HHI: Penyerangan Warga Sipil Palestina Menggunakan Senjata Nir-Awak

Rebecca Viviani
Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas AMIKOM Yogyakarta tertarik pada bidang content writting dan analisis yang dalam terhadap suatu isu atau permasalahan internasional
Konten dari Pengguna
1 April 2024 13:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rebecca Viviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Drone. Foto: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Drone. Foto: Freepik

Sejarah dan perkembangan Hukum humaniter Internasional

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hukum ini dibentuk ketika waktu itu ada peperangan yang terjadi di Solferino yang menewaskan warga sipil biasa, sehingga Henry Dunant kala itu yang sedang berpergian menyaksikan penyerangan itu dan berempati terhadap korban, sehingga ia segera memberikan pertolongan kepada para korban. Setelah itu Dunant mempunyai pikiran bahwa harus adanya wadah yang menaungi perlindungan terhadap korban. Ada 3 aspek yang dipikirkan kala itu, yaitu:
ADVERTISEMENT

1. Adanya volunteer menolong korban perang

2. Adanya suatu wadah volunteer berskala internasional (supaya legal)

3. Adanya konvensi agar kesepakatan bersama berlaku secara global

Sehingga ini lah yang memunculkan kesepakatan atau konvensi Jenewa dan terbentuknya Palang Merah Internasional pada tahun 1865.
Pada perkembangannya ada 2 konvensi yang menjadi sumber hukum bagi Palang Merah Internasional, yaitu Hukum Jenewa yang dihasilkan dari Konvensi Jenewa dan Hukum Den Haag yang dihasilkan dari Konvensi Den Haag. Hukum Jenewa adalah hukum yang menaungi korban perlindungan perang/konflik bersenjata dan Hukum Den Haag mengatur tentang kode etik perang.

Penyerangan Terhadap Warga Palestina

Baru-baru ini (23/3/2024) PBB mendesak harus adanya penyelidikan terhadap serangan oleh Israel melalui cuplikan Drone kepada warga sipil Palestina. Setidaknya dari cuplikan itu, ada 4 orang korban yang sedang berjalan kaki diserang melalui udara lebih tepatnya di serang menggunakan drone yang berasal dari Israel.2 orang langsung tewas ditempat 2 lainnya berupaya menyelamatkan diri namun tidak bisa menghindari peluru yang datang berikutnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini mengundang berbagai kecaman dan teguran keras dari berbagai pihak terutama PBB. Sekjen PBB diketahui melalui wawancara yang dilakukan Farhan Haq, Wakil Juru bicara Gueterres, mengecam tindakan ini dan mengharapkan adanya prinsip serta asas yang dikedepankan dalam kondisi perang ini. Terutama penekanan terhadap kondisi atau prinsip pembedaan, yang mana sudah diatur dalam hukum humaniter internasional ada warga sipil atau civilians dan object civilians yang tidak boleh diserang karena menyebabkan pelanggaran HAM kategori berat.

Pandangan HHI atau Hukum Humaniter Internasional

Secara umum, Hukum Humaniter sudah mengatur tentang penggunaan perkembangan teknologi senjata dan metode perang ada pada Pasal 36 protokol tambahan 1 tahun 1977. Akan tetapi ini hanya memuat penggunaan dan metode secara umum, sehingga terjadi kekosongan atau tidak adanya aturan hukum secara khusus mengenai penggunaan drone sebagai senjata. Ambarwati dalam Geovani (2022) menjelaskan bahwa Hukum Humaniter sejatinya tidak melarang perang terjadi, karena ini merupakan keadaan yang tidak dapat dielak, jika ada pada keadaan dilematis (security dillema). Akan tetapi perang yang menyerang warga sipil atau pekerja yang ada diatur dalam Konvensi Jenewa diserang, maka perang ini sudah menjadi kesalahan fatal dan melanggar HAM.

Asas Jus In Bello dan Jus Ad Bellum pun menyoroti bagaimana penggunaan alat yang menyerang warga ini sebenarnya tidak diperkenankan karena beberapa aspek seperti penggunaan tanpa awak ini tidak bisa mengidentifikasi lawan atau musuh, sehingga warga sipil pun turut terancam. Pada prinsip profesionalitas sebagai landasan fundamental untuk mengekang penggunaan drone sebagai senjata juga tercantum pada hukum humaniter internasional.
ADVERTISEMENT
Prinsip dan asas sangat penting bagi warga sipil yang sedang berada dalam ancaman, sehingga apa yang dimaklumi sebagai senjata perang sekarang (Drone) tidak menewaskan masyarakat biasa. PBB sebagai otoritas tertinggi dan organisasi pembawa perdamaian terbesar kiranya juga butuh untuk membuat aturan khusus mengenai penggunaan drone. Meskipun ada asas yang prinsip yang menjadi landasan fundamental, akan tetapi belum ada aturan khusus dan sumber hukum yang dapat mengikat penggunaan dari Drone ini.