat smooth nan cerdik, mengingat Amerika Serikat hanya sebatas bekerja sama melalui intervensi militer demi menyebarkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah.
Jika Presiden Joe Biden mengambil keputusan lebih lanjut, tentu fenomena ini dapat menjadi persaingan sengit antara keduanya. Beberapa waktu silam, Joe Biden pun memulai kunjungannya ke Jepang terkait G7. Namun, belum dapat dipastikan hal-hal apa saja yang menjadi kepentingan lain kunjungan presiden Amerika Serikat tersebut, entah mengambil pengaruh di kawasan Asia Timur atau hanya sekadar melakukan kunjungan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) G7 di Hiroshima.